Idul Fitri dalam Riuhnya Iklan di Sekitar Kita

Idul Fitri dalam Riuhnya Iklan di Sekitar Kita

Idul fitri seolah menjadi ajang beriklan dalam televisi yang mendatangi rumah-rumah kita. Selamat lebaran

Idul Fitri dalam Riuhnya Iklan di Sekitar Kita

Saat takbir berkumandang di sore hari kemarin, menandai masuknya bulan baru yaitu bulan Syawal, maka kegembiraan dan kesibukan di rumah-rumah masyarakat kita bercampur aduk dalam suasana kekeluargaan. Keluarga yang selama ini terpisah akibat jarak dan kesibukan sehari-hari, biasanya disibukkan dengan segala rutinitas masing, sekarang terkumpul dalam satu suasana kesibukan mempersiapkan hari raya idul fitri yang selama ini disambut suka cita dan riang gembira oleh seluruh kaum muslimin.

Namun, ada yang seharusnya tidak boleh untuk dilewatkan dalam melihat keriuhan Idul Fitri yaitu bagaimana iklan memframing perayaan Idul Fitri? Sebab selama ini kita mungkin saja tidak sadar bahwa iklan turut serta mengkonstruksi bagaimana Idul Fitri “seharusnya” dirayakan. Sebab iklan di masa posmodern ini memang menjual fantasi yang sempurna dalam imajinasi para pemirsanya. Di sinilah sisi menarik jika melihat Idul Fitri dalam sudut iklan.

Sebelum ke sana, kita akan melihat bagaimana Agama bisa terpapar dengan iklan. Di saat agama dipercayai sebagai sesuatu yang suci, di sisi mana iklan bermain untuk mengambil keuntungan. Perlu kiranya menjelaskan Agama yang diperbincangkan dalam tulisan ini adalah agama dalam artian sosiologis. Emile Durkheim menetapkan dalam agama itu ada dua hal penting yaitu sakral dan profan. Sakral dalam teori Durkheim adalah ritual-ritual keagamaan yang merubah nilai-nilai moral menjadi simbol relegius yang dimanifestasikan menjadi sesuatu yang riil. Masyarakat dianggap menciptakan agama melalui mendefenisikan fenomena tertentu sebagai sesuatu yang sakral, jadi dianggap sakral apabila sesuatu terpisah dari dari peristiwa sehari-hari yang dianggap membentuk esensi agama, misalnya adanya kekuatan dewa yang bisa merusak alam.

Sedangkan yang profan adalah peristiwa biasa yang terjadi masyarakat sehari-hari yang tidak memiliki nilai-nilai suci. Namun yang profan bisa menjadi sakral apabila masyarakat mengagungkan dan menjadikannya suci. Oleh karena ini, Durkheim menelurkan sebuah konsep dengan “Totem”, sebuah agama paling primitif atau paling sederhana. Totemisme adalah sistem kepercayaan di mana sesuatu, bisa apapun seperti tumbuhan atau binatang, dianggap sakral dan dijadikan simbol klan. Jadi agama menurut Durkheim dalam bukunya The Elementary Forms of Relegious Life adalah persoalan sosial, dia adalah bagian dari representasi kolektif yang mengekspresikan realitas, ritus adalah cara mengaktualkannya, yang lahir dari kumpulan mindset sebuah kelompok dan untuk mencapai tujuan itu ritus tersebut harus diciptakan, diperbaiki dan diolah ulang sampai menjadi mental diri dalam kelompok tersebut.

Tricia Sheffield menuliskan dalam bukunya The Relegious Dimensions of Advertising, dalam masyarakat konsumtif seperti sekarang ini agama adalah objek yang dikonsumsi. Objek yang beredar dalam agama diberikan bumbu kesakralan oleh iklan. Individu dalam masyarakat kemudian mengindentifikasi dan menerimanya sebagai bagian dari kebudayaan mereka dan akhirnya menjadi kultur dari agama yang mereka peluk. Di titik tidak lagi diperlukan kesakralan dari benda tersebut, namun konstruksi imaji kesakralan tersebut bisa dilakukan oleh iklan yang akhirnya menghilangkan peran masyarakat di dalamnya.

Di saat konsumsi menjadi perilaku yang “dipuja” di masyarakat kita, maka iklan seakan menjadi “pemandu” nan baik. Agama pun seakan tak bisa melepaskan diri dari persoalan ini. Kosumerisme menjadi “agama” baru yang menyelubungi Agama untuk membentuk agama yang diinginkan atau diimajinasikan oleh iklan. Perilaku hedonis menggiring manusia untuk membeli atau memiliki benda yang belum tentu dia perlukan, atau memberikan simbol “lebih” dari sekedar fungsi awal dari benda tersebut.

Iklan memang seakan memberikan imaji atau membiarkan imajinasi pemirsa menyimpulkan apa itu dan bagaimana ritual keagamaan dilakukan. Saat iklan di dekat masa Idul Fitri menggambarkan bagaimana suasana Idul Fitri dalam perspektif pengiklan. Kue dan minuman yang disediakan, suasana keluarga yang sempurna dengan “kebahagian” mudik dengan mobil baru, baju muslim keluaran terbaru, bentuk kerudung atau hijab yang sedang ngetren, atau mudik memakai transportasi yang elit dan lain-lain.

Imaji iklan dibangun dari kepercayaan kolektif yang kemudian digambarkan, dijelaskan dan ditampilkan, sehingga yang awalnya imaji tersebut bersifat subjektif dapat berubah realitas objektif. Realitas yang dibangun oleh iklan, sebagaimana dalam pemikiran Claude Levi-Strauss, selalu dibangun dan dibangun ulang, kemudian diperkenalkan sebagai sesuatu yang baru namun dalam konsep lama. Misalnya konsep pakaian “muslim”, bentuk pakaian selalu berubah namun sakralitas dalam kata muslim selalu dilekatkan pada pakaian yang bagus menjadi komoditas untuk masyarakat muslim dan ini selalu dipelihara.

Memang paradoks jika kita melihat idul fitri yang sudah dikepung iklan. Iklan yang selama ini dianggap sebagai alat menawarkan produk-produk secara sadar atau tidak, sekarang sudah menjadi alat memframing bagaimana Idul Fitri tersebut dirayakan. Padahal, Idul Fitri seharusnya mengingatkan kita pada kesederhanaan dan saling memaafkan. Bukan malah terjebak pada saling pamer dan bingkai pencitraan.

 

Minal aidin wal faizin

Fatahallahu alaihi futuh al-arifin