Meski telah 75 tahun merdeka, namun Indonesia belum mengalami kemajuan esensial yang signifikan. Masalahnya adalah, sampai dengan hari ini, eksistensi yang megah masih menjadi orientasi dominan dibanding esensi yang kokoh. Konsekuensinya, Indonesia cenderung megah secara eksistensi, namun rapuh secara esensi.
Contoh kerapuhan ini dapat ditemui di banyak hal, bahkan di hal-hal yang mendasar seperti slogan bhineka tunggal ika. Jargon dan slogan yang senada dengan bhineka tunggal ika banyak digunakan dalam bermacam bentuk dan kesempatan.
Namun, di balik kemegahan itu ada bermacam kenyataan pahit: tatapan rasis masih menjangkit, diskriminasi dalam beragama masih tinggi, dan secara politik kita terbelah.
Di ranah kemajuan teknologi, euforia revolusi industri 4.0 dan digitalisasi dipuja sebagai deus ex-machina penyubur ekonomi, pengganda efisiensi, atau bahkan peluas dakwah jauh lebih populer dibanding kesadaran tentang bayang-bayang kapitalisme berbasis manipulasi psikologis, politik yang semakin tidak jujur, semangat kerecehan, peningkatan pengidap depresi, dan perubahan cara pandang masyarakat yang tidak terkontrol tentang segala hal (politik, agama, sosial, dll).
Kemegahan eksistensi dan kerapuhan esensi juga terlihat dalam hal penanganan pandemi. Situasi pra-pandemi dibuka dengan Mark Lipsitch yang risetnya dianggap menghina Indonesia oleh Menteri Kesehatan. Mei 2020, ditangkapnya Ravio Patra karena mencurigai pemerintah mengutak-atik data Covid-19, mengindikasikan bahwa Ravio Patra secara tidak langsung telah berhasil membidik kemegahan eksistensi dan mempertanyakan esensi tata kelola pandemi yang dilakukan pemerintah.
September 2020, ketika kesenjangan antara klaim dan data pandemi semakin tak terkendali, BIN dan TNI gembar-gembor vaksin yang kematangan penelitiannya dipertanyakan. Oktober 2020, Omnibus Law yang sebagian muatannya tidak berpihak pada keberlanjutan alam dan mengingkari komitmen demokrasi, disahkan secara tidak transparan.
Padahal, di tengah situasi pandemi seperti ini yang diperlukan adalah pertaubatan kita (manusia) atas hubungan destruktif terhadap alam yang selama ini disangkal secara retorik namun dipelihara secara tindak-tanduk. Membiarkan lebih banyak kerusakan alam sama dengan memperbesar peluang munculnya kantong-kantong tragedi dan epidemi baru.
Dan, di tengah situasi tren ketidak-jujuran politik di berbagai negara demokratis, seharusnya kejujuran politik, yang selama ini kerap dirapal lisan tapi dikhianati oleh perbuatan, dijaga baik-baik.
Contoh-contoh di atas menyuratkan bahwa, obsesi terhadap kemegahan eksistensi ternyata lebih banyak membawa kala bendu dibanding membawa kebaikan yang selama ini diimajinasikan. Dengan kata lain, kemajuan dan kemaslahatan esensial yang selama ini disuarakan nyaring tidak kurang dari halusinasi verbal yang tampak nyata di spanduk, di podium, dan di promosi humas, namun fiktif di lapisan empirik. Dengan demikian, bayangan kita tentang Indonesia dan Pancasila yang indah dan beradab, dipertanyakan.
Apa yang terasa di hari ini adalah dampak dari persilangan antara kegagapan gaya berpikir warisan Orde Baru dan gurita oligarki dalam menyikapi tantangan zaman. Dalam bukunya David Bourchier, Illiberal Democracy in Indonesia(2015), di bab Indonesianising Indonesia, diceritakan bahwa di pertengahan tahun 70-an hingga pertengahan tahun 80-an, Soeharto terobsesi dengan proyek indoktrinasi massal tentang mendefinisikan ulang Indonesia dan Pancasila.
