Idul Fitri dan Konsep Kemenangan Hakiki (Bagian 2-Habis)

Idul Fitri dan Konsep Kemenangan Hakiki (Bagian 2-Habis)

Idul Fitri dan Konsep Kemenangan Hakiki (Bagian 2-Habis)

Puasa, merupakan salah satu teknik pendidikan untuk manusia agar manusia meningkatkan kesadaran bahwa dalam dirinya terdapat hawa nafsu yang harus dikelola, bukan malah menyangkal adanya hawa nafsu atau mengebirinya. Karena bagaimanapun juga, hawa nafsu masih diperlukan dalam hidup, seperti nafsu biologis untuk mempertahankan hidup.

Ketika seseorang sudah menyadari adanya hawa nafsu, maka akan lebih mudah untuk mengendalikannya. Berbeda ketika seseorang tidak menyadari bahwa dalam dirinya ada hal yang perlu ditundukkan, maka hawa nafsu bisa saja terus mempengaruh perilakunya. Seperti pendapat Imam Al-Ghazali dalam Kimiya’us Sa’adat, jika nafsu dan amarah menguasai nalar, maka jiwa akan runtuh, sehingga jasad beserta perilakunya akan rusak.

Puasa wajib di bulan Ramadhan, dilaksanakan rutin sekali (selama sebulan) dalam setahun. Ini artinya, Tuhan ingin merutinkan pendidikan kepribadian untuk manusia beriman agar dapat mengendalikan diri dari hawa nafsu. Dalam perspektif psikologi, hal ini dinamakan pembiasaan (kondisioning). Teknik pembiasaan ini lebih efektif mengubah perilaku individu daripada hanya perlakuan yang diterapkan dalam jangka waktu yang pendek. Namun, mengapa pembiasaan ini kurang efektif dalam konteks puasa? Kembali lagi, bahwa puasa harus dimaknai secara komprehensif, bahwa puasa bukan hanya menahan diri dari makan, minum, dan berhubungan intim, tetapi juga menahan diri dari segala pengaruh hawa nafsu.

Di sisi lain, ketika manusia selesai berpuasa di bulan Ramadhan, sebenarnya mendekati Ramadhan yang akan datang, sehingga siklus menjaga perilaku terus terjadi. Lagipula, Tuhan masih menyediakan puasa-puasa sunnah (seperti puasa enam hari di bulan Syawal, puasa Senin – Kamis, puasa di bulan Rajab dan Sya’ban untuk menyambut puasa Ramadhan) sehingga Tuhan tidak serta merta melepas pendidikannya yang berwujud puasa wajib Ramadhan.

Seperti halnya dalam pendidikan pada umumnya, keberhasilan seseorang akan diakui justru ketika sudah melaksanakan pendidikannya. Begitu juga puasa, kemenangan seseorang dalam mengendalikan hawa nafsu sebagai indikator keberhasilan pendidikan puasa justru diukur bukan hanya selama Ramadhan, namun juga ketika seseorang sudah melewati Ramadhan dan menjalani kehidupan selama sebelas bulan di luar Ramadhan.

Ditambah lagi, ketika akhir puasa Ramadhan, umat Muslim diwajibkan menunaikan zakat. Zakat ini mengajarkan umat Muslim juga untuk mengalahkan nafsu atas kepemilikan yang berupa harta benda. Bahwa sebagian harta diberikan kepada pihak yang lebih membutuhkan. Dan inilah yang dinamakan kemenangan hakiki, kemenangan yang ditandai dengan kemampuan Muslim untuk tetap menjaga perubahannya selama bulan Ramadhan dan diimplementasikannya pada bulan di luar Ramadhan, serta mampu menjaga diri dari pengaruh hawa nafsu dan mengalahkan ego terhadap harta kepemilikan. Karena bicara perubahan, juga harus bicara konsistensi perubahan tersebut, bukan sebatas perubahan temporer pada bulan tertentu. Semoga puasa dan zakat kita diterima Allah SWT dan membawa dampak yang menetap serta luas, terutama dalam membangun karakter dan kepribadian menuju peradaban yang semakin baju. Wallâhu a’lam bish shawâb. []

 

Ahmad Saifuddin, M.Psi., Psikolog dan dosen IAIN Surakarta.