Imam Sibawaih dan Sang Istri yang Cemburu dengan Buku-bukunya

Imam Sibawaih dan Sang Istri yang Cemburu dengan Buku-bukunya

Istri Sibawaih membakar buku-buku dan karya tulisnya, hingga semuanya lenyap dilalap api kecuali satu kitab.

Imam Sibawaih dan Sang Istri yang Cemburu dengan Buku-bukunya

Bagi orang yang bergelut dengan bahasa Arab, nama imam Sibawaih pasti sudah tidak asing lagi. Ia merupakan seorang ulama yang ahli dalam bidang nahwu atau gramatika bahasa Arab.

Nama aslinya adalah Abu Bisyr bin Usman bin Qanbar al-Bishri. Ia lahir pada tahun 761 M di Baidha, suatu daerah yang sekarang termasuk ke dalam provinsi Fars, Iran dan meninggal di kota Shiraz tahun 793 M.

Yang menarik walaupun Sibawaih ahli bahasa Arab, ia bukanlah orang Arab, melainkan Persia. Artinya, ia menggunakan bahasa Persia sebagai bahasa ibu dan bahasa Arab menjadi bahasa asing yang dipelajarinya. Namun, ia mampu menjadi pakar dalam bahasa asing tersebut melampaui penutur aslinya.

Kematangan intelektualnya dimulai ketika ia menuntut ilmu di Basrah, Irak. Di sana, ia berguru kepada seorang ahli bahasa yang bernama Khalil bin Ahmad al-Farahidi.

Saat itu, di Irak ada dua kutub keilmuan yang saling berebut pengaruh. Yang pertama adalah ulama yang berdomisili di Kufah dan satunya ulama yang berpusat di Basrah. Imam Sibawaih sebagai perwakilan dari Basrah melakukan perdebatan terkait bahasa Arab dengan al-Kisai yang mewakili ahli Kufah. Perdebatan tersebut terselenggara di pusat pemerintahan, Baghdad dan disaksikan oleh khalifah dan perdana menterinya.

Singkat cerita, perdebatan dimenangkan oleh al-Kisa’i. Namun, bukan berarti jawaban Imam Sibawaih salah, tetapi yang menjadi penengah yang tidak mengerti. Kejadian tersebut membuatnya kecewa, hingga ia memutuskan untuk kembali ke negerinya Persia, tepatnya di kota Shiraz. Ia tinggal di sana sampai maut menjemputnya. Bagi yang ingin berziarah, makamnya dapat ditemukan di komplek sankg-e siyoh di dalam kota Shiraz, provinsi Fars, Iran.

Namun, jika kita bertanya dengan menyebut nama Sibawaih ke orang Persia di Shiraz, mereka tidak akan mengerti. Mereka mengenalnya dengan nama Sibuyeh. Sibawaih adalah sebutan atau aksen orang Arab untuk menyebut Sibuyeh dalam bahasa Persia.

Julukan tersebut memang berakar dari bahasa Persia dari kata sib dan bu. Sib berarti buah apel, sedangkan bu bermakna harum atau bau sesuatu, sehingga jika digabungkan Sibuyeh memiliki arti orang yang aroma tubuhnyanya seperti harum apel.

Imam Sibawaih sebetulnya merupakan ulama yang produktif. Ia banyak sekali menghasilkan karya tulis. Akan tetapi, yang sampai kepada kita saat ini hanya tersisa satu kitab. Kitab yang membahas gramatika bahasa Arab tersebut berjudul Alkitab. Judul tersebut bukan penamaan yang berasal dari Imam Sibawaih, melainkan oleh orang yang menemukan naskahnya.

Hal itu terjadi karena konon Sibawaih merupakan orang yang mencurahkan hidupnya untuk ilmu. Istri beliau merasa tidak senang terhadap aktifitas Imam Sibawaih yang lebih mesra dengan buku-buku dibanding dirinya. Oleh karena itu, ketika Imam Sibawaih pergi, istri beliau membakar buku-buku dan karya tulisnya, hingga semuanya lenyap dilalap api kecuali satu kitab tersebut.

Walaupun demikian, Imam Sibawaih tetap dikenal sebagai ulama yang berkontribusi dalam perkembangan gramatika bahasa Arab. Bahkan, keahliannya ini membuat beliau mendapat kemuliaan di sisi Allah. Beberapa hari setelah beliau meninggal, sahabatnya bermimpi melihat Imam Sibawaih yang sedang dipenuhi suka cita di alam kubur. Setelah ditanya hal yang menjadikan beliau seperti itu, beliau menjawab bahwa karena pendapatnya yang menyatakan lafaz Allah adalah isim yang paling ma’rifat dari semua isim ma’rifat.

Dari kisah hidupnya ini, setidaknya ada tiga pelajaran yang dapat kita renungkan. Pertama, tidak menganggap remeh hal-hal kecil. Imam Sibawaih mendapat kehormatan di sisi Allah bukan karena karya-karya atau keluasan ilmunya, tetapi karena pendapatnya yang mengatakan bahwa lafaz Allah adalah isim yang paling ma’rifat. Oleh karena itu, kita harus belajar konsisten dalam berbuat kebaikan dari hal-hal yang walaupun tampak sepele. Jika kebajikan kecil dibarengi dengan ikhlas tentu nilainya akan berbeda di sisi Allah.

Kedua, menjalani hidup yang berkualitas. Imam Sibawaih meninggal saat usianya tergolong muda yaitu sekitar 32 tahun. Namun, di kehidupannya yang singkat, beliau mampu memberikan kontribusi maksimal di bidangnya. Kuantitas umur bukan jaminan untuk menjadi lebih baik. Sebaliknya, orang yang memanfaatkan waktu dan mengisinya dengan hal-hal positif adalah mereka yang disebut sebagai orang-orang beruntung.

Ketiga, kesungguhan dalam menekuni sesuatu. Walaupun Imam Sibawaih orang Persia, ia mampu menjadi ahli bahasa Arab. Ini menunjukkan kesungguhan beliau dalam menuntut ilmu. Ini juga dapat menjadi sebuah motivasi bagi kita bahwasanya keistiqamahan akan membawa kesuksesan. Jika kita menginginkan sesuatu dan kita bersungguh-sungguh di dalamnya, maka suatu saat kita akan memetik hasilnya.

Demikian kisah singkat Imam Sibawaih berserta hikmah-hikmahnya. Semoga kita mampu meneladani hal-hal positif darinya dan mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.

Wallahu a’lam.