Salah satu hal penting dalam permasalahan ibadah adalah niat. Hampir semua ibadah diwajibkan niat di dalamnya. Dalam shalat jamaah, niat bagi imam hukumnya sunnah, kecuali dalam shalat Jum’at. Apabila imam shalat Jum’at lupa, apakah sah shalat Imam? Lalu bagaimana dengan makmum? Apakah shalat Jum’atnya mesti diulang? Simak penjelasan di bawah ini:
Niat hukumnya wajib. Ini berdasarkan hadis shahih:
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إلَى اللَّهِ وَرَسُوْلِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لِدُنْيَا يُصِيْبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إلَى مَا هَاجَرَ إلَيْهِ
Artinya:
“Sesungguhnya amal bergantung niat. Dan sesungguhnya tiap orang tergantung dengan niatnya. Orang yang hijrahnya kepada Allah dan rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan rasul-Nya. Orang yang hijrah-Nya ke dunia yang ia peroleh atau perempuan yang ia nikahi, maka hijrahnya kepada apa yang ia hijrah padanya.”
Ulama fikih madzhab Syafi’i kemudian menyimpulkan kewajiban niat. Niat dalam shalat berati menghadirkan dalam hati nama shalat, hukum fardhu shalat, status shalat, ada’ atau qadha, dan menjadi makmum ketika memang manjadi makmum. Sedangkan niat menjadi imam saat menjadi imam shalat tidak diwajibkan dengan resiko tidak memperoleh pahala menjadi imam dan makmum tetap memperoleh pahala menjadi makmum.
Hal ini sebagaimana dijelaskan Imam al-Nawawi dalam Minhajul Thalibin bahwa:
وَلَا يُشْتَرَطُ لِلْإِمَامِ نِيَّةُ الْإِمَامَةِ ، بَلْ تُسْتَحَبُّ
“Dan tidak disyaratkan bagi imam untuk berniat menjadi imam. Tapi, disunnahkan berniat”
Akan tetapi, dalam shalat Jum’at ada pengecualian. Imam diwajibkan niat ketika menjadi imam shalat Jum’at. Imam Jalaluddin al-Mahalli menjelaskan:
( وَلَا يُشْتَرَطُ لِلْإِمَامِ نِيَّةُ الْإِمَامَةِ ) فِي صِحَّةِ الِاقْتِدَاءِ بِهِ . ( وَتُسْتَحَبُّ ) لَهُ لِيَنَالَ فَضِيلَةَ الْجَمَاعَةِ وَقِيلَ : يَنَالُهَا مِنْ غَيْرِ نِيَّةٍ لِتَأَدِّي شِعَارِ الْجَمَاعَةِ بِمَا جَرَى . – الي ان قال – وَمِنْ فَوَائِدِ الْوَجْهَيْنِ أَنَّهُ إذَا لَمْ يَنْوِ الْإِمَامَةَ فِي صَلَاةِ الْجُمُعَةِ هَلْ تَصِحُّ جُمُعَتُهُ ؟ وَالْأَصَحُّ لَا تَصِحُّ وَبِهِ قَالَ الْقَاضِي حُسَيْنٌ
“(tidak disyaratkan bagi imam untuk niat menjadi imam) maksudnya dalam persoalan sah tidaknya bermakmum pada imam tersebut. (dan disunnahkan) berniat imam baginya agar memperoleh pahala berjamaah. Ada ulama’ yang menyatakan, si imam tetap memperoleh pahala berjama’ah tanpa berniat menjadi imam. Sebab syiar berjamaah sudah didapatkan dengan keadaan yang ada –sampai kepada ucapan al-Mahalli- dan sebagian hal yyang dapat diambil dari dua pndapat sebelumnya, sesungguhnya apabila si imam tidak berniat menjadi imam dalam salat jum’at, apakah sah shalat Jum’at si imam? Menurut pendapat yang lebih shahih, tidak sah. Dan pendapat itu dipegang oleh Imam al-Qadhi Husain.
Imam al-Qulyubi dan ‘Amirah berkomentar lebih lanjut mengenai pernyataan al-Mahalli di atas, bahwa yang dihukumi tidak sah adalah shalat Jum’at si imam saja. Sedangkan bagi makmum, shalat mereka tetap dihukumi sah kalau memang tidak tahu kalau imam tidak berniat menjadi imam, serta bila makmum dan imam dijumlahkan maka lebih dari bilangan 40.
Kesimpulan dari uraian di atas adalah:
Pertama, bagi imam tidak diharuskan niat menjadi imam, dan hukumnya sunnah saja berniat menjadi imam, kecuali dalam shalat Jum’at.
Kedua, menurut pendapat yang kuat, bagi imam shalat Jum’at wajib berniat menjadi imam.
Ketiga, bila imam shalat Jum’at tidak berniat menjadi imam, maka resikonya shalat imam menjadi tidak sah.
Keempat, shalat makmum tetap sah bila seluruh anggota shalat jamaah lebih dari 40, termasuk imam, dan makmum tidak tahu kalau imam tidak niat menjadi imam.