Para ulama sepakat bahwa keimanan adalah hidayah atau anugerah dari Allah. Imam al Ghazali, sufi besar Islam, dalam bukunya “Faishal al Tafriqah Baina al Islam wa al Zandaqah” mengatakan bahwa :
اَلْاِيْمَانُ نُورٌ يَقْذِفُهُ اللهُ فِى قُلُوبِ عِبَادِهِ عَطِيَّةً وَهَدِيَّةً مِنْ عِنْدِهِ
“Iman adalah cahaya yang diberikan Allah kepada hamba-hamba-Nya, sebagai anugerah dan hadiah dari sisi-Nya”.
Maka menurut Al-Qur’an kewajiban manusia hanyalah menyampaikan Amar ma’ruf nahi Munkar”, dan tidak memaksakan kehendaknya :
فَإِنْ أَسْلَمُوا فَقَدِ اهْتَدَوْا وَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّمَا عَلَيْكَ الْبَلَاغُ وَاللهُ بَصِيرٌ بِالْعِبَادِ
“Maka jika mereka masuk Islam, sesungguhnya mereka telah mendapat petunjuk, dan jika mereka berpaling, maka kewajiban kamu hanyalah menyampaikan. Dan Allah Maha Mengetahui hamba-hamba-Nya”.(Q.S. Ali Imran, 3:20).
Atas dasar itu Tuhan menganjurkan, jika kaum muslimin tidak setuju dengan ahli kitab (kaum Yahudi atau Nasrani), agar melakukan dialog dengan cara yang terbaik. Al Qur’an menyatakan :
وَلَا تُجَادِلُوا أَهْلَ الْكِتَابِ اِلَّا بِالَّتِى هِىَ اَحْسَنُ
“Dan janganlah kalian berdebat dengan ahli kitab kecuali dengan cara yang lebih baik”.(Q.S. al ankabut, 29:46).