Air termasuk instrumen penting dalam bersuci. Selama persediaan air masih ada, tidak boleh mencari alternatif lain saat bersuci. Kalau tidak menemukan air, baru dibolehkan mencari debu, atau tayammum, ketika hendak mengerjakan ibadah.
Perlu diketahui, tidak semua air yang boleh digunakan untuk berwudhu’. Air yang boleh digunakan adalah air mutlaq, atau air bersih yang belum bercampur dengan dzat lain. Misalnya, air sungai, air sumur, air hujan, dan lain-lain.
Air bersih maksudnya di sini bukan berati warnanya harus bening. Bisa jadi warna airnya coklat, seperti sebagian air sungai karena bawaan tanah yang ada di dalamnya. Air sungai yang seperti itu masih boleh digunakan untuk wudhu’, meskipun warnanya berubah.
Dalam banyak kitab fikih disebutkan ada tiga macam air yang tidak boleh digunakan untuk wudhu’. Ketiga macam air tersebut adalah sebagai berikut:
Pertama, air musta’mal, yaitu air sisa membasuh anggota wudhu’. Biasanya, setelah membasuh anggota wudhu, misalnya membasuh wajah, sisa airnya menetes ke bawah. Tetesan air itu disebut dengan air musta’mal dan tidak boleh digunakan wudhu’.
Kedua, air bersih yang bercampur dengan benda lain, sehingga warna, bau, dan rasanya berubah. Misalnya, air teh, air kopi, atau air bersih yang dicampur dengan pewarna. Keseluruhan itu tidak boleh digunakan untuk bersuci.
Ketiga, air bersih yang terkena najis. Air bersih yang kurang dari dua qullah dan ada najis di dalamnya, tidak boleh digunakan untuk wudhu. Akan tetapi, kalau airnya lebih dari dua qullah, misalnya air sungai dan air laut, tidak masalah digunakan untuk wudhu selama warna, bau, dan rasanya tidak berubah.