Sebelum berkunjung ke Mesir, Imam al-Syafii terlebih dulu menggali informasi terkait kondisi Mesir saat itu. Ar-Rabi’ sebagai muridnya memberikan informasi bahwa kondisi di Mesir saat itu terbagi menjadi dua kelompok: kelompok penganut Mazhab Maliki dan kelompok penganut Mazhab Hanafi. Keduanya sama-sama kukuh dengan pendapatnya. Sehingga menimbulkan kerenggangan di antara mereka.
Melihat kondisi Mesir tersebut, Imam al-Syafi’i memiliki niat yang mulia, yakni mendamaikan dua kelompok aliran yang sedang berselisih.
Sebagaimana disebutkan ar-Rabi’ bahwa Imam al-Syafii pernah berkata, “Saya ingin datang ke Mesir, insya Allah saya akan datang dengan mendamaikan dua mazhab tersebut.”
Kedua mazhab tersebut, Maliki dan Hanafi selalu berselisih karena berbeda cara pandang dalam menggali hukum.
Imam Malik, pendiri Mazhab Maliki berpendapat bahwa jika dalam Al-Quran tidak ditemukan hukum dari suatu masalah, maka yang menjadi dasar selanjutnya adalah hadis Rasulullah SAW, baik hadis tersebut mutawatir (diriwayatkan oleh banyak orang, lebih dari 10) maupun ahad (diriwayatkan oleh 1 sampai 9 dalam tiap tingkatannya), baik hadis tersebut sahih maupun daif. Dalam kata lain, kelompok ini juga bisa disebut sebagai ahlul hadis.
Sedangkan Imam Abu Hanifah, pendiri Mazhab Hanafi berpandangan hanya hadis mutawatir yang bisa dijadikan landasan hukum setelah Al-Quran. Jika hadis tersebut tidak mutawatir, maka langkah selanjutnya adalah melakukan ijtihad dengan akal (ahlu ra’yi).
Hal ini cukup lumrah, karena kondisi Irak pada masa itu sedang ramai-ramainya pengaruh keilmuan dari barat, termasuk filsafat.
Dua perbedaan inilah yang coba dikompromikan oleh Imam al-Syafi’i. Dalam pengantar kitab ikhtilaf al-hadis, Imam al-Syafi’i menjelaskan periwayatan satu orang (ahad) bisa diterima dengan beberapa syarat. Salah duanya, periwayat tersebut harus kredibel, terpercaya dan juga harus mengerti maksud hadis yang ia riwayatkan.
Di sisi lain, Imam al-Syafi’i menggunakan qiyas (menyamakan suatu hukum masalah dengan hukum masalah yang lain) yang tengah-tengah sebagai sumber hukum. Tidak terlalu ketat sebagaimana ketatnya Imam Malik dan tidak terlalu longgar seperti Imam Abu Hanifah.
Bahkan menurut Syekh Ali Jum’ah dalam Tarikh Ushul Fiqh, bahwa Imam al-Syafi’i sampai menjadikan qiyas dan ijtihad dalam satu makna. “ijtihad itu qiyas,” tutur Imam al-Syafi’i.
Hal ini bisa dilihat dari cara Imam al-Syafi’i, Imam Malik dan Abu Hanifah dalam menentukan bilangan salat witir. Ibn Rusyd al-Hafid menjelaskan letak perbedaan antara ketiganya dalam Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid.
Imam Abu Hanifah berpendapat bilangan witir adalah tiga rakaat dengan satu kali salam. Hal ini mengacu pada hadis Rasul bahwa salat magrib adalah witir. Abu Hanifah tidak mengambil dalil dari hadis-hadis tentang salat witir sebagaimana digambarkan dalam riwayat Aisyah karena sifat hadis tersebut adalah pilihan. Sehingga hadis tersebut tidak bisa dijadikan argumen berapa pastinya jumlah rakaat witir.
Sehingga dalam hal ini Imam Abu Hanifah lebih memilih menggunakan qiyas. Bagi Abu Hanifah, sesuatu yang memiliki persamaan maka hukumnya sama. Karena menurut Abu Hanifah, berdasarkan hadis, Shalat Maghrib adalah witir siang, sedangkan jumlah rakaatnya adalah 3, maka salat witir malam pun disamakan dengan jumlah rakaat yang sama, yakni 3 rakaat dengan 1 salam.
Sedangkan Imam Malik mengatakan salat witir harus tersusun dari salat 2 rakaat (al-saf’u) dan 1 rakaat (al-witr). Pendapat yang berbeda dengan Abu Hanifah ini mendasarkan argumennya pada sebuah hadis yang menyebutkan bahwa Rasul mengganjilkan rakaat witir. Menurut Imam Malik, bagaimana bisa diganjilkan jika tidak didahului oleh salat genap (salat dua rakaat) terlebih dahulu.
Imam al-Syafii mencoba menengahi kedua pendapat tersebut. Ia mengatakan bilangan rakaat witir adalah cukup satu rakaat. Ia berpegang pada hadis yang menjelaskan bahwa Rasul salat witir dengan satu rakaat. Dalam hadis lain juga disebutkan bahwa Rasul memerintahkan jika khawatir tiba salat subuh, maka salat witir saja dengan satu rakaat.
Selain dengan sumber hukum yang disepakati (Alquran, sunnah, ijma’ dan qiyas), Imam al-Syafi’ijuga menggunakan beberapa sumber lain jika tidak terdapat dalil dalam Alquran maupun Sunnah. Seperti pendapat sahabat (atsar sahabat), bahkan bagi Imam al-Syafi’i, jika hanya ada pendapat sahabat, maka lebih diutamakan sebelum ke qiyas.
Selain itu, Imam al-Syafi’i juga menggunakan observasi induktif (istiqra’), yakni meneliti hukum-hukum yang sifatnya parsial untuk dijadikan sebagai argumen bagi hukum yang lebih global. Seperti salat sunnah di kendaraan.
Kasusnya pada saat itu, salat yang dilakukan oleh Rasul di atas kendaraan adalah salat witir. Karena salat witir adalah salah satu salat sunnah, maka Imam al-Syafi’i berkesimpulan semua salat sunnah boleh dilakukan di atas kendaraan.
Selain beberapa hal di atas, salah satu ciri khas Mazhab Syafi’i adalah dinamis. Hal ini disebutkan oleh Syah Waliyullah al-Dahlawi dalam kitabnya Hujjatullah al-Balighah. bahwa Mazhab Syafi’i adalah mazhab yang terdepan dalam urusan dinamisasi dan progresivitas. Sehingga wajar jika memiliki banyak pengikut dan mampu bertahan hingga sekarang.
Wallahu A’lam.