Di Indonesia tradisi tawassul seringkali dituduh sebagai perbuatan bid’ah, bahkan syirik. Konon, tuduhan tersebut mengacu pada pendapat Ibnu Taimiiyah. Hal inilah yang hendak diklarifikasi oleh KH. Hasyim Asy’ari, lebih dari seabad lalu.
Klarifikasi tersebut, beliau tulis dalam kitabnya “An-Nūr Al-Mubīn fī Maḥabbah Sayyid Al-Mursalīn”. Untuk saat ini, kitab itu bisa kita temukan dalam kumpulan naskah KH. Hasyim Asya’ari yang berjudul “Irsyād Al-Sārī”, diterbitkn oleh Makatabah Al-Masruriyah, Tebu Ireng Jombang.
Nasakah kitab ‘An-Nūr Al-Mubīn fī Maḥabbah Sayyid Al-Mursalīn’ yang ada dalam “Irsyād Al-Sārī’ merupakan hasil tulisan tangan KH. Muhammad Ma’shum bin ‘Ali. Penulisan diselesaikan pada tahun 1346 H (1927 M) dan telah ditaḥqiq oleh cucu KH. Hasyim Asy’ari sendiri, KH. Muhammad Ishomuddin Hadziq. Mengacu pada kitab tersebut, tulisan ini akan memaparkan pendapat Hadratus Syaikh mengenai tawassul, juga kaitannya dengan pendapat Ibnu Taimiyah.
Apa itu Tawaasul?
Tawassul secara bahasa merupakan derivasi dari kata al-wasīlah yang berarti segala hal yang digunakan untuk mendekatkan dengan yang lain. Kata al-wasīlah juga semakna dengan al-wasīṭah yang berarti ‘perantara’ (Ahmad Warson, 2010; 1559).
Senada dengan hal itu, KH. Hasyim Asya’ari memaparkan bahwa tawassul memiliki akar kata al-wasīlah. Kata Al-wasīlah berarti sesuatu yang dijadikan Allah sebagai penyebab keberuntungan di sisi-Nya dan sebagai perantara terkabulnya hajat dari-Nya. Prinsipnya adalah, sesuatu yang dijadikan sebagai wasilah tersebut memiliki daya dan kemuliaan di sisi Allah. (Hasyim Asy’ari: An-Nūr Al-Mubīn: 69).
Merujuk pada kitab al-Mu’jam Al-Muhfarasy Li Ayāt Al-Qur’an karya Muhammad Fuad Abdul Baqi, kata al-wasīlah sendiri disebutkan dalam Al-Qur’an sebanyak dua kali, yaitu pada Q.S Al-Maidah ayat 35 dan QS. Al-Isra’ ayat 57. Namun KH. Hasyim Asy’ari mengulas permasalahan tawaasul dengan merujuk pada QS. Al-Maidah ayat 35. Hal beliau paparkan secara khusus dalam salah satu pasal kitab“An-Nūr Al-Mubīn fī Maḥabbah Sayyid Al- Mursalīn”.
Menurut beliau, lafadz Al-Wasilah pada ayat di atas (Al-Maidah 35) bersifat umum (‘am). Sebagai konskuensinya, kata tersebut mencakup semua jenis tawassul baik tawassul dengan sesuatu yang memiliki kemuliaan atau tawassul dengan amal kebaikan. Dari sisnilah kemudian lahir 2 klasifikasi dua jenis tawassul, yaitu Tawassul dengan amal kebaikan dan tawassul dengan seseorang yang memiliki kemuliaan.
Tawassul dengan orang-orang mulia
Telah disebutkan bahwa tawasul memiliki dua jenis, yaitu tawassul dengan amal kebaikan (At-Tawassul bi A’māl Al-ṣāliḥah) dan tawassul dengan orang-orang yang memiliki kemuliaan di sisi Allah (At-Tawassul bi Arbāb Al-Fadlā’il). Jenis pertama, (at-tawassul bi A’māl Al-ṣāliḥah) telah disepakai oleh muslimin ten tan g diperbolehkannya hal itu, sedangkan jenis kedua, merupakan medan perdebatan, namun pendaat mayoritas memperbolekan hal itu.
Terkait permasalahan tersebut tawaasul jenis kedua, KH. Hasyim Asy’ari mengutip pendap Al-Subukiy dalam kitab Syifā’ al-Saqām, bahwa “sebenarnya diperbolehkan bahkan dianggap baik adanya tawassul, istighatsah dan tasyaffu’ (mencari syafa’at) dengan Nabi Muhammad SAW. Tradisi tersebut sudah ada sejak zaman Nabi, sahabat, dan umat berikutnya, tanpa seorangpun yang megingkarinya”.
Tawassul dalam konteks ini adalah ketika seseorang meminta kepada Allah dengan perantara orang yang memiliki derajat serta kemuliaan di sisi-Nya sepertihalnya para Nabi dan Waliyullah. Dengan begitu sangat jelas bahwa tawassul tak berarti meminta pada selain Allah. Menjadikan para orang suci sebagai wasilah (perantara) tidak lain karena keyakina kita bahwa mereka adalah orang-orang yang memiliki ruh-ruh yang lebih bersih dibanding kita karena telah diberi Allah kesempuran insaniyyah.
Ibnu Taimiyyah Menolak Tawassul, Benarkah?
Konon, penolakan terhadap tawassul baru muncul setelah adanya penolakan Ibnu Taimiyyah terhadap istighatsah dan tawaaasul. Itulah setidaknya informasi yang ada seandainya kita mengacu pada pendapat As-Subukiy. Namun menurut KH. Hasyim Asy’ari pendapat ini agak janggal karena Ibnu Taimiyyah telah meriwayatkan dua Hadits yang menjelaskan diperbolehkannya tawassul.
Pertama, hadits yang diriwayatkan dari Abu Al-faraj Ibn Jauziy yag bersambung sanadnya hingga Maisarah. Kedua adalah Hadits yang juga diriwayatkan oleh Al-Faraj dari Umar bin Khatab. Kedua hadits tersebut menyinggung bahwa Adam pernah meminta ampunan kepada Allah saat melakukan kesalahan dengan perantaraan meneyebut nama Nabi Muhammad.
Dengan begitu, maka pendapat mengatakan bahwa tawassul merupakan perbuatan syirik dan kufur tidaklah benar. Bahkan ketika pendapat tersebut disandarkan kepada Ibnu Taimiyah sekalipun. Sebab, kedua hadits yang telah diriwayatkan oleh Ibnu Taimiiyah itu telah menegaskan bahwa tawassul diperboleh. Bahkan menurut Ibnu Taimiyah, tawassul tersebut tak sampai mengurangi kemurnian tauhid seseorang, apalagi sampai menyebabkan syirik maupun kufur.