Imam Besar FPI Itu Tidak Butuh Dibela, Apalagi Pake Embel-Embel “Hayya Alal Jihad”

Imam Besar FPI Itu Tidak Butuh Dibela, Apalagi Pake Embel-Embel “Hayya Alal Jihad”

Imam Besar FPI Itu Tidak Butuh Dibela, Apalagi Pake Embel-Embel “Hayya Alal Jihad”

Sudah lebih dari dua minggu semenjak kepulangan beliau ke tanah air, saya ngempet untuk tidak berpendapat sedikitpun baik dalam tulisan, ataupun dalam obrolan-obrolan terkait apapun yang berhubungan dengan Imam Besar FPI Habib Rizieq Syihab, berikut segala isu tentangnya.

Meskipun beruntun saya ditembaki pertanyaan, sindiran, pemberitaan serius atau bohong-bohongan, atau juga guyonan, tapi tetap, saya bergeming. Saya memilih puasa, menghindari riuh rendah keributan menyangkut Imam Besar FPI (yang ternyata tidak ada habisnya!).

Tapi pertahanan saya akhirnya jebol juga. Sebab hari ini urusan tersebut serasa ultimate.

Sejak ngopi pagi, saya sudah diajak membahas headline Jawa Pos yang memberitakan kaburnya beliau dari Rumah Sakit padahal sedang diduga terjangkit Covid-19. Lalu di kantor, ketika menghadap Bos, agenda meeting -sampean boleh percaya atau tidak-, justru terisi pembahasan soal kriminalisasi ulama, yang sekali lagi, mengambil konteks sang Habib Rizieq.

Puncaknya adalah malam ini, seorang teman dari Jogja mengirimkan tautan twitter yang isinya video azan dengan format yang bikin saya mak jegagik: “hayya alal jihaaaad…hayya alal jihaaad” terdengar selepas lafal syahadat Rasul, diikuti pekikan jihad penuh semangat dengan gestur khas: tangan mengepal keatas.

Kalau kemarin ada lafal azan yang diubah agar umat muslim melaksanakan sholat dirumah karena adanya pandemi, sekarang azan ditambah-tambahi sebagai seruan pada umat untuk menyingsingkan lengan, terjun ke medan laga, tanding gelut!

Sik to.. Sik to.. Ini ada apa sebenarnya kok jadi rame bener mau jihad segala? Saya yang kudet sehingga tidak tau apa sebab-musababnya, atau memang ada isu tertentu yang sedemikian parah sehingga orang-orang ada dalam mode siap tempur begini?

Apa gara-gara kesemrawutan Negeri Nusantara ini sudah berada di ujung tanduk sehingga orang-orang makin tidak betah dan bersiap meledak? Ataukah ini sekadar aksi balas dendam atas pergerakan pasukan TNI beberapa waktu lalu yang dengan ratusan pasukan, membawa tank, dan segala peralatan senjatanya membereskan misi super berat: membredel baliho-baliho Imam Besar FPI?

Atau, mungkinkah ini terjadi karena ketersinggungan menyangkut jalur keturunan Nabi yang dikotori oleh penghinaan beberapa orang? Menghina keturunan Nabi, sama halnya dengan mencoreng kehormatan Nabi itu sendiri. Artinya, jihad ini adalah misi bela Nabi, yang semestinya berpotensi sangat mulia.

Hanya saja, saya kok belum menemukan masuk akalnya, bagaimana ceritanya, membela Sang Uswatun Hasanah yang penuh kasih sayang dalam segala aspek hidupnya, dengan aksi-aksi yang tidak mencerminkan sikap dan spirit Sang Suri Tauladan. Kan kontradiktif ya?

Tapi begini maksut saya, apapun alasannya, coba deh sekali waktu sampean berpikir dalam posisi Imam Besar saat ini. Misalnya, menjadi beliau sehari aja deh, atau setengah hari saja lah. Apa ya ndak pusing dibelain sekian banyak orang, didorong-dorong untuk mengomandoi revolusi, menggerakkan perubahan, atau menggulingkan pemerintahan?

Berat banget kan amanah Imam Besar itu? Kalau sudah begitu, apa kamu nggak kasian, dan berpikir bagaimana caranya agar minimal tidak makin membebani beliau?

Jujur saja, sekali waktu saya berharap bisa ketemu Imam Besar FPI, lalu dengan santai mengajak, “Bib, ngopi Bib, monggo kreteknya..,” biar lepas ketegangan yang seringkali tampak menutupi kecerahan wajahnya.

Sebab diam-diam saya menyimpan curiga, jangan-jangan Imam Besar FPI sendiri tidak pernah berharap ada aksi-aksi seperti ini. Tidak terbayang olehnya kerumunan manusia seperti kemarin di Bandara umpamanya. Apalagi heboh azan dan seruan jihad ini. Jangan-jangan beliau cuma pengen pulang aja ke Indonesia, mau unduh mantu (menikahkan anak), atau setidak-tidaknya hanya sekadar ingin menghirup kembali hangat dan nyamannya udara Nusantara yang tiada duanya.

Nah, kalau tiba-tiba banyak yang gerudukan datang menyambut beliau, mengarak-arak, bahkan tak sedikit pejabat yang sowan, lalu sekarang sekian ratus (atau juta?) umat meneriakkan jihad membelanya, itu semua, dalam bayangan saya, rada-rada mengagetkan Sang Imam Besar.

“Lho kok gini amat ya? Niat bener ini orang-orang..”, begitu mungkin bisik beliau pada isterinya ketika harus sering merangsek ke dapur minta dibuatkan tambahan kopi jahe khas arab yang cepat sekali dihabiskan para tamunya.

Kalaupun kemudian beliau menerbitkan kampanye revolusi akhlak, itu pun juga semata-mata karena menghormati sampean-sampean. Lha ya masak tega, melihat sekian banyak manusia repot-repot berkumpul rame begitu lalu tanpa sungkan bilang, “anu, Ana di sini cuma sebentar, mau ada acara keluarga. Sudah ya, bubar, bubar.” Kan ya ndak tega tho mas, mbak.

Baca Juga Habib Rizieq Itu Pimpinan Ormas, Bukan Imam Besar Umat Islam

Oleh sebab ke-tidak-tegaan dan tepo seliro Imam Besar pada umat itulah, saya pun berusaha meniru sikap beliau untuk tidak membuatnya lebih repot, sejauh kapasitas yang mungkin saya lakukan. Minimal seperti memberi penjelasan begini. Atau, setidak-tidaknya tidak ikut turun ke jalan dan bikin rame keadaan.

Dan, tentu saja, buat orang yang belum selesai dalam soal ijtihad pada banyak persoalan dengan diri sendiri, juga apalagi masih sangat dangkalnya pendalaman mujahadah hati, maka seruan jihad yang melibatkan keterhubungan dengan lingkungan sosial, barangkali memang bukan buat saya.