Dalam bahasa fikih, istilah renovasi ada dua, yaitu tarmim al-masjid dan tajshish al-masjid. Secara bahasa, istilah tarmim itu memiliki dua makna, yaitu ishlah (membagusi/merenovasi) dan membangun kembali yang sudah rusak. Tajshish sering dilekatkan dengan tembok, sehingga bermakna memperbaiki tembok, bisa jadi catnya, atau tembok yang lubang kemudian ditambal. Yang jelas, secara istilah, makna dari keduanya tidak jauh beda pengertiannya dengan makna lughawinya.
Ada hal yang harus diketahui berkaitan dengan soal asal-usul bahan yang dipergunakan untuk membangun masjid. Pertama, diupayakan bahannya bukan terbuat dari bahan mutanajjis (bercampur dengan najis). Tentang bahan ini, fikih mengaturnya secara ketat. Misalnya, seperti yang pernah disampaikan oleh al-Zarkasy, yang ia nukil dari al-Qadli Abu Al-Thayyib al-Thabary:
لايجوز بناء المسجد باللبن المعجون بالماء النجس بناء على نجاسته ويطهر بالغسل ظاهره دون باطنه على الجديد
ِArtinya:
“Tidak boleh membangun masjid dengan tanah liat yang diadoni dengan air najis karena sifat tetapnya najis itu. Tetapinya bata yang sudah terlanjur terbuat dari adonan itu, bisa dsucikan dengan membasuh bagian luarnya, tidak dengan bagian dalamnya, sebagaimana ini merupakan pendapat yang paling shahih dari qaul jadidnya Imam Syafi’i.”
Kedua, bahan yang digunakan bukan berasal dari perkara haram atau bercampur dengan perkara haram. Untuk pemakaian bahan najis sebagai bahan bakar lampu penerangan saja, hukumnya adalah makruh untuk selain masjid, maka bagaimana dengan masjid? Sudah pasti lebih condong pada hukum keharaman.
Ketiga, hendaknya tindakan renovasi itu tidak sampai mengubah fungsi barang yang sudah diwakafkan, kecuali memang dbutuhkan karena pertimbangan kemaslahatan. Kemaslahatan ini maksudnya adalah tetap pada pada pedoman, yang asalnya bahan dpergunaka untuk masjid maka tetap digunakan atau kembali untuk masjid pula.
Perlu diketahui, bahwa hukum asal dari merenovasi itu sendiri sejatinya tidak diperbolehkan, dan hal ini tidak hanya berlaku untuk masjid saja, melainkan juga seluruh bangunan yang lain (misal gedung madrasah) yang diperoleh dari hasil menarik jariyah atau wakaf dari masyarakat. Ha ini berdasarkan pertimbangan banyaknya qaul dhahir yang menegaskan hal itu.
Alasan dari ketidakbolehan ini adalah karena alasan bahwa tindakan merenovasi dapat membuat rusaknya barang wakaf yang sudah ada sehingga membuat tersia-siakannya barang wakaf. Akan tetapi karena alasan kemaslahatan, maka tindakan itu diperbolehkan oleh banyak ulama’, termasuk dari kalangan Syafi’iyah ada Syeikh Ibnu Hajar al-Haitami. Pembaca bisa merujuk pada kelanjutan ibarat berikut ini untuk lebih jelasnya. Berikut penulis petikkan sekedar untuk mengetahui peta illat yang dipergunakan para fuqaha sebagai dasar pertimbangan hukum.
إعلم أن القائلين من الفقهاء بجواز ذلك كثيرون رعاية لمصالح المساجد وترغيبا في عمارتها إلا أن منهم من أطلق الجواز ومنهم من قيده بالحاجة والضرورة والمصلحة أو إذن الإمام أم من يقوم مقامه بالنسبة للهدم بالكلية ومنهم من أجاز الهدم الكلي ومنهم من لم يجز إلا الجزئي
Artinya:
“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya para fuqaha yang memperbolehkan tindakan merenovasi masjid itu banyak sekali karena pertimbangan faktor kemaslahatan dan upaya menghidupkan masjid. Sebagian dari ulama ini ada yang memutlakkan kebolehannya, sebagian lagi membatasinya menurut kadar kebutuhan saja dan bersifat dlarurat serta kemaslahatan. Sebagian lain membatasi dengan adanya idzin imam atau orang yang menempati derajat selaku imam, khususnya bila kebutuhan itu harus berhubungan dengan upaya merobohkannya secara total. Sebagian ulama membolehkan renovasi secara total tanpa batasan, sebagian lainnya menyatakan kebolehan namun khusus untuk bagian-bagian tertentu saja.” (Al-Nash al-Warid fi Hukmi Tajdid al-Masajid: 13-14).
Intinya bahwa tindakan renovasi masjid ini adalah karena alasan kemaslahatan. Masalah kemudian harus dilakukan secara parsial atau secara total, maka hal itu bergantung pada pendapat mana yang hendak kita ikuti.
Karena dalam tindakan renovasi dan perobohan masjid secara total atau parsial, sudah pasti ada banyak barang wakaf yang harus terbengkalai fungsinya, atau beralih fungsi menjadi yang lain, maka untuk menyikapi permasalahan ini, seorang nadhir wakaf perlu mengambil langkah-langkah yang dianggap bisa menyelamatkan aset wakaf yang sudah ada sebelumnya sehingga tetap bisa dimanfaatkan. Sudah barang tentu, tindakan ini tidak boleh meninggalkan pertimbangan kemaslahatan renovasi yang memang harus dilakukan.
Ada beberapa opsi tindakan nadhir dalam hal ini, yaitu: 1) tetap memasang barang yang masih bisa dimanfaatkan, 2) menjual barang yang sudah lama kemudian hasilnya digunakan untuk membeli bahan lain yang dibutuhkan (semacam tukar guling), 3) untuk bahan yang sudah tidak bisa digunakan, dipakai untuk memperkuat pondasi masjid. Misalnya menggunakannya sebagai urug, dan 4) memberikan bahan yang sudah tidak terpakai kepada masjid lain yang membutuhkan untuk direnovasi atau diperkuat bangunannya. (Durr al-Mukhtar, Juz VII, halaman 329).