Imam Besar Istiqlal, Prof.Dr. Nasarudin Umar menekankan agar semua kalangan tidak terperdaya dengan sisi teks luar Al-Quran saja. Menurutnya, perlu juga didalami motif serta memahami kaedah kebahasaan yang ada dalam Al-Quran.
Hal ini disampaikan ketika membuka International Converence of Quran and Hadith yang diselenggarakan oleh Jurusan Ilmu al-Quran dan Tafsir serta Ilmu Hadis Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada senin 06/11.
Salah satu ayat yang dicontohkan Nasruddin adalah Q.S. Ali Imran ayat 129:
رَبَّنَا وَابْعَثْ فِيهِمْ رَسُولًا مِّنْهُمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِكَ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَيُزَكِّيهِمْ ۚ إِنَّكَ أَنتَ الْعَزِيزُ الْحَكِيمُ
Dalam ayat tersebut redaksi fiil (kata kerja) yang digunakan adalah fiil mudharek, atau bisa disebut juga present future.
Menurutnya, dengan fiil mudharek yang digunakan dalam ayat tersebut maka ruh Rasulullah akan tetap mengajarkan kepada orang-orang khusus tentang ayat-ayat al-Quran, mengajarkan kitab dan hikmah serta menyucikan atau membersihkan hati walaupun jasadnya telah meninggal.
Maka dari itu, menurutnya, banyak beberapa ulama’ yang bertemu baik secara langsung maupun lewat mimpi dengan Rasulullah, seperti Ibnu Hazm, Imam Ghazali dan ulama’-ulama’ lain. Mereka ditemui Rasul karena Rasul ingin mengajarkan kitab dan hikmah kepada para ulama tersebut, bahkan Rasul ingin membersihkan hati mereka.
Bahkan Guru Besar Ilmu Al-Quran UIN Jakarta ini sangat percaya bahwa ulama’ sekaliber al-Ghazali dan Ibnu Hazm tidak akan berbohong jika mereka pernah mengaku bertemu Rasulullah Saw.
Baginya, pendekatan ini membantah beberapa kalangan yang menganggap bahwa tidak ada gunanya tawasul kepada Nabi serta orang-orang yang menyangsikan pertemuan para ulama’ dengan Nabi baik melalui mimpi maupun secara langsung.
Oleh karenanya, diperlukan pemahaman dan kajian yang holistik untuk membaca Al-Quran dan tidak merasa puas dengan pembacaan al-Quran dari luarnya saja.
“Jangan membaca al-Quran dari luarnya saja!” ungkapnya.