Ijtima Ulama III dan Multaqo Ulama, Berebut Otoritas?

Ijtima Ulama III dan Multaqo Ulama, Berebut Otoritas?

Beberapa minggu setelah Pemilu 2019, ada dua pertemuan, Ijtima Ulama III dan Multaqo Ulama.

Ijtima Ulama III dan Multaqo Ulama, Berebut Otoritas?

Pasca pemilu tepatnya pilpres, terjadi polarisasi masyarakat yang luar biasa. Gesekan horizontal begitu terasa, apalagi sebagian pihak menggunakan dalih agama demi kepentingan politik elektoral semata.

Sebenarnya hal sedemikian itu dapat kita rujuk pada agenda politik sebelumnya, yakni pada pilkada Jakarta. Agama dijadikan komoditas politik, diperdagangkan sedemikian rupa sebagai senjata meraup suara. Kejadian penolakan menyalati jenazah muslim yang berbeda pilihan politik, telah menyayat jantung kemanusiaan kita sebagai sesama muslim yang seharusnya bersaudara.

Baru-baru ini, kita temui dua kubu (kalau boleh disebut demikian) pertemuan ulama dengan hasil berbeda. Pertemuan pertama adalah Ijtimak Ulama III, yang digelar di Hotel Lorin, Bogor, Jawa Barat. Dalam pertemuan tersebut disepakati 5 point yang terlihat jelas memihak pada salah satu pasangan calon presiden tertentu.

Terbaca jelas pula upaya tersebut berkeinginan “mendelegitimasi” proses pemilu dengan menghakiminya sebagai proses yang curang. Hasil pertemuan tersebut juga jauh dari harapan untuk menyudahi polarisasi umat. Alih-alih menggadang rekonsiliasi, kesepakatan-kesepakatan pertemuan tersebut hampir bisa dipastikan memperlebar jurang pemisah antar kedua belah pihak pendukung paslon capres-cawapres.

Sedangkan pertemuan kedua adalah Multaqo Ulama, Habaib dan Cendekiawan Muslim yang diselenggarakan di Hotel Kartika Chandra, Jakarta Selatan. Ada 8 point kesepakatan yang dihasilkan dalam multaqo tersebut. Berbeda dengan Ijtimak Ulama, Multaqo Ulama justru menyerukan upaya rekonsiliasi antar anak bangsa, menghindari perpecahan dan agar tetap taat pada koridor hukum serta menjaga keutuhan bangsa. Kesetiaan pada NKRI dan Pancasila digaungkan.

Multaqo juga merespon isu-isu yang berkembang dengan menyerukan pada umat untuk menghindari aksi inkonstitusional yang berpotensi makar, serta isu-isu lain seperti pengembangan ekonomi umat, ketimpangan sosial, termasuk mendorong umat untuk mengejar ketertinggalan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Tak terbaca satupun upaya dukungan pada salah satu paslon capres-cawapres. Karena memang tidak perlu, mengingat bahwa kampanye dan pemilu sudah usai.

Melihat fenomena ini, kita patut bertanya, dimana posisi dan peran ulama ketika terjadi polarisasi di tubuh umat muslim? Bukankah harusnya mereka menjadi garda depan menjaga agama dan umat? Bagaimana pula kita menilai dua pertemuan itu, mengingat bahwa posisi ulama mempunyai otoritas yang tinggi di dalam dunia Islam?

Menilai kedua pertemuan itu, haruslah kita melacak kesesuaian hasil pertemuannya dengan ajaran Islam. Misalnya saja tentang semangat Islam untuk menjadi rahmat bagi semua alam (rahmatan lil ‘alamin), membangun persatuan umat, berbuat baik yang dalam banyak hal justru berdekatan dengan semangat rekonsiliasi (islah).

