Selaku negara dengan masyarakat heterogen, Indonesia memiliki karakter tersendiri dibanding dengan negara-negara lainnya. Karakter ini sekaligus menjadi identitas guna disyukuri dan (mungkin bisa untuk) show up ke negara lain. Di antaranya adalah berupa model berpakaian, berbahasa, serta cara berpikir.
Mengenai berpakaian dan pakaian itu sendiri, Indonesia sudah memilikinya, baik itu berupa pakaian adat maupun yang dikenal dengan pakaian Islami. Varian pakaian adat ini merupakan pemberian Sang Maha Kuasa kepada rakyat Indonesia sehingga layak dan mesti dijaga. Dan ini juga berlaku pada pakaian Islami, yakni pakaian yang mengikuti aturan agama Islam.
K.H. Ali Mustafa Yaqub pernah memaparkan bahwa aturan pakaian dalam Islam dapat dirumuskan dalam 3T; tidak transparan, tidak ketat, dan tidak menyamai lawan jenis. Kiai Ali Mustafa pun menegaskan bahwa baginda Nabi menggunakan pakaian seperti jubah, gamis, dan sorban, sejatinya beliau memakai pakaian kaumnya, bangsa Arab. Maka dari itu, Nabi bersabda:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنْ لَبِسَ ثَوْبَ شُهْرَةٍ فِي الدُّنْيَا، أَلْبَسَهُ اللَّهُ ثَوْبَ مَذَلَّةٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ، ثُمَّ أَلْهَبَ فِيهِ نَارًا (رواه ابن ماجه)
Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar, dia berkata: Rasulullah bersabda: “Siapa saja yang menggunakan pakaian syuhrah di dunia, kelak di akhirat Allah akan memakaikannya pakaian hina, kemudian mengobarkannya dengan api.” (HR. Ibn Majah).
Arti ‘pakaian syuhrah’ di atas adalah pakaian yang berbeda dengan pakaian masyarakat secara umum, sehingga dengan jenis pakaian tersebut pemakainya menjadi dikenal. Kiai Ali Mustafa memahami hadis tersebut dengan tanpa ta’wil. Artinya, sebagaimana pada definisi kata syuhrah di atas. Dengan demikian, pakaian untuk masyarakat Indonesia bukan lagi pakaian yang mengadopsi dari negara lain, termasuk Arab.
Sebab belakangan ini, muncul pola pikir bahwa model pakaian yang diadopsi dari Arab dianggap sebagai pakaian Islami, sampai muncul model pakaian seperti ‘Hijab Syar’i’ yang sudah mulai cukup nge-trand, yang salah satu kriterianya adalah krudung lebar –bahkan bercadar. Sehingga, apabila tidak sesuai dengan kriteria model pakaian tersebut maka akan dianggap tidak syar’i, alias menyalahi aturan Islam.
Padahal, aturan pakaian dalam Islam sebagaimana dirumuskan berdasarkan hal itu. Untuk model dan jenisnya itu dikembalikan pada kesepakatan masyarakatnya.
Pola pikir seperti itu, oleh kiai Hasyim Muzadi, disebut dengan minder under head complex. Maka, kata kiai Hasyim Muzadi, “ketika orang Indonesia pergi ke Arab, belum sampai dua tahun di sana dan ketika pulang ke Indonesia malah lebih Arab ketimbang orang Arab sendiri. Begitu juga ketika ada orang Indonesia pergi ke Amerika, dan belum genap dua tahun, pas pulang ternyata lebih koboy dari George W. Bush.”
Selanjutnya, penyakit (berfikir) yang mewabah pada masyarakat Indonesia adalah penggunaan bahasa. Ketika menggunakan bahasa Arab, maka akan dinilai Islami. Maka panggilan seperti Abi, Ummi, Ana, Ente, Antum, Akhi, Ukhti, dsb., lebih ‘diminati’ oleh masyarakat muslim Indonesia. Padahal, panggilan itu tidak ada hubungannya sama sekali dengan Islam.
Jika dibilang karena mengikuti Nabi, itu lebih pas dibilang sekedar apologi belaka, bukan karena adanya ajaran Islam terkait penggunaan panggilan tersebut. Sebab, wajar saja kalau Nabi menggunakan panggilan tersebut karena itu memang bahasa sehari-harinya Nabi selaku orang Arab, bahasa ibu orang Arab.
Justru, itu menujukkan bahwa Nabi mencintai bahasanya sendiri, bangga terhadap bahasa ibunya. Dan bagi umat Islam, jika memang bertujuan untuk mengikuti Nabi, mestinya menggunakan bahasa ibunya sebagaimana kanjeng Nabi. Jadi, orang Indonesia menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa daerahnya. Bahkan bahasa panggilan di Indonesia lebih kaya ketimbang bahasa Arab. Serta ada tingkatannya, mulai dari yang kasar, halus, sampai paling halus.
Gus Dur pernah berujar: “Islam datang bukan untuk merubah budaya leluhur kita jadi budaya Arab. Bukan untuk ‘aku’ jadi ‘ana’, ‘sampean’ jadi ‘antum’, ‘sedulur’ jadi ‘akhi’. Kita pertahankan milik kita, kita harus serap ajarannya, tapi bukan budaya Arabnya.”
Dan ini juga berlaku pada penggunaan panggilan berbahasa Inggris seperti Dad, Mom, bro, sis, dsb., yang kesannya lebih keren, gaul, dan akrab. Kesan ini lah yang dicari oleh sebagian besar penggunanya. Padahal, sekali lagi, panggilan berbahasa Indonesia atau berbahasa daerah itu lebih dari itu semua. Bahkan lebih cocok dengan adat orang Timur yang begitu mengedepankan nilai-nilai sopan santun.
Mari coba diperhatikan, lebih nyaman mana antara memanggil ‘Ayah’ dengan ‘Abi’ atau ‘Dad’? Lebih sopan mana antara ‘Njenengan’ dengan ‘Antum’ (atau apalagi ‘you’)? Kalau rasa bahasa (dzauq) pengucap dan pendengar masih kental dengan keindonesiaannya, atau kejawaannya, dan/atau minimal PD dengan bahasanya sendiri, pasti memilih bahasa ibu yang lebih nyaman dan sopan. Begitu juga sebaliknya –meskipun mengaku cinta NKRI.
Terakhir, adalah mengenai cara berfikir. Ini merupakan penyakit yang paling mendasar, yang tidak hanya menimpa masyarakat awam, melainkan juga terjadi pada para akademisi. Pada penyakit ini pula sumber dari dua persoalan di atas. Ketidakpercayaan diri yang kadung mengjangkiti (sebagian) masyarakat Idonesia akan berdampak pada eksistensi Indonesia itu sendiri, terutama pada budaya dan kulturnya.
Pada tataran cara berfikir ini lah yang mesti ditempa dan ditata terlebih dahulu. Yang berkaitan dengan Islam, misalnya, salah satunya dapat membedakan mana yang syari’at dan yang budaya.
Bukan hanya Gus Dur dan kiai Ali Mustafa saja yang mengajak berpola fikir seperti ini, bahkan Syekh Yusuf al-Qaradlawi pun berujar seperti itu. Begitu pula yang berkaitan dengan Barat, tidak semua mesti diterima mentah-mentah, entah itu budaya maupun pengetahuannya.
Jika sudah mampu mewujudkan pola pikir seperti itu, maka otomatis telah menjadi rakyat Indonesia secara totalitas. “NKRI harga mati” bukan lagi menjadi slogan belaka. Justru itu menjadi salah satu bentuk pengejawantahan slogan tersebut. Serta, kultur dan budaya leluhur kita tidak akan tergerus, akan senantiasa terpelihara dan dilestarikan oleh para penerusnya.
Wallahu A’lam.