Salah satu media nasional memberitakan Imam Istiqlal sebut kitab fikih saat ini produk perang salib. Judul berita ini tentu bikin heboh. Tapi bagi pengkaji fikih tentu tidak kaget dengan apa yang disampaikan Prof. Nasaruddin Umar dalam berita tersebut. Sebab, beliau bukan orang pertama yang mengatakan fikih yang dipelajari saat ini produk perang. Yang perlu diluruskan dari pernyataan ini adalah apakah maksudnya semua produk fikih produk perang salib, atau hanya sebagian saja?
Dilihat dari isi beritanya, tampaknya Prof. Nasaruddin tidak bermaksud untuk menyatakan semua produk fikih produk perang salib, sebab dalam fikih juga dibahas masalah shalat, puasa, zakat, haji, nikah, dan lain-lain. Penjelasan ritual ibadah seperti ini tentu tidak bisa dikatakan produk perang salib. Tapi sebagian produk fikih, terutama yang berkaitan dengan relasi muslim dan non-muslim, memang dirumuskan dalam kondisi perang dan konflik.
Perlu diketahui, fikih berbeda dengan syariat. Syariat bersifat pasti dan tidak dipengaruhi kondisi lokasi dan masa. Sederhananya, syariat menurut Jasser Auda adalah al-Qur’an dan hadis. Sementara fikih adalah pemahaman seorang ulama terhadap sumber hukum Islam: al-Qur’an dan hadis. Fikih bisa berubah, sementara syariat permanen. Karena fikih produk pemikiran, ulama setelahnya berhak untuk melakukan pembaharuan dan kajian ulang bila pendapat-pendapat sebelumnya tidak relevan dengan kondisi kikinian. Kita tidak perlu heran dengan adanya pembaharuan terhadap produk fikih. Imam al-Juwaini mengatakan, ulama terdahulu tugasnya membuat formulasi, sementara ulama setelahnya mengkritisi dan mereformulasi konsep yang sudah ada.
Produk fikih yang perlu dikaji adalah materi fikih yang dirumuskan dalam suasana konflik antara Muslim dan Non-Muslim. Di antara contohnya adalah dikotomi wilayah: darul Islam (wilayah Islam) dan darul harb (wilayah perang), seperti yang dicontohkan Prof. Nasaruddin Umar. Pembagian wilayah ini tidak ada landasannya secara spesifik dalam al-Qur’an dan hadis. Ini murni hasil ijtihad ulama. Syekh Wahbah al-Zuhaili dalam Atsarul Harb fi al-Fiqh al-Islami: Dirasah Muqaranah (Pengaruh Perang terhadap fikih Islam: studi perbandingan) menyimpulkan darul Islam dan darul harb murni produk pemikiran ulama abad kedua hijriah dan sangat dipengaruhi konflik Muslim dan Non-Muslim. Khaled Abou el-Fadl mengatakan konsep ini direproduksi dan disebarluaskan secara massif pasca perang salib, di mana hubungan Muslim dan Non-Muslim tidak membaik, renggang, dan penuh konflik.
Pembagian wilayah ini awalnya dibuat untuk memudahkan ulama fikih menentukan hukum bagi orang berada di wilayah mayoritas Non-Muslim dengan mereka yang menetap di wilayah mayoritas Muslim, dan membedakan hukum orang yang berada di zona konflik dengan mereka yang berada di zona aman. Penjelasan hukum seperti ini sangat penting pada masa itu, khususnya bagi pedagang Muslim yang kerap kali pindah dari suatu daerah ke daerah lain, karena perbedaan konteks sosial dan politik sangat berpengaruh terhadap perubahan hukum. Aturan ibadah orang yang berada di zona aman misalnya, tidak bisa disamakan dengan orang yang berada di zona perang.
Kendati pembagian wilayah ini populer dalam literatur fikih klasik, tetapi sebenarnya ulama terdahulu pun berbeda pendapat dalam mendefenisikan konsep darul Islam dan darul harb. Mayoritas ulama memang mengatakan darul Islam adalah wilayah yang dihuni mayoritas Muslim, pemerintahannya Muslim, menerapkan hukum Islam, dan penduduknya diberi kebebasan dalam menjalankan syariat Islam. Sementara darul Harb adalah setiap wilayah yang tidak menerapkan hukum Islam, pemerintahannya Non-Muslim, dan tidak dikuasai umat Islam.
Kalau defenisi ini digunakan secara harfiah tentu akan menimbulkan masalah. Ada banyak negara di dunia ini yang tidak dikuasai umat Islam, tetapi umat Islam di wilayah itu diberi kebebasan dalam menjalankan Ibadah, seperti banyak negara di Barat. Ada banyak negara juga yang dikuasai umat Islam, tetapi pemerintahanya tidak menerapkan hukum Islam secara formal, misalnya Indonesia. Pertanyaannya apakah Indonesia masuk darul Islam atau darul Harb? Para Kiai dari Nahdlatul Ulama menyebut Indonesia Darul Salam, sementara ulama dari Muhammadiyah mengistilahkan dengan Darul ‘Ahdi Wal Syahadah. Kedua istilah ini merupakan terminologi baru yang tidak terlalu populer pada masa klasik.
Masih terkait defenisi darul Islam dan darul harb, Abu Hanifah memahami kedua istilah ini berbeda dengan pendapat mayoritas ulama. Abu Hanifah lebih menitikberatkan pada faktor keamanan. Menurutnya, suatu wilayah dapat dikatakan darul Islam selama penduduknya, baik Muslim dan Non-Muslim, dapat menjelankan aktifitas keagamaan secara bebas. Sementara darul Harb adalah wilayah yang tidak aman dan umat Islam tidak diberi kebebasan dalam melakukan aktifitas beragama.
Defenisi yang dikemukakan Abu Hanifah ini menarik dikaji lebih lanjut karena lebih relevan dengan situasi kekinian. Kenyataannya, ada banyak negara yang dikuasai Non-Muslim, tetapi umat Islam diberi kebebasan dalam menjalankan ibadah. Sebaliknya, ada wilayah yang dikuasai umat Islam, tapi penduduknya tidak aman, penuh konflik dan perang. Merujuk defenisi Abu Hanifah ini, kita bisa katakan setiap negara yang aman dan umat Islam dijamin kebebasan dalam beribadah adalah darul Islam, meskipun pemerintahannya dari kalangan Non-Muslim. Sebaliknya, negara yang tidak aman, penuh konflik, dan penduduknya tidak bebas menjalankan ibadah, bisa disebut darul harb, sekalipun pemerintahannya Muslim. Karenanya, negara yang berstatus darul harb bisa berubah menjadi darul Islam bila pemerintahannya berhenti memerangi umat Islam dan menjamin kebebesan beribadah. Sebaliknya, negara yang berstatus darul Islam bisa berubah menjadi darul Harb bila memerangi penduduknya dan tidak menjamin kebebasan dan keamanan beribadah.
Konsep dikotomi wilayah ini tidak akan bermasalah semala kita mampu memahaminya dengan baik. Apalagi defenisi tentang darul harb dan darul Islam ini tidak tunggal. Pembagian wilayah ini bisa bermasalah bila dibajak dan disalahgunakan. Istilah ini seringkali dijadikan argumentasi kelompok teroris untuk memerangi Non-Muslim di Indonesia, karena Indonesia dianggap darul harb, dan mengajak hijrah ke wilayah kekuasan ISIS yang dianggap sebagai darul Islam.
Pernyataan Imam Besar Istiqlal yang dikutip beberapa nasional itu perlu dipahami dalam konteks melawan kelompok radikal yang kerapkali membajak terminologi fikih untuk kekerasan dan perperangan. Kalau tidak, bisa menimbulkan kesalahpahaman seakaan-akan semua materi fikih produk perang salib. Kemungkinan besar maksud dari pernyataan beliau adalah sebagian produk fikih dirumuskan dalam situasi konflik dan perperangan, karena sekarang kita hidup dalam kondisi damai, bahkan dengan Non-Muslim sekalipun, konsep pembagian wilayah: darul Islam dan darul harb, perlu ditinjau ulang.