September selalu saja riuh dipenuhi kutukan, cacian, cerita keji, dan kewaspadaan akan kebangkitan d/a hantu PKI. Sudah sebulan penuh kita mendengar dan melihatnya. Teranyar, berita tentang Jenderal Gatot Nurmantyo dan ilusi kebangkitan PKI-nya tak lebih dari distraksi di lini masa media sosial, milik saya setidaknya. Sebuah fenomena repetitif dari tahun ke tahun. Tak ada habisnya. Tak pernah ada bosan-bosannya.
Bukan tidak boleh. Tapi sayang sekali kalau kita hanya akan berujung melanggengkan kebencian, mereproduksi kekerasan, dan memelihara ketakutan pada hantu yang kita ciptakan sendiri.
Lihat saja komentar bias dalam video penusukan Syekh Ali Jaber yang menyangkutpautkan pelaku dengan PKI, spanduk-spanduk ormas ultranasionalis di sepanjang jalan yang menghimbau kewaspadaan adanya neo-PKI, anak tentara yang mempersekusi orang di jalan cuma karena memakai pin berlogo palu-arit, pembakaran bendera komunis oleh ormas islamis-fasis yang entah didapat dari mana, perampasan buku yang mengandung unsur “kiri” tak peduli itu hasil penelitian akademik, persekusi acara “Asik-Asik Aksi” di YLBHI cuma karena mendatangkan para penyintas kekerasan 1965, dan masih banyak lagi.
Nah, coba cari mana yang bermanfaat dari paranoid PKI massal di atas? Tidak ada! Semua hanya berisi kebencian, praduga tak berdasar, kekerasan, kerugian material, pembungkaman akademis, dan ketakutan tak berujung.
“Loh! Anda ini tidak peka membaca tanda-tanda dan gerakan mereka. Kebangkitan PKI itu nyata. Mereka siap mengkudeta pemerintah dan membantai ulama kita. Maka dari itu kita perlu memberantas mereka sebelum muncul kembali.”
Begini. Pertama, satu-satunya yang nyata di sini bukanlah kebangkitan PKI, tapi keengganan kita untuk keluar dari zona nyaman keyakinan. Kita tidak berani mencari wacana pembanding dari luar gelembung dan lingkaran kita. Kita hanya terpapar suara-suara dari mereka yang takut, tulisan-tulisan dari mereka yang takut, dan aksi-aksi dari mereka yang takut. Kita takut salah. Kita takut terbantahkan. Kita tidak mencari kebenaran, kita hanya mengincar pembenaran. Di situ masalahnya.
Kedua, saya meyakini PKI telah mati. Para keturunan anggotanya bahkan tidak menunjukkan minat pada ideologi yang tidak mendapat ruang sama sekali di negeri ini. Komunisme sendiri telah gagal. Di Korea Utara, dia dibenci diam-diam oleh rakyatnya. Di Tiongkok, komunisme berubah menjadi kapitalisme dan bersembunyi dalam baju “sosialisme dengan karateristik Tiongkok”. Apalagi di negara-negara Barat, komunisme hanya menjadi bahan tertawaan dan ejekan belaka. Hari ini, demokrasi dan kapitalisme adalah makanan sehari-hari nyaris semua bangsa di dunia. Lalu apanya yang mau bangkit jenderal Gatot?
Ketiga, sebuah kemustahilan membayangkan kebangkitan partai yang dilarang oleh hukum di tengah jajaran elite pemerintah yang berisi polisi dan tentara. Sebuah kemusykilan membayangkan sekelompok orang bisa mendirikan partai kembali ketika ajarannya dibenci setengah mati oleh masyarakat, bahkan simbolnya saja haram tampil di depan mata. Juga sebuah ketidakmungkinan jika ada segerombol orang merencanakan pembantaian pada tokoh agama ketika semua ormas keagamaan punya paramiliter yang gerombolannya lebih besar dan siap bertaruh nyawa kapan pun.
Saya mengerti sekali perasaan banyak orang yang keluarganya pernah menjadi korban pembantaian PKI. Saya sendiri juga dekat dengan kisah-kisah itu. Tapi bukan berarti kita bisa mengumbar kebencian dan kekerasan pada orang-orang tak bersalah yang hidup hari ini. Apalagi menjadi dangkal pikir karena enggan belajar lagi, mengingat argumen “dikit-dikit PKI” adalah puncak segala pengetahuan sejarah.
Saya banyak mendapat cerita tentang kekejaman PKI dari nenek saya, seorang agamis yang mengalami langsung kemencekaman 1965; membaca historiografi Orde Baru lewat buku-buku sekolah, bertahun-tahun lamanya; membaca cerita-cerita tentang tragedi Kanigoro (Kediri) dan tragedi Takeran (Magetan) yang membuat trauma kaum santri.
Tapi saya juga membaca buku-buku sejarah di luar versi Orde Baru, baik oleh peneliti dalam negeri atau luar negeri; membaca tragedi-tragedi tentang kekerasan negara pada para simpatisan dan mereka yang dituduh komunis tanpa peradilan, yang di kemudian hari terbukti tidak bersalah; membaca kisah para anggota komunis yang juga seorang muslim yang taat; membaca beberapa kejanggalan narasi yang hiperbolis dan ahistoris produk Orde Baru; juga membaca kisah-kisah diskriminasi pada anak-cucu mereka yang dituduh PKI. Saya berempati pada itu semua.
Semuanya adalah kisah kelam di masa lalu yang patut disesalkan. Dari semua yang saya pelajari selama ini, saya menemukan bahwa sejarah tidak sehitam-putih yang diajarkan di bangku sekolah. Dunia politik amatlah rumit. Apalagi politik yang menyangkut identitas, kekerasan, dan terjadi di masa lalu.
Ada baiknya kita menghabiskan energi untuk persoalan-persoalan hari ini, ketimbang harus debat kebangkitan PKI dengan bahan “katanya”. Ada baiknya kita membaca-baca lagi banyak versi sejarah, ketimbang memberangus buku-buku marxisme yang isinya padahal mengkritik marxisme itu sendiri.
Ada baiknya kita membantu menjaga kelompok minoritas yang sering dipersekusi, ketimbang memukuli mas-mas memakai pin palu-arit di jalan yang tidak tahu apa-apa atau menyumpah serapahi mbak-mbak puteri Indonesia yang memakai baju palu-arit pemberian temannya dari Vietnam. Ada baiknya kita menyisihkan uang untuk para pekerja informal yang terdampak Covid-19, ketimbang menyetak spanduk waspada neo-PKI yang tidak jelas seperti apa atau membuat bendera PKI yang akhirnya dibakar-bakar sendiri.
Kita sudah sepakat bahwa Pancasila dan demokrasi adalah dasar bernegara yang perlu dirawat bersama. Tidak ada komunisme. Satu-satunya yang paling dekat dengan kata itu dan kita lakukan sehari-hari adalah konsumerisme. Itu pun hasil kapitalisme. Kebiasaan yang sangat dibenci para komunis.
Tapi saya serius. Alih-alih mengurusi hantu komunisme, kita perlu mengobati demokrasi kita yang sedang terkapar sakit. Belakangan ini, kebijakan-kebijakan yang dihasilkan pemerintah bukanlah hasil dari mendengar suara rakyatnya. Ya, seberapa pun keras kita bersuara toh pilkada tetap dilanjut di tengah pandemi, meski membahayakan nyawa banyak orang. RUU Penghapusan Kekerasan Seksual disisihkan dari pembahasan DPR, meski sudah jatuh banyak korban. RUU Omnibus Law juga terus dikebut untuk disahkan, meski bakal merugikan jutaan pekerja dan berpotensi merusak lingkungan. Kurang bahaya apa kalau sudah begini?
Sudahlah, saya sayang kalian semua. Jadi jangan buang-buang waktu dan tenaga untuk hal-hal yang tidak nyata. Pekerjaan kita masih banyak. Hidup sudah sulit, jangan dibuat makin sulit. Siapa lagi yang mau mencintai kita sebagai manusia dan sesama saudara? Siapa lagi yang mau merangkul kita dan bahu-membahu di masa sulit ini? Ya kita-kita sendiri.
Yuk, bisa yuk!