“Kira-kira begitu komposisi senior-junior ada di Sayyidina Abu Bakar dan ada di Sayyidina Ali,” ujar Khofifah Indar Parawansa, anggota Tim Kampanye Nasional (TKN) Prabowo-Gibran, kepada seorang wartawan.
Pernyataan itu muncul ketika sang wartawan meminta penilaian Khofifah terhadap duet Prabowo-Gibran yang disebut sebagai duet tua-muda, senior-junior. Dengan percaya diri, ia mengibaratkan Prabowo yang senior dengan sahabat Abu Bakar, dan Gibran yang junior dengan sahabat Ali bin Abi Thalib.
Secara sekilas, dapat dilihat bahwa mengumpakan Prabowo dengan Abu Bakar serta Gibran dengan Ali adalah perumpaan yang tidak tepat. Namun, jika dicermati lebih rinci, maka kesalahan yang dilakukan oleh Khofifah dalam satu menit berbicara tidak hanya sebatas itu.
Abu Bakar Tidak Bernafsu Jadi Pemimpin
Jamak diketahui bahwa pasca wafatnya Rasulullah, sempat terjadi perdebatan yang alot di kalangan para sahabat terkait sosok yang pantas meneruskan estafet kepemimpinan dari Sang Nabi. Hal ini berkaitan dengan fakta bahwa Rasulullah tidak pernah mengajukan calon pemimpin yang akan melanjutkan perjuangannya.
Dalam situasi yang pelik, Abu Bakar maju berpidato dan mengusulkan dua nama, yaitu Umar bin Khattab dan Abu Ubaidillah bin Jarrah. Alih-alih usulannya diterima, Abu Bakar sebagai pengusul justru didaulat sebagai khalifah oleh para sahabat yang hadir saat itu. Di antara pertimbangan yang digunakan adalah Abu Bakar adalah satu-satunya sahabat yang pernah menggantikan Rasulullah sebagai imam sholat.
Upaya Abu Bakar meredam perdebatan dengan mengusulkan dua nama itu menunjukkan bahwa ia sama sekali tidak bernafsu untuk menjadi pemimpin. Padahal, dengan rekam jejak yang bersih dan mentereng, mudah saja baginya untuk mengajukan diri sebagai khalifah. Abu Bakar memang sosok senior, tapi ia tidak pernah mengajukan diri untuk menjadi pemimpin, apalagi sampai empat kali.
Ali Bukan Sosok yang Mengandalkan Privilege
Sejak kecil, Ali bin Abi Thalib berada di bawah pengasuhan Rasulullah. Ia ditempa menjadi pribadi yang luhur, cerdas, dan berintegritas. Kesempatan untuk belajar langsung kepada Sang Nabi membuatnya kelak dikenal sebagai salah seorang sahabat yang berwawasan luas dan mendalam. Bahkan, para sahabat ‘senior’ tidak segan untuk meminta fatwa kepada sang ‘junior’ ini.
Ali bukanlah pemuda yang manja. Ia selalu bersedia mengorbankan segala hal demi membantu Rasulullah mendakwahkan Islam. sebut saja, misalnya, ketika peristiwa hijrah. Ali rela mempertaruhkan nyawanya dengan berbaring di tempat tidur Rasulullah ketika beliau diburu oleh kaum musyrik Mekkah yang berusaha mencegah Rasulullah pergi ke Madinah.
Ali menyukai kehidupan yang sederhana sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah. Kemewahan dunia tidak membuatnya tergiur. Pada perang Uhud, misalnya, ketika banyak pasukan Islam yang kepincut dengan harta rampasan, Ali tetap teguh berdiri di pos yang ditentukan dan turut menjaga Rasulullah dari serangan musuh.
Sebagai ahlul bait, oleh sebagian sahabat, Ali digadang-gadang menjadi sosok yang paling layak untuk menjadi khalifah pasca wafatnya Rasulullah. Akan tetapi, karena terbilang masih muda dan mayoritas suara memilih Abu Bakar sebagai khalifah, Ali menghargai keputusan bersama yang telah diambil oleh para sahabat. Sekalipun memiliki privilege sebagai ahlul bait, Ali adalah seorang junior yang tetap mengutamakan kemaslahatan bersama dan mengesampingkan kepentingan keluarga.
Buta Sejarah dan Ngawur dalam Menggunakan Istilah
“Ada sahabat yang kemudian menjadi sahabat Rasulullah, itu yang senior Sayyidina Abu Bakar. Tapi, ada yang milenial, itu Sayyidina Ali,” terang Gubernur Jawa Timur periode 2019-2024 dalam wawancara yang sama. Sebuah pernyataan yang lucu sebagaimana lucunya penampilan Cawapres yang ia dukung saat debat Cawapres kedua beberapa hari lalu.
Bagaimana bisa seorang Ali bin Abi Thalib disebut sebagai “milenial”? Silahkan dibuka Kamus Besar Bahasa Indonesia-nya, ya, bu Khofifah.
Hal lucu yang terakhir adalah pernyataan Khofifah berikut:
“Saya mohon maaf kalau saya menggunakan personifikasi seperti ini tidak pada posisi melihat bahwa ini setara dengan sahabat.”
Khofifah menggunakan istilah “personifikasi” untuk mengumpamakan Prabowo-Gibran dengan Abu Bakar-Ali bin Abi Thalib. Merujuk ke KBBI, personifikasi bermakna “pengumpaan benda mati sebagai orang atau manusia”. Pertanyaannya, kok bisa Khofifah se-tega itu menganggap Prabowo-Gibran sebagai benda mati? Wallahu a’lam bi as-shawab.