Indonesia Mengawal Thudong: Bukti Toleransi Bukan Sekadar Rekognisi, namun juga Aksi

Indonesia Mengawal Thudong: Bukti Toleransi Bukan Sekadar Rekognisi, namun juga Aksi

Biksu-biksu yang baru pertama kali datang ke Indonesia tak pernah menduga mendapat perlakukan sehangat ini dan dukungan sebesar ini.

Indonesia Mengawal Thudong: Bukti Toleransi Bukan Sekadar Rekognisi, namun juga Aksi
Para Biksu singgah di Gedung Kanzus Sholawat, Kota Pekalongan, Kamis (25/5/2023). (Wahyu Hidayat/Radar Pekalongan)

Hari Kamis (1/6), 32 biksu Thailand telah sampai ke destinasi Candi Borobudur dalam rangka peringatan Hari Waisak. Mereka sedang melakukan ritual Thudong, jalan kaki dari Thailand menuju Candi Borobudur, Indonesia, tempat semua aliran Buddha merayakan Hari Raya Waisak. Tahun ini, Hari Waisak 2567 Buddhis Era (BE) jatuh pada tanggal 4 April 2023.

Sambutan orang Indonesia kepada mereka disebut sebagai sambutan luar biasa. Warga di daerah yang kebetulan dilewati biksu seolah sudah terbiasa dengan toleransi ketika melihat rombongan biksu lewat di depan pemukiman mereka.

Devi, seorang warga Pekalongan, dikutip dari BBC Indonesia, mengatakan,

“Ternyata kita bisa saling bantu dan dukung acara keagamaan, biar enak hidup bareng, cinta damai,”

Mengutip dari sumber yang sama, Fatma, seorang warga Pemalang, menuturkan,

“Indonesia penuh keragaman, banyak sekali yang bisa dilihat (di sini), menjaga toleransi, karena semua agama mengajarkan kebaikan,”

Ketika perjalan para biksu sampai di Pekalongan pada Kamis (25/5), Kanzuz Sholawat Habib Luthfi telah dipersiapkan sebagai tempat para biksu untuk beristirahat. Permintaan untuk beristirahat itu datang dari Habib Luthfi sendiri. Melalui panggilan video-call, Habib Luthfi meminta Bhante Wawan Kantadhamo, biksu asal Indonesia, untuk mampir ke tempatnya.

Bhante mengatakan bahwa apa yang ditunjukkan oleh Habib Luthfi adalah simbol toleransi beragama. Ketika biksu singgah di Kanzuz Sholawat itu pun mencerminkan toleransi yang kuat antara Islam dan Buddha.

Tidak hanya itu, enam pemuka agama juga turut menyambut para bhante tersebut. Ulama di Pekalongan menganggap bahwa yang ditampilkan oleh umat Islam terhadap para biksu itu adalah cerminan orang Indonesia pada umumnya.

Realitas ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia sudah paham prinsip toleransi. Toleransi merupakan bentuk akomodasi dalam interaksi sosial, dimana secara sosial manusia tidak bisa menafikan bahwa mereka harus menerima keberadaan manusia lainnya, bahkan jika hal tersebut harus berbeda dalam hal beragama.

Namun tidak hanya sekedar penerimaan, sikap toleransi membutuhkan sikap penghargaan dan penghormatan terhadap keberagaman itu. Kesediaan untuk mau menghargai paham yang berbeda dengan paham yang dianutnya sendiri. Bahasa sederhananya, ada aksi setelah rekognisi.

Kemampuan memahami adanya perbedaan, baik kebudayaan, suku, bahasa termasuk agama tanpa terkecuali di mana perbedaan-perbedaan tersebut muncul pada bangunan-bangunan konspetual. Pola-pola interaksi, bentuk-bentuk dari budaya materialnya maupun nilai-nilai estetiknya adalah wujud konkret dari sikap toleransi itu.

Keindahan itu misalnya bisa dilihat dari bagaimana masyarakat kita memberi makanan dan minuman kepada para biksu. Beberapa orang memberikan jasa pijat kepada mereka yang membutuhkan. Beberapa ormas Islam mengawal perjalanan mereka. Harmonis sekali.

Harmonisasi itu mengindikasikan pada tujuan agama itu sendiri, yaitu terciptanya hubungan manusia yang baik dan tertata dengan Tuhan, sesama manusia dan alam sekitarnya. Agama harus mewujudkan kemaslahatan umum dengan menggariskan dua pola dasar hubungan yang harus dilaksanakan oleh pemeluknya, yaitu hubungan secara vertikal dan hubungan secara horizontal. Islam mengistilahkannya dengan hablumminallāh wa hablum minannāsi.

Keberadaan sikap toleransi dalam beragama dapat dilihat dengan beberapa indikator. Di antaranya adalah adanya penerimaan terhadap kelompok agama lain untuk hidup bersama, terwujudnya
ruang dialog, serta adanya sikap saling menghargai terhadap ritual pelaksanaan agama oleh umat lain. Persis seperti yang ditampilkan sebagian masyarakat Indonesia terhadap para biksu dalam ritual Thudong.

Sebagai tokoh agama, Habib Luthfi juga memegang peran dalam melanggengkan praktik toleransi ini. Dengan Kanzuz Sholawatnya, Habib Luthfi menegaskan bahwa nilai-nilai toleransi dalam Islam tidak hanya menjadi sekedar jargon, namun benar-benar diejawantahkan dalam kenyataan.

Islam memiliki sejarah panjang dalam menata hubungan dengan kaum yang berbeda agama. Tidak ada tradisi persekusi kaum kafir dalam Islam. Rasulullah memberikan contoh bertoleransi kepada para sahabatnya melalui tindakan konkrit. Saat itu ketika Rasulullah berdiri, rombongan pengantar jenazah tiba-tiba lewat. Seorang sahabat memberitahu kepada Nabi bahwa jenazah tersebut adalah orang Yahudi. Namun, Nabi justru menjawab bahwa (meskipun demikian) ia juga manusia.

Pun dengan biksu-biksu tersebut. Bahkan, biksu-biksu itu tidak menduga akan mendapat perlakukan sehangat ini. Mereka yang baru pertama kali datang ke Indonesia tak pernah membayangkan mendapatkan dukungan sebesar ini.

Bagi mereka, sikap tenggang rasa yang ditunjukkan masyarakat kita memberikan dorongan semangat untuk menyukseskan Thudong. Bagi Indonesia, sikap toleran itu semakin menjaga citra keberagaman, persatuan, dan toleransi, setidaknya di mata para tokoh agama Buddha tersebut.