Awal bulan ini, saya menemukan artikel tentang tingkat kedermawanan (generosity) di seluruh negara di dunia. Sebuah organisasi yang berpusat di Inggris, Charities Aid Foundation (CAF), telah mengeluarkan index negara-negara yang masyarakatnya paling dermawan.
Kriteria kedermawanan yang dipakai organisasi ini ada tiga hal. Pertama, menolong orang yang tidak dikenal. Kedua, berderma atau menyumbang uang untuk kebutuhan amal. Ketiga, meluangkan waktu untuk bekerja sukarela untuk sebuah organisasi.
Tahun 2018 ini, Indonesia menjadi negara nomor satu dalam World Giving Index. Negara kita ini mengalahkan Amerika Serikat (peringkat 4), Inggris (6), Belanda (11). Bahkan negara-negara yang dikenal sebagai paling dermawan dalam memberikan bantuan asing seperti Norwegia hanya ada pada tingkat 13.
Tahun lalu yang menjadi juara adalah Myanmar. Iya, negara yang dulunya bernama Burma, yang baru saja membuka diri dari pengaruh luar satu dekade lampau. Negara yang pemerintahnya melakukan pembantaian massal (genocide) terhadap bangsa Rohingya ini pernah menjadi negara dengan masyarakat paling dermawan.
Apakah kita memang dermawan? Saya tidak tahu bagaimana metodologi yang dipakai untuk menciptakan index ini. Tiga kriteria yang dipakai juga sangat longgar.
Menolong orang yang tidak dikenal, misalnya. Pengertiannya sangat ganjil. Saya teringat cerita kawan saya di Manhattan. Dia memakai kursi roda. Ketika harus naik ke trotoar (sebelum New York City ramah terhadap kaum difabel), lima enam orang akan sigap membantu dia.
Tidak demikian halnya bila Anda membutuhkan bantuan uang atau tempat tinggal, misalnya. Jelas orang di Manhattan tidak akan pernah membagi tempat tinggalnya untuk Anda.
Namun, betapapun rapuhnya, saya tidak mau mempertanyakan kesahihan ilmiah Index ini. Mungkin Index ini hanya dipakai untuk melakukan kampanye agar orang menjadi lebih dermawan.
Banyak orang percaya bahwa kedermawanan itu sesungguhnya sangat kultural. Di Indonesia, kita terbiasa dengan istilah gotong royong — memanggul beban sosial bersama. Kita juga percaya pada citra-diri (self-image) kita sebagai bangsa yang peramah, gemar menolong, santun dengan kebudayaan ketimuran yang kuat.
Setidaknya itulah yang kita proyeksikan sebagai citra-diri kita sebagai bangsa. Sebagian itu benar belaka. Sulit untuk menyangkal itu.
Namun kita perlu melihat lebih mendalam dengan melihat kontradiksi-kontradiksi antara citra-diri dengan kenyataan yang lebih luas. Apa yang terjadi?
Di tingkat individual, manusia Indonesia bisa jadi sangat peramah, sopan, santun dan berbudi. Namun kenyataan sosial kita di jalan raya, misalnya, mewahyukan sesuatu yang sangat bertentangan citra-diri itu. Manusia-manusia santun di tingkat individual menjadi sangat kejam-brutal dan egoistik.
Secara pribadi, kita gampang terharu. Sedikit saja rasa haru kita digelitik, dompet kita langsung terbuka. Entah berapa kali kita mendengar bahwa bantuan-bantuan yang kita berikan disalahgunakan.
Mungkin ini yang menyebabkan kita mendapat peringkat pertama dalam World Giving Index (WGI). Saking besarnya kedermawanan kita, bahkan kita berderma kepada Kotak Saran!
Singkatnya, kedermawanan yang terekam dalam World Giving Index itu, saya kuatir, tidak tercermin dalam hidup sosial kita. Disinilah sebenarnya letak masalahnya dan sekaligus disinilah indeks macam WGI tidak bicara apa-apa dan tidak ada relevansinya. Kecuali kalau Anda seorang nasionalis yang punya kebutuhan mengipas-ngipas kebanggaan diri.
Lalu, apa yang membuat ketidakjumbuhan antara moral individual dengan kehidupan sosial?
Kita harus melihat persoalan ini secara sosiologis. Taruhlah misalnya, gotong-royong. KIta menganggap itu sebagai salah satu cermin “kebaikan” kita sebagai masyarakat.
Kalau dikaji secara lebih mendalam, gotong-royong adalah sebuah institusi atau lembaga. Didalamnya ada aturan-aturan baik yang secara formal atau informal disepakati. Aturan itu ada yang menegakkan (enforcer). Jika dilanggar akan ada sanksinya.
Bayangkan bagaimana kalau Anda tidak ikut kerja bakti atau ronda? Di Bali, orang yang absen dari kegiatan Banjar, organisasi komunitas terbawah, akan dikenakan denda. Sanksi-sanksi seperti ada yang diterapkan dengan ketat. Ada juga yang longgar. Jika ia longgar maka institusinya semakin tidak berfungsi.
Institusi gotong royong itu hanya bisa menjangkau lingkup masyarakat yang kecil. Masyarakat saling mengawasi, saling menjaga, dan memelihara tertib sosial di lingkungan mereka.
Di tingkat yang lebih tinggi, kita membutuhkan negara. Itulah sebabnya, seperti kata Max Weber, seorang sosiolog Jerman, negara memiliki monopoli menggunakan kekerasan. Ini dibutuhkan karena negara harus menegakkan aturan.
Kita tidak bisa menarik garis lurus antara gotong royong di tingkat komunitas ke kehidupan di tingkat negara. Karena kehidupan masyarakat di tingkat negara jauh lebih rumit. Itu sebabnya negara membutuhkan birokrasi, militer dan polisi untuk menerapkan aturan.
Jadi, semua kegagalan dalam hidup sosial kita sebenarnya adalah kegagalan kita membangun institusi negara. Dalam hal ini, negara adalah seperangkat aturan dengan segala kelengkapan untuk menerapkan aturan tersebut.
Dengan demikian, jelas bahwa tidak ada hubungan langsung antara kebaikan pribadi dengan kehidupan sosial yang lebih baik. Anda boleh menjadi sangat saleh secara pribadi, namun Anda menjadi bajingan di tingkat sosial.
Ini juga yang menjelaskan mengapa banyak dari para koruptor itu sesungguhnya orang yang sangat saleh. Saya tidak meragukan sedikit pun kesalehan mereka secara pribadi. Namun, pada saat yang bersamaan mereka mampu mencuri dalam jumlah besar dan menjustifikasikannya kembali sebagai bentuk kesalehan — toh saya beramal, toh saya memberi sedekah, toh saya menyantuni yang miskin.
Banyak politisi (dan agamawan-politik) yang menganjurkan bahwa kesalehan adalah pondasi dari hidup sosial yang baik. Tetapi seperti yang Anda lihat, hubungannya sangat jauh.
Terlalu sering, politisi (termasuk agamawan-politik) ingin menjadikan masyarakat saleh adalah politisi yang korup.
Laporan World Giving Index (WGI) bisa dilihat di sini