Penentuan awal dan akhir bulan Ramadhan merupakan suatu permasalahan yang kerap kali melahirkan polemik diantara masyarakat Indonesia setiap tahunnya. Hal tersebut disebabkan perbedaan pendekatan yang dilakukan beberapa kelompok atau ormas islam dalam menentukan awal dan akhir Ramadhan.
Di antara mereka ada yang menggunakan pendekatan membaca pasang surut air laut dalam menentukan awal dan akhir Ramadhan, sebagiannya lagi ada yang mengutamakan pendekatan hisab dalam menentukan awal dan akhir Ramadhan, dan sebagian besar lainnya mengutamakan pendekatan ru’yatul hilal dalam menentukan awal dan akhir Ramadhan.
Berdasarkan hal tersebut, terkadang terdetik sebuah pertanyaan sebenarnya bagaimana cara Nabi Muhammad SAW menentukan awal dan akhir Ramadhan, sebagai sosok yang otoritatif dalam memberikan contoh kepada umat islam dalam permasalahan tersebut.
Terdapat beberapa riwayat hadis yang mendeskripsikan metodologi Nabi Muhammad SAW dalam menentukan awal dan akhir Ramadhan. Diantaranya, hadis yang diriwayatkan oleh Said bin Musayyab, Nabi Muhammad SAW bersabda, “Jika kalian melihat hilal maka berpuasalah, dan jika kalian melihat hilal maka berbukalah (akhirilah puasa kalian), namun jika hilal tak terlihat maka sempurnakanlah tiga puluh hari”. (HR. Muslim, Al-Nasa’I, dan Ibnu Majah)
Dari hadis tersebut dipahami bahwasannya Nabi Muhammad SAW menggunakan metodologi ru’yatul hilal dalam menentukan awal dan akhir bulan Ramadhan. Hal tersebut tersurat dalam perintah beliau untuk melaksanakan puasa dan mengakhiri puasa jika hilal terlihat oleh kaum muslimin, dan jika hilal tidak terlihat maka kaum muslimin diperintahkan untuk menyempurnakan bilangan bulan Ramadhan menjadi 30 hari.
Selanjutnya, terdapat riwayat lain yang diriwayatkan oleh Malik bin Nafi’ dari Ibnu Umar tentang metodologi Nabi Muhammad SAW dalam menentukan awal dan akhir Ramadhan, Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah kalian berpuasa (Ramadhan) sampai kalian melihat hilal, dan janganlah kalian berbuka “mengakhiri puasa Ramadhan” sampai kalian melihat hilal, dan jika hilal terhalang dari kalian maka perkirakanlah (faqduru lah)” (HR. Malik).
Menurut kelompok kaum muslimin yang mengedepankan metodologi hisab, pemahaman dari redaksi faqduru lah “perkirakanlah” dari hadis di atas, menunjukkan keabsahan metodologi hisab dalam menentukan awal dan akhir Ramadhan. Ditambah lagi, ada ayat al-Qur’an yang menyatakan bahwasannya penentuan bulan melalui hitungan (walqamaru bihusban).
Sedangkan kelompok kaum muslimin yang mengedepankan metodologi ru’yatul hilal, mencoba memahami redaksi (faqduru lah) dalam hadis di atas dengan cara mengumpulkan riwayat-riwayat lain yang serupa dengan hadis tersebut, sehingga sampai kepada kesimpulan bahwa pemahaman dari redaksi (faqduru lah) lebih tepat jika dipahami dengan makna “genapkanlah, atau sempurnakanlah”
Lebih lanjut, menurut mereka jika redaksi (faqduru lah) dipahami dengan “maka hitunglah” sekalipun, metodologi ru’yatul hilal tetap harus diutamakan. Karena dalam redaksi hadis di atas perintah untuk melihat hilal berada lebih dahulu dibandingkan perintah untuk memperkirakan.
Jika ditinjau dari beberapa hadis yang meriwayatkan tentang cara Nabi Muhammad SAW menentukan awal dan akhir Ramadhan kita dapat menyimpulkan bahwa metodologi ru’yatul hilal merupakan pendekatan yang digunakan Nabi Muhammad SAW dalam menentukan awal dan akhir Ramadhan.
Sedangkan hikmah dibalik penggunaan Nabi Muhammad SAW metodologi ru’yatul hilal dalam menentukan awal dan akhir Ramadhan, terdapat pada kesederhanaan metodologi tersebut yang mengedepankan pengamatan mata sebagai salah satu indera yang dimiliki manusia, yang dengan hal tersebut memungkinkan kaum muslimin dimanapun yang bisa melihat untuk memberikan kontribusinya dalam menentukan awal dan akhir Ramadhan.
Tapi terlepas dari hal-hal tersebut, kelompok-kelompok yang berbeda dalam penggunaan metodologi dalam menentukan awal dan akhir Ramadhan tetap harus menjaga persatuan umat, karena bagaimanapun juga perbedaan penggunaan metodologi dalam menentukan awal dan akhir Ramadhan hanyalah masalah khilafiyah yang terlahir dari perbedaan pendapat dalam memahami redaksi Al-Qur’an dan hadis yang berkaitan dengan hal tersebut. Sedangkan, persatuan umat adalah sesuatu yang harus tetap dijaga sampai kapanpun juga.