Dua hari sebelum peringatan Hari Santri Nasional (HSN) 22 Oktober 2016 lalu, aksi terorisme terjadi di Tangerang Banten. Seorang pemuda secara membabi buta menyerang beberapa polisi yang sedang bertugas di pos Cikokol. Tak berselang lama, kepolisian RI menyatakan bahwa pelaku berafiliasi dengan Jamaah Ansharud Daulah, salah satu kelompok pendukung ISIS di Indonesia.
Sejatinya tak ada korelasi antara serangan tersebut dengan momentum peringatan HSN. Namun berdasarkan interogasi polisi terhadap pelaku sebelum menghembuskan nafas terakhir –seperti terekam dalam video amatir yang ditayangkan salah satu televisi swasta dan juga tersebar di media sosial, motif pelaku adalah menyerang ansharut taghut (para pembela taghut).
Lantaran tidak menjadikan Alquran dan Sunnah sebagai dasar negara dan konstitusi, sebagian kelompok menyematkan label thaghut kepada Republik ini. Maka aparatnya, baik sipil maupun militer, adalah ansharut thaghut yang dianggap kafir, bahkan halal darahnya. Pemahaman demikian menjangkiti kelompok-kelompok radikal-teroris, termasuk penyerang polisi Tangerang.
Tak seperti aparat negara lain, polisi menjadi incaran utama kelompok teroris. Serangan terhadap anggota korps bhayangkara dianggap sebagai qishos (balasan) atas tindak penegakan hukum yang dilakukan kepolisian terhadap rekan-rekan mereka. Lebih dari itu, mereka meyakini tindakan tersebut sebagai jihad yang diperintahkan oleh agama. Padahal secara hukum, aksi tersebut adalah tindak pidana.
Sementara di sisi lain, penetapan HSN oleh Presiden Joko Widodo merujuk pada momentum pencetusan Resolusi Jihad Nahdlatul Ulama, 22 Oktober 1945. Artinya, secara legal formal pemerintah mengabsahkan resolusi yang lantas menjadi legitimasi moral dan spiritual bagi arek-arek Surabaya dan sekitarnya melawan invasi militer pasukan sekutu.
Resolusi yang ditandangani oleh KH. Hasyim Asy’ari bukanlah instruksi perang, melainkan permohonan kepada pemerintah RI agar selekasnya menentukan sikap dan aksi nyata atas upaya pemerintah Belanda dan sekutu yang hendak kembali menjajah Republik yang baru seumur jagung. Para ulama memahami secara mendalam fiqih jihad, di mana instruksi perang hanya bisa dilakukan oleh kepala negara.
Di sinilah perbedaan antara resolusi jihad 1945 dengan instruksi jihad yang belakangan banyak beredar liar di kalangan kelompok radikal-teroris. Dahulu, resolusi jihad diterbitkan dalam rangka membela Republik Indonesia. Sebelum itu, pada 17 September 1945, KH. Hasyim Asy’ari mengeluarkan fatwa bahwa perjuangan membela tanah air adalah jihad fi sabilillah.
Sebaliknya kini fatwa dan instruksi jihad disebarkan justru untuk merobohkan pilar-pilar NKRI. Para pemberi fatwa bertindak sebagai pemimpin/imam yang berhak mendeklarasikan jihad secara serampangan. Tak heran aksi “jihad” mutakhir justru menumpahkan darah dan mengorbankan jiwa saudara sebangsa bahkan seagama. Padahal hifdhun nafsi (menjaga jiwa), seperti dikatakan Abu Ishaq Al Syathibi dalam Al Muwafaqat fi Ushulis Syariah, merupakan motif dasar formulasi syariat Islam. Karenanya, penghalalan darah manusia dengan alasan menegakkan syariat Islam sama halnya dengan menafikan syariat Islam itu sendiri.
Dalam hemat saya, penetapan HSN oleh pemerintah sangat tepat dalam situasi di mana eskalasi radikalisasi agama sedang naik, terutama karena kelahiran dan perkembangan pesat ISIS yang secara sepihak mendeklarasikan khilafah ‘ala minhajin nubuwah. Janji-janji surga para petinggi ISIS berhasil membuai ratusan WNI secara sukarela berangkat ke Suriah untuk bergabung dalam khilafah Islam. Sementara mereka yang tak memiliki kemampuan berangkat, melakukan amaliyat irhabiyah (aksi teror) di dalam negeri yang diyakini sebagai jihad fi sabilillah melawan thaghut.
Mayoritas santri di Pesantren tak lagi mempersoalkan NKRI dan pilar-pilar kebangsaan lain. Sebab perdebatan itu telah diselesaikan oleh kiai-kiai mereka yang menjadi anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), seperti KH. Abdul Wahid Hasyim, Ki Bagus Hadikusuma, dan Kasman Singodimedjo. Para santri tanpa canggung mengikuti upacara bendera sembari tetap mengenakan sarung, kopyah, dan sandal. Bagi santri, tak ada pertentangan antara Islam dan NKRI. Sebab seluruh pilar-pilar kebangsaan memiliki landasan teologis seperti didedahkan secara detail oleh Masdar Farid Mas’udi dalam Syarah Konstitusi (2011).
Kata santri pada awalnya adalah sebutan bagi mereka yang menimba ilmu agama Islam di Pesantren. Tetapi secara sosiologis, seperti kategorisasi yang dibuat oleh Clifford Geertz, atribut santri melekat pada orang Islam yang mengamalkan ajaran agama sesuai dengan syariat Islam. Merujuk pada definisi ini, sejatinya para pengikut kelompok radikal-teroris adalah kaum santri, hanya saja mereka menyempal dari arus utama santri Indonesia.
Secara kultural, saat ini kelompok santri arus utama terwadahi dalam beberapa organisasi kemasyarakatan (jam’iyyah), antara lain NU, Muhammadiyah, Persis, Al-Khairaat, dan Nahdlatul Wathon. Ormas-Ormas Islam tersebut, terutama NU dan Muhammadiyyah, mempunyai jaringan yang kuat dan mengakar. NU di daerah pedesaan sedangkan Muhammadiyah di perkotaan. Jaringan yang kuat dan mengakar ini adalah modal kuat membendung kencangnya arus radikalisasi agama.
Peringatan HSN adalah momentum tepat bagi kaum santri arus utama untuk membendung arus radikalisasi agama yang kian mengkhawatirkan. Ormas di Indonesia mempunyai karakter kuat dalam membendung ideologi kelompok radikal-teroris. NU misalnya, memiliki doktrin tawassuth (moderat), i’tidal (konsisten), dan tasamuh (toleran). Sedangkan di Muhammadiyah ada doktrin ummatan wasathan (umat penengah) dan syuhada’a (saksi) bagi umat yang lain. Jika prinsip-prinsip itu berhasil menjiwai jamaahnya, nyaris mustahil doktrin jihad salah kaprah dapat mempengaruhi mereka.