Setelah Daulah Umayyah tumbang, berdirilah Daulah Abbasiyah yang berkuasa dari tahun 132-656. Selama 523 tahun itu, Daulah Abbasiyah diperintah oleh setidaknya 37 khalifah. Pada masa itu perkembangan ilmu pengetahuan demikian maju pesat. Namun bukan berarti tak ada “noda”.
Pada masa kekhalifahan ketujuh, Khalifah Ma’mun bin Harun ar Rasyid, kemajuan ilmu pengetahuan begitu luar biasa. Namun banyak perselisihan antara kaum Mu’tazilah dan para ahli hadis serta fuqoha’ (ahli fikih). Seperti dituturkan dalam kitab Tarikhul Umam Al Islamiyah, kaum mutakallimin (Mu’tazilah) dianggap berlebih-lebihan dalam membahas Ushuluddin. Pertentangan itu terutama soal kemahlukan Al Qur’an.
Pertentangan itu kemudian terbawa ke dalam situasi politik, karena kaum Mu’tazilah banyak menguasai jabatan penting dalam negara. Seperti Ahmad bin Abi Duad, seorang ulama Mu’tazilah yang cerdas dan digandrungi oleh Khalifah Al Ma’mun.
Simpati Al Ma’mun atas pemikiran Mu’tazilah juga dipicu kecenderungan khalifah pada pemikiran Aristoteles. Sampai-sampai Al Ma’mun mengeluarkan surat perintah pada gubernur Baghdad, Ishaq bin Ibrahim serta gubernur Mesir, Nasr bin Abdullah untuk mencopot jabatan hakim maupun persaksian siapapun di depan pengadilan yang tidak mengakui kemahlukan Al Qur’an.
Secara berturut-turut khalifah mengeluarkan surat untuk menghukum ulama yang tidak sependapat dengan Mu’tazilah, bahwa Al Qur’an itu mahluk. Salah satu korbannya adalah Imam Ahmad bin Hanbal. Peristiwa ini kerap disebut sebagai peristiwa imtihanul Qur’an atau mihnah.
Sebelum meninggal, Khalifah Al Ma’mun membaiat saudara laki-lakinya Al Mu’tashim bin Harun ar Rasyid, seraya berwasiat agar imtihanul Qur’an tetap dilanjutkan dengan tetap mengajak Ahmad bin Duad sebagai penasehat. Wasiat itu dilaksanakan oleh Al Mu’tashim.
Ketika itu Ahmad bin Hanbal kembali dihadapkan kepada khalifah Mu’tashim dengan beberapa ulama Mu’tazilah. Bahkan diriwayatkan perdebatan terjadi sampai 3 hari hingga ulama-ulama Mu’tazilah putus asa dalam usaha menundukkan Ibnu Hanbal.
Beliau kemudian dihukum pukul 38 kali hingga berdarah-darah. Namun pada akhirnya Imam Ahmad bin Hanbal dibebaskan. Bukannya surut, imtihan ini tetap berjalan bahkan semakin ketat, termasuk di Mesir. Hingga banyak ulama yang menyelamatkan diri ke berbagai penjuru, termasuk ke Yaman seperti yang dilakukan oleh Dzunnun Al Misri al Shufiy.
Ketika Al Mu’tashim meninggal, anaknya Al Watsiq bin Mu’tashim bin Harun menggantikannya. Imtihan terus berjalan. Imtihanul Qur’an ini juga kerap disalahgunakan oleh beberapa pihak untuk menyingkirkan lawan politik atau ulama-ulama yang tak disukai.
Namun tetap saja resiko yang sedemikian berat tak diindahkan oleh banyak ulama, mereka kukuh menyatakan dan tak bergeser dari pendirian mereka. Ahmad bin Nashar bin Malik bin Haitsam diantaranya, bahkan karena saking membangkangnya hingga Khalifah Al Watsiq menghunus pedangnya dan memenggal kepala ulama kawakan Mesir ini.
Di antara orang yang memanfaatkan peristiwa imtihanul Qur’an secara politis adalah Muhammad bin Abi Laits, seorang qadlil qudlat (kepala kehakiman) Mesir. Ia sudah lama menaruh kecemburuan pada seorang murid Imam As-Syafi’i , yakni Yusuf bin Yahya Al-Buwaythi, atau dikenal sebagai Imam Al-Buwaythi.
Imam al-Buwaythi lahir di Buwayth, desa di daerah Mesir Hilir. Ia adalah murid kesayangan Imam as-Syafi’i dalam majlisnya. Ia pula yang menggantikan As-Syafi’i dalam majlisnya setelah kewafatan sang guru.
As-Syafi’i pernah mengatakan, “Tidak ada seorang pun yang lebih berhak menggantikanku dalam majlisku ini dari Abu Ya’qub (Al-Buwaythiy). Dan tak ada seorang pun dari sahabatku yang lebih pandai dari dia.” Imam Al-Buwaythi dikenal sebagai seorang ulama yang suka berpuasa, membaca Al Qur’an dan selalu berbuat baik.
Dalam kitab at-Thobaqat As-Syafi’iyah karangan Syaikh Abdullah bin Hijazi Al Syarqawiy diceritakan bahwa ketenaran Al-Buwaythi telah mengusik Muhammad bin Abu Laits. Hingga ketika sampai padanya perintah untuk melakukan imtihanul Qur’an, sasaran yang pertama dibidik adalah Imam Al-Buwaythi. Apalagi perintah dari pemuka Mu’tazilah yang menjadi penasehat khalifah, Ibnu Abi Duad memanglah ditujukan kepada Al-Buwaythi.
Di hadapan Ibnu Abi Laits dengan tegas Al-Buwaythi menyatakan pendapatnya, bahwa Al Qur’an bukanlah mahluk seperti pendapat Mu’tazilah. Bahkan ia menantang untuk tetap mengatakan hal tersebut walau di hadapan khalifah.
Imam Al-Buwaythi pun dihadapkan ke khalifah. Ia dibawa ke Baghdad bersama serombongan ulama lain dengan diikat pada borgol dan tali besi yang dikaitkan satu dengan lainnya. Selanjutnya dapat diduga, Imam Al-Buwaythi akhirnya dipenjara hingga meninggal pada tahun 231 atau 232 Hijrah. Ia dipenjara dalam keadaan terborgol.
Dalam ceritanya, setiap menjelang hari Jum’at beliau akan mencuci bajunya, membersihkan dirinya, mandi dan memakai wewangian. Manakala ia mendengar adzan berkumandang sebagai panggilan untuk sholat Jum’at maka ia akan menuju ke pintu penjara.
Sipir pun bertanya, “Hendak kemana engkau?” Imam Al-Buwaythi menjawab, “Aku hendak memenuhi panggilan Allah.” Sang sipir pun berkata, “Kembalilah (ke selmu), semoga engkau dirahmati Allah.” Imam Al-Buwaythi kemudian menyahuti, “Ya Allah, sesungguhnya aku hendak memenuhi panggilanmu. Tapi mereka menghalangiku.”
Dalam cerita ini jelas sudah jika agama berselingkuh dengan kekuasaan namun dalam hal yang salah, maka ia begitu kuat daya hancurnya. Bahkan sekelas Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Al-Buwaythi pun tak luput menjadi korban. Golongan yang kerap memainkan isu Islam dalam politik, kerap menggunakannya demi kepentingan pribadinya.
Semoga Allah selalu menolong kita.
Wallahu A’lam.