Dalam banyak tempat, Al-Quran seringkali memakai kata yang sama untuk menggambarkan “kebaikan” dan “rekonsiliasi”, yakni dengan kata islah, sulh. shalih, mushlih dan sejenisnya.  Dalam surat Al Hujurat ayat 10 misalnya, Allah SWT berfirman:

“Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu damaikanlah (perbaikilah hubungan) antara kedua saudaramu itu dan takutlah terhadap Allah, supaya kamu mendapat rahmat.”

Dalam ayat ini terdapat perintah untuk mendorong rekonsiliasi, jika terdapat perselisihan antar muslim. Kita tahu, semua pasangan calon presiden di negeri ini adalah muslim. Maka layaklah kiranya kita merujuk pada ayat ini. Pada ayat ini digunakan fi’il amr (perintah) untuk mendamaikan dengan kata aslihu, berarti damaikanlah.

Kata perintah serupa dapat kita temui dalam beberapa ayat, termasuk perintah mendamaikan pasangan suami istri yang sedang dalam masalah. Seperti dalam Q.S Al Baqarah ayat 228 dan Q.S Al Nisa ayat 35. Semuanya menggunakan kata islah, berdamai, berbaikan atau melakukan kebaikan.

Menyelidiki ayat ini, baiknya kita merunut pada penafsiran para ulama terdahulu. Penafsiran pertama, dalam tafsir Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil karangan Imam Nashiruddin al-Baydhawi dinyatakan bahwa, semua muslim adalah bersaudara. Menjadi Saudara karena timbul dari sebuah asal satu yang hakiki, yakni keimanan.

Untuk itulah Allah memerintahkan kita untuk mendamaikan dua orang muslim yang berselisih. Anjuran mendamaikan dengan kata fa aslihu itu merupakan pengulangan atas perintah yang sama dari ayat sebelumnya. Ini menunjukkan pentingnya makna perdamaian dari dua orang muslim yang bertengkar.

Penafsiran kedua berasal dari kitab tafsir al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an karya seorang cendekiawan asal Cordoba Spanyol, Imam Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abu Bakar al-Qurthubiy atau kita kenal sebagai Imam Qurthubiy.

Dalam tafsirnya, al-Qurthubiy menjelaskan ayat ini dalam tiga bagian. Pertama, bahwa sesama muslim adalah bersaudara dalam agama dan kehormatannya, bukan dalam hal nasab. Maka bisa dikatakan bahwa persaudaraan seagama adalah lebih kuat dari persaudaraan senasab. Karena persaudaraan senasab dapat putus jikalau berbeda agama (tidak dapat saling mewarisi, misalnya). Namun persaudaraan seagama tidak memandang nasab.

Maka dari itulah dalam hadis Sahihain disebutkan bahwa Rasulullah bersabda, “Janganlah kalian semua saling mendengki, saling marah, saling mencari kesalahan, jangan saling menipu. Jadilah hamba-hamba Allah yang bersaudara.” Dalam beberapa hadis lain juga diberitakan hadis yang sama, dengan larangan yang hampir sama, dilarang menyakiti, menciderai kehormatan, harta dan raga sesama muslim.

Kedua, al-Qurthubiy menekankan pentingnya mendamaikan dua golongan kaum muslim yang saling berseteru. Ayat ini ada juga yang mengatakan dimaksudkan untuk suku Aus dan Khazraj. Lafaz ahawain dalam ayat ini adalah dua golongan (thaifataini).

Ketiga, ayat ini juga mengindikasikan bahwa ketegangan atau perselisihan antar muslim tak dapat menjadikan hilangnya keimanan seseorang. Karena dalam ayat ini seperti dijelaskan ayat sebelumnya, seseorang yang telah berselisih dengan saudara muslimnya tetap dipanggil oleh Allah sebagai saudara seiman.

Dalam tafsirnya, al-Qurthubiy juga menjelaskan dengan sebuah teladan dari sayidina Ali bin Abi Thalib ketika memerangi pemberontak yang menyelisihinya dalam perang Jamal dan Shiffin. Imam Ali ditanya, “Apakah mereka yang memerangimu adalah orang musyrik?”

