Idul Fitri dan Konsep Kemenangan Hakiki (Bag-1)

Idul Fitri dan Konsep Kemenangan Hakiki (Bag-1)

Idul Fitri dan Konsep Kemenangan Hakiki (Bag-1)

Ramadhan usai. Hiruk pikuk memeriahkan hari raya Idul Fitri terlihat di berbagai tempat. Hari raya yang seringkali disebut dengan hari kembalinya diri menjadi i dan hari raya kemenangan. Kemenangan setelah mengekang hawa nafsu sebulan penuh. Setiap orang bersuka cita. Namun, ada hal menarik yang patut direnungkan. Pantaskah kita menganggap diri kita menang? Lalu, kemenangan yang seperti apa yang kita dapatkan?

Secara eksplisit, puasa merupakan sebuah metode yang diberlakukan oleh Allah SWT kepada orang beriman untuk mencapai derajat takwa, seperti firman-Nya dalam Surat Al Baqarah ayat 183. Takwa sendiri memiliki makna kemampuan individu untuk menjalankan segala perintah Tuhan dan menjauhi segala larangan Tuhan. Derajat takwa sendiri merupakan salah satu derajat yang sangat tinggi untuk dicapai. Metode untuk menempa kepribadian manusia.

Selama puasa individu diwajibkan untuk menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkan sejak terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari. Bukan hanya menahan diri dari makan, minum, dan berhubungan intim, namun juga menahan diri dari segala bentuk manifestasi nafsu.

Manusia tersusun atas beberapa potensi, yaitu potensi ketuhanan yang selalu mengajak pada kebaikan dan potensi keburukan yang cenderung membawa manusia pada kerusakan. Potensi keburukan ini yang kemudian berwujud nafsu, atau lebih sempit lagi bernama nafsu amarah.

Maka dari itu, manusia merupakan makhluk paling sempurna, karena diberi kemampuan untuk mengelola dan memilih kedua potensi tersebut. Sehingga, ketika manusia mampu mengalahkan nafsunya dan mengoptimalkan potensi ketuhanannya, maka manusia menjadi lebih mulia daripada malaikat. Namun, ketika manusia tergelincir menuruti hawa nafsunya, maka manusia lebih sesat daripada hewan ternak dan lebih buruk daripada setan.

Banyak riwayat yang menjelaskan bahwa selama bulan Ramadhan, setan dibelenggu di neraka. Akan tetapi, pada faktanya kemaksiatan yang dilakukan oleh orang Islam masih terjadi. Ini dikarenakan masih belum optimalnya individu dalam mengendalikan hawa nafsunya. Manusia seringkali menyalahkan pengaruh setan akibat perbuatan buruknya, tetapi cenderung melupakan bahwa di dalam dirinya terdapat potensi keburukan yang tanpa dipengaruhi oleh setan, maka manusia bisa terjerumus pada perbuatan yang melanggar nilai dan norma.

Sigmund Freud dalam A General Introduction to Psychoanalisis (2009) menuliskan bahwa hawa nafsu dalam perspektif psikoanalisis, identik dengan id dan insting kematian atau thanatosId ini bersifat biologis dan memiliki orientasi kenikmatan (pleasure oriented) dan tidak mempedulikan nilai dan norma sehingga bisa bersifat destruktif, sedangkan thanatos bisa menimbulkan perilaku agresi.

Sedangkan dalam perspektif filsafat manusia, Abdul Mujib dalam Kepribadian dalam Psikologi Islam (2006) mengutip pendapat Ibnu Maskawaih, bahwa jiwa manusia terdiri dari tiga fakultas, yaitu fakultas berpikir (nathiqah), fakultas menolak yang membahayakan (ghadhab), dan fakultas yang menginduksi kesenangan (syahwat). Selain itu, natur asli dari nafsu dan syahwat ini mengarah pada hal buruk.

Di sisi lain, Yadi Purwanto dalam Psikologi Kepribadian : Integrasi Nafsiyah dan ‘Aqliyah Perspektif Psikologi Islami (2007) mengutip bahwa Al Kindi menyatakan jiwa manusia terdiri dari daya nafsu syahwat, daya pemarah, dan daya berpikir; Al Farabi berpendapat bahwa jiwa manusia terdiri dari jiwa penggerak (an-Nafs al-Muharrikah), jiwa menangkap (an-Nafs al-Mudrikah), dan jiwa berpikir (an-Nafs an-Nâtîqah); dan Ibnu Sina menyatakan jiwa manusia salah satunyaa terdiri dari jiwa binatang atau an-Nafs al-Hayawanîyah.

Secara garis besar, semua filosof dan ilmuwan menyatakan bahwa dalam diri manusia terdapat nafsu yang berpotensi membawa pada kerusakan. Maka, hawa nafsu ini yang harus disadari penuh dan dikendalikan. Salah satunya dengan metode puasa. [Bersambung]

 

Ahmad Saifuddin, M.Psi., Psikolog dan dosen IAIN Surakarta.