Peristiwa penting yang tercatat dalam sejarah terkait dengan kerasnya pertentangan seputar Tauhid dan Ilmu Kalam dapat tergambar dari kasus mihnah, dimana para cendekiawan dipaksa untuk meyakini konsep khalq al-Quran yang disodorkan mu’tazilah, dipimpin oleh sang khalifah al-Ma’mun. Akibat perdebatan ini, tokoh-tokoh yang menentang pendapat ini dijebloskan ke penjara.
Kita bisa lihat keseruan perdebatan tentang apakah manusia bisa melihat Tuhan ketika sudah mati misalnya, dalam kitab Al-Ghazali al-Iqtishad fi al-I’tiqad. Dalam kitab ini akan tampak bagaimana argumentasi dan sistematika yang dibangun Al-Ghazali telah sangat runut dan filosofis dalam memecahkan masalah Tauhid ketika dipertentangkan dengan dalil logika yang disodorkan kelompok mu’tazilah.
Ketika Islam masuk ke wilayah Nusantara, dalam kurun waktu yang tidak lama dari masa Al-Ghazali, ajaran tauhid dibawa dalam nuansa yang menyenangkan jauh dari perdebatan sengit dan argumentasi yang njelimet. Walisongo menggunakan medium wayang dan kearifan lokal lainnya seperti pupuh untuk mengajarkan Tauhid kepada masyarakat Nusantara. Konsep Tauhid dan praktek yang berlangsung di Nusantara menjadikan Islam sebagai agama yang masuk ke relung sanubari rakyat, karena dikemas dalam bentuk cerita-cerita yang digemari oleh seluruh lapisan masyarakat. Tauhid menjadi sesuatu yang meresap dan dirasakan, bukan dipikirkan terlampau serius.
Inilah Tauhid dalam corak Nusantara yang kita kenal. Memahami Tuhan, Allah SWT, dengan cara merasa dekat dengan-Nya, dengan memuji-Nya lewat puji-pujian sebelum adzan dan juga lewat pupuh yang diajarkan Walisanga. Di Pesantren-Pesantren pun, ketika berbicara soal Tuhid, maka yang wajib kita ketahui adalah 50 sifat Allah swt dan Rasul dengan rincian-rinciannya, itu sudah cukup. Yang menjadi bagian dari cara memahami dan mengenal Tuhan.
Lalu jika memang Tauhid seperti ini yang menjadi warisan dan karakter kita, umat muslim di Indonesia, mengapa acapkali kita melihat pertentangan baik dalam internal maupun eksternal umat? Dan bagaimana sebaiknya cara kita menyikapinya?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, kita bisa belajar dari KH. Abdurrahman Wahid yang akrab disapa Gus Dur. Melalui tulisan berjudul Tuhan Tidak Perlu Dibela, Gus Dur membuat sebuah analogi dan cerita tentang sarjana x lulusan luar negeri yang gelisah dan kaget melihat ekspresi kemarahan umat Islam dalam khutbah jumat dan pidato para da’i.
Meski Sarjana X ini lulusan doktor ilmu sosial yang mampu menguraikan gejala ‘selalu merasa terancam’, namun dalam analisanya akar permasalahan kemarahan ini adalah berasal dari ajaran agama yang paling inti. Akhirnya dia memutuskan untuk menemui pamannya di kampung halaman, seorang kiai ahli fiqih, yang mumpuni. Namun, jawaban sang kiai, “kau yang tidak tabah, kau harus tau semua sikap yang kau anggap kemarahan sebenarnya perwujudan dari tugas amar ma’ruf nahi munkar.”
Singkatnya Gus Dur kemudian menceritakan bahwa si sarjana x ini menemui guru tarekat yang mengajarinya kepasrahan, bahwa Allah SWT Maha Besar, tidak memerlukan pembuktian akan kebesaran-Nya, Yang Maha Besar karena ia ada, tak peduli bagaimana persepsi makhluk atas diri-Nya, tidak akan mempengaruhi kekuasaan-Nya.
Analogi Gus Dur ini menggambarkan situasi masyarakat sekitar tahun 1970 hingga 1980 an. Jika kita refleksikan, rasa-rasanya tulisan Gus Dur 40 tahun yang lalu masih terasa relevan untuk saat ini.