Indoktrinasi dalam proyek ini tidak hanya mencakup dimensi cara pandang masyarakat Indonesia terhadap masa lalu dan masa depan identitas nasional, tapi juga mencakup nilai hidup bagi tiap individu.
Tujuannya adalah, supaya Orde Baru dapat membatasi wacana dan pikiran apa saja yang mungkin tumbuh di bermacam lapis politik dengan menggunakan alasan ‘menjaga kesatuan.’ Dengan kata lain, agar Orde Baru punya legitimasi untuk mengeliminasi apa dan siapapun yang dianggap bertentangan dengannya, khususnya kelompok dan wacana kiri.
Di samping itu, Soeharto juga menganggap ABRI adalah institusi yang paling paham apa itu Indonesia dan apa itu Pancasila. Soeharto menginginkan agar hierarki yang berlaku di sistem kemiliteran juga dinternalisasi oleh semua elemen sosial, baik itu sekolah atau apapun.
Puncak indoktrinasi ini ada pada Pedoman P4 dan Pendidikan Moral Pancasila (PMP). Nilai-nilai seperti hierarki, ketertiban, kepemimpinan dan kekeluargaan menjadi energi utamanya. Meskipun terlihat santun dan mulia, namun kenyataannya Pedoman P4 dan PMP adalah dua hal yang sama-sama tidak humanis.
Partisipan yang sedang menghadiri sesi pembinaan P4 tidak boleh terlambat atau bahkan izin, meski dengan alasan sakit ataupun karena ada anggota keluarga yang wafat. Partisipan yang terlambat dinilai sama dengan gagal/tidak lulus pembinaan.
Ketika sudah di ruangan, partisipan harus: bersikap sebagaimana ‘etika’ yang telah ditentukan oleh pembina; menghormati pembina; tidak boleh nguap; dan partisipan yang terlalu vokal/kritis akan ditegur dengan alasan ‘tidak punya sopan santun.’
Sementara itu, dalam PMP, meskipun setiap elemen masyarakat yang lebih kecil (misal: anak atau murid) diwajibkan patuh dan taat pada elemen masyarakat yang lebih besar (misal: orang tua, guru atau pembina), namun PMP menganggap bahwa kesenjangan sosial seperti kemiskinan dan difabilitas adalah kehendak Tuhan (bukan kehendak struktur sosial buatan manusia).
Indoktrinasi yang digagas Soeharto menentukan moralitas seseorang berdasarkan imperatif kategori. Mereka yang gagal menginternalisasi P4 dan PMP dieksklusi lewat bermacam label peyoratif. Sedangkan mereka yang berhasil, akan mendapat label ‘manusia Pancasila,’ atau ‘manusia seutuhnya.’
Iklim sosial yang demikian meresap kedalam pikiran dalam bentuk gaya berpikir yang: kaku; berorientasi pada ‘kulit’ namun abai esensi; berpusat pada doktrin dan bukan dialog (baca: mendengarkan orang lain); hierarkis; dan bertendensi pada falasi ad auctoritatis―gaya berpikir yang sangat bertentangan dengan kebutuhan era saat ini.
Ketika gaya berpikir itu terwaris dan terbentur realita era saat ini, maka ketidak-tertiban dalam menyusun premis-kesimpulan dapat mudah diidentifikasi. Contohnya dapat dilihat di Narasi TV beberapa episode lalu saat Luhut Binsar Panjaitan menjadi tamu. Ada dua benang yang dapat ditarik dari episode ini.
Pertama, Luhut mengatakan “saya sebagai tentara, kalau sudah di putuskan, buat (baca: tugas) saya hanya dua: laksanakan dan amankan.” Ucapan ini menyiratkan prinsip hierarki dan kecenderungan menoleransi falasi ad auctoritatis.
Kedua, ketika ditanya soal bisa atau tidaknya menegakkan kesehatan publik di acara pilkada, kata adverbia seperti ‘mestinya’ dan ‘harusnya’ keluar beberapa kali dari jawaban Luhut. Dua kata adverbia tersebut mengindikasikan adanya imajinasi keberhasilan konseptual yang melangkahi peristiwa yang belum terjadi. Dengan kata lain, ada pemaksaan kehendak terhadap realita.
Terlepas dari baik atau buruk, adalah sah-sah saja jika seseorang memaksakan kehendak terhadap realita sosial (dunia IPS). Masalahnya adalah, dua adverbia tadi justru digunakan untuk menghadapi natural science problem (baca: pandemi).
Di dunia IPS, kalau suatu kenyataan tidak sesuai dengan konsep/teori/anggapan, maka seseorang punya kebebasan untuk mengoreksi baik itu kenyataannya atau konsep/teori/anggapannya. Namun di dunia IPA, kalau suatu konsep terbukti tidak dapat menjinakkan realita, maka yang dikoreksi adalah konsep/teori/anggapan yang digunakannya. Bukan realitanya.
Jika hukum dunia IPA ini tidak dipenuhi, maka seseorang akan dibinasakan oleh realita pahit yang ditampilkan alam. Artinya, gaya berpikir warisan Orde Baru tidak punya daya untuk mencengkram tantangan zaman selain dengan membangun kemegahan eksistensi yang pola kerjanya berlawanan dengan pola realita bekerja.
Akan tetapi, warisan Orde Baru tidak hanya berupa warisan gaya berpikir. Di lapisan politik, Orde Baru meninggalkan gurita oligarki. Sementara itu, di lapisan wacana, Orde Baru sukses menciptakan ‘hantu’ sekaligus ‘trauma’ terhadap gerakan kiri yang kelak berdampak pada tidak suburnya isu-isu emansipatoris (misal: konflik lahan, gender, Papua, penguatan demokrasi, keadilan sosial, dll) di Indonesia.
1998, Orde Baru tumbang. Gerakan islamisme tumbuh subur. Dan dari satu rezim ke rezim lainnya, bahkan hingga saat ini, arus perseteruan di Indonesia seakan hanya ping-pong dari kelompok islamisme (populisme islami) dan nasionalisme (populisme nasionalis).
Padahal di balik itu ada kelompok populis tengah (oligarki ataupun mereka yang berada disekelilingnya) yang memanfaatkan social capital ataupun perseteruan dari kubu islamisme dan nasionalis untuk kepentingan mereka. Contohnya dapat dilihat: bagaimana inkonsistensi gesture Jokowi terhadap terhadap ormas nasionalis antara saat pra-pemilu dan pasca-pemilu, khususnya yang berkaitan dengan isu Omnibus Law; dan bagaimana inkonsistensi posisi politik Prabowo terhadap pendukungnya yang berasal dari kelompok islamisme.
Populasi kelompok populis tengah cenderung minor, namun mengisi posisi-posisi strategis. Sehingga, dengan privilse yang ada, mereka punya kekuatan―baik itu yang berupa legal formal, ataupun wacana―yang melampaui kelompok islamisme dan nasionalis.
Ketika ada anggota dari kelompok nasionalis ataupun kelompok islamis yang mengevaluasi mereka, kelompok populis tengah memanfaatkan tuduhan ‘komunis,’ ‘kiri,’ ‘anarko,’ dst. ataupun tuduhan ‘khilafah,’ ‘jihadis,’ ‘radikal,’ dst untuk mendiskreditkan si evaluator. Label-label ini diluncurkan dari kesewenangan kelompok populis tengah dalam menafsir ideologi, termasuk ‘Pancasila’ dan ‘Indonesia.’
Kesimpulannya, gaya berpikir yang usang dan bertengger di posisi politik yang tidak tepat menyuburkan kekeliruan dalam mengidenfikasi masalah, kemunduran demokrasi dan menyuburkan perilaku destruktif yang merangsang hasrat bermegahan dalam persoalan ‘kulit’ yang semakin ambisius. Sehingga, jatuh pada prioritas dan penanganan masalah jangka pendek kerap menjadi jebakan periodik yang berulang sukses di Indonesia. Semakin kronis kerapuhan esensi, semakin tinggi hasrat bermegahan dalam eksistensi. Inilah kenapa, berbangga atas prestasi kecil dan beralasan/berkelit atas kekeliruan besar mudah di temukan di Indonesia. Politik di Indonesia hanya punya dua pilihan: tobat. Atau wafat.