Ibnu Masarrah merupakan salah satu tokoh kebatinan sufi yang amat terkenal di Andalusia. Nama lengkapnya ialah Muhammad bin Abdullah bin Masarrah al-Bathini al-Jabali. Beliau dilahirkan di Cordova pada tahun 269 H dan wafat pada tahun 319 H dan menurut beberapa catatan kesejarahan, pengaruhnya terhadap kebatinan Ibnu Arabi dan Ibnu Sab’in sangatlah kuat.
Ibnu Masarrah pernah pergi ke Qairuwan, kota tinggalnya Ibnu Sulaiman al-Israili, seorang filosof yang banyak terpengaruh oleh karya-karya filsafat kebatinan Syiah Ismailiyyah. Kemungkinan di kota ini, keduanya bertemu dan saling mempengaruhi. Selain ke Qairuwan, Ibnu Masarrah juga pernah tinggal di wilayah Timur Islam, terutama di Basrah, dan di sini banyak bertemu dengan tokoh-tokoh kebatinan yang cukup berpengaruh. Kemungkinan, di sini juga, Ibnu Masarrah banