Ini Bedanya Aksi Mahasiswa dan Parade Tauhid Alumni 212

Ini Bedanya Aksi Mahasiswa dan Parade Tauhid Alumni 212

Apakah ada agenda tersendiri di dalam Parade Tauhid Alumni 212?

Ini Bedanya Aksi Mahasiswa dan Parade Tauhid Alumni 212

Kemarin (28/9) Parade Tauhid 212 mulai ikut serta dalam meramaikan aksi yang semula diinisiasi oleh gerakan mahasiswa. Parade Tauhid mengambil tempat Bundaran HI untuk berkumpul dan berorasi. Mereka memanfaatkan momentum ini untuk bersuara di depan publik dengan mengusung kepentingannya sendiri.

Parade Tauhid 212 kalau ditelusuri lebih dalam lagi memiliki perbedaan yang sangat jauh dengan gerakan Mahasiswa yang sudah terjadi beberapa hari yang lalu. Ada perbedaan yang sangat nampak dalam aksi berkelanjutan dari masyarakat sipil ini. Pertama, dalam aksi mahasiswa, mereka tidak ada tuntutan untuk menjatuhkan rezim yang ada. Kedua, dalam tuntutan mahasiswa, mereka membawa tujuh tuntutan untuk merevisi dan/atau mengesahkan RUU yang sudah dirancang.

Perbedaan pertama antara Parade Tauhid dengan gerakan mahasiswa nampak pada upaya pelemahan politik dalam negeri. Tuntutan mahasiswa ditujukan khusus kepada DPR, musuh mereka adalah DPR, bukan pemerintah. Jadi, sikap kritis kepada DPR yang kinerjanya kurang efektif dikritik oleh mahasiswa.

Berbeda dengan Parade Tauhid yang ingin mendirikan sebuah sistem syariah dalam pemerintah. Melalui pembacaan persoalan terkini, mereka percaya bahwa problem yang saat ini melanda Indonesia dikarenakan tidak menggunakan syariah sebagai asas negara. Maka tujuannya disini jelas, mereka mengkritik pemerintah; mengusung cita-cita syariah agar diterapkan dalam pemerintahan.

Sedangkan tuntutan yang dibawa oleh kedua bentuk gerakan ini juga berbeda. Dalam 7 tuntutan yang dibawa oleh mahasiswa terdapat satu tuntutan yang jelas-jelas mereka tolak yaitu tentang RUU P-KS. Sudah menjadi wacana umum bahwa penolakan yang banyak atas RUU P-KS ini datang dari kelompok ini.

Parade Tauhid tidak membawa tuntutan seperti mahasiswa. Tuntutannya tetap satu, tegakkan syariat Islam atau dirikan negara khilafah maka Indonesia akan bebas dari korupsi, bebas dari narkoba, bebas dari segala bentuk kemakasiatan, kedzaliman, dan bentuk tindakan diskriminasi lainnya.

Tuntutan ini jika dibaca dengan seksama justru memperlemah sistem bernegara kita. Para mahasiswa mengkritik kerja DPR karena selama ini DPR kerjanya banyak yang tidur, bolos, sekali kerja blunder. Begitulah yang dituntut mahasiswa. Namun harapan dari itu semua agar DPR sadar bahwa ia memikul beban rakyat, ia adalah wakil rakyat, yang memutuskan UU untuk kepentingan rakyat bukan kepentingan sendiri atau kelompoknya.

Apabila DPR gagal dalam menjalankan amanat sebagai wakil rakyat, maka mereka akan kehilangan wibawannya. Jika hal ini yang terjadi, maka tidak heran jika orang yang sudah memilihnya tidak mempercayai wakilnya di Parlemen. Maka upaya demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa sebenarnya bisa diambil dari segi positifnya yaitu untuk membenahi kinerja para wakil rakyat di Parlemen.

Pembacaan atas gerakan mahasiswa ini sebagai refleksi 21 tahun reformasi. Jika pada masa itu pemerintah Orde Baru yang dikritik habis oleh mahasiswa, namun di tahun ini mahasiswa mengkritik keras kinerja dari parlemen. Ini merupakan sebuah gerakan positif untuk membenahi citra demokrasi kita.

Berbeda halnya dengan aksi Parade Tauhid alumni 212. Bisa dikatakan mereka hanya memanfaatkan momentum ini untuk menyuarakan lagi tentang cita-cita yang ingin dicapai yaitu tegakkan syariat Islam. Entah ini kebetulan atau tidak, yang jelas aksi Parade Tauhid ini merupakan sebuah aksi kelanjutan yang sudah dimulai sejak tahun 2016, tepatnya dimulai sejak akhir September hingga awal tahun 2017.

Dengan kata lain, aksi ini dilakukan untuk mengingatkan segenap umat Islam bahwa di Indonesia pernah ada gerakan besar untuk menjatuhkan gubernur aktif Basuki Tjahaja Purnomo pada masa itu. Upaya tersebut memang bersumber dari pemahamannya yang mengatakan bahwa di dalam sistem syariat Islam tidak ada pemimpin non muslim.

Maka dari itu, gerakan Parade Tauhid bisa dipahami sebagai upaya kelanjutan yang sudah dimulai sejak 2016 untuk menerapkan sistem syariah di Indonesia. Hal ini bisa dinilai sebagai upaya pelemahan otoritas politik Indonesia apabila aksi yang mereka lakukan menunjukkan hal demikian, namun apabila ide itu hanya sebatas ide maka tidak bertentangan dengan konsep bernegara, karena negara menjamin kebebasan berpikir sehingga negara tidak punya hak untuk mengekangnya.

M. Mujibuddin, penulis adalah pegiat di Islami Institute Jogja.