“Tidak, mereka jauh dari kesyirikan.”

“Apakah mereka orang munafik?”

“Tidak, orang munafik tidak akan mengingat Allah, kecuali sedikit saja.”

“Lalu siapa mereka (yang memerangimu)?”

“Mereka adalah saudara kita, yang berbuat aniaya kepada kita.”

Penafsiran ketiga, kita merujuk pada kitab tafsir Marah Labid, karya Syaikh Nawawi dari Tanara Banten. Beliau menjelaskan hal yang hampir sama dengan kitab-kitab tafsir lainnya, bahwa kaum muslim adalah saling bersaudara. Namun ada hal menarik dalam tafsir beliau, yakni pernyataan jika perselisihan antar dua orang saudara muslim tidak sampai taraf perang atau saling bunuh (karena saling bunuh menyebabkab hukum qishas), maka sebaiknya perdamaian antar dua orang saudara muslim tadi diselesaikan dengan segera. Keduanya harus didorong untuk berdamai dan menyepakati rekonsiliasi.

Menilik dari kitab-kitab tafsir diatas, selayaknya para ulama memulai gerakan rekonsiliasi untuk menyatukan kembali persaudaraan seiman dan sebangsa yang sempat terkoyak. Ulah sebagian orang yang menamakan dirinya ulama namun tindakannya menyalahi ajaran-ajaran mulia Islam tentu tak dapat dibenarkan. Misalnya saja dengan mengatakan orang lain yang berbeda pandangan dan pilihan politik sebagai orang kafir, musyrik dan munafik.

Padahal telah jelas pula jika keimanan seseorang tak dapat hilang dengan perbedaan dan perselisihan pendapat, apalagi hanya berkaitan dan pandangan serta pilihan politik, maka semua yang terlibat dalam perbedaan pendapat politik masihlah saudara seiman. Selayaknya para ulama menyerukan untuk memperkuat ikatan persaudaraan seiman yang tidak mungkin putus oleh perbedaan pilihan politik. Seharusnya para ulama menjadi garda terdepan dalam menjaga ukhuwah islamiyah, ukhuwah basyariyah dan ukhuwah wathaniyah, menghalau perpecahan dan kehancuran umat.

Ulama bukan hanya sekedar orang saleh semata, namun juga harusnya berlaku sebagai seorang mushlih. Bukan sekedar berbuat baik, namun juga menginisiasi kebaikan dengan mendorong perbaikan di wilayah sosial kemasyarakatan. Dalam konteks pasca pemilu atau pilpres ini, ulama harusnya mendorong rekonsiliasi, islah antar kedua belah pihak. Sehingga umat tidak lagi terkotak-kotakkan dalam perbedaan yang dapat mengganggu kohesi sosial.

Seperti yang diajukan oleh Syaikh Nawawi dalam tafsirnya, bahwa perselisihan akibat perbedaan pilihan politik nyatanya bukanlah perbedaan yang prinsipil dan elementer. Perbedaan ini hanya timbul dari perbedaan sudut pandang saja. Untuk itu ulama harus berusaha mendorong percepatan proses rekonsiliasi di negeri. Jika ada yang mendaku ulama, namun semata membicarakan kekuasaan dan menebar provokasi, patut kita pertanyakan bukan hanya tujuan dan motifnya, namun juga kepada ajaran siapa ia bersandar. Karena Allah SWT jelas memerintahkan kita berbuat baik dan menjaga hubungan sesame muslim dan sesama manusia.

Dengan bekal itulah kita selayaknya menilai kualitas dan otoritas kedua pertemuan tersebut. Mana diantaranya yang menyerukan kebaikan, perdamaian, persaudaraan, disanalah harusnya ulama berpihak. Karena di sanalah ajaran Islam sedang ditegakkan.

Wallahu a’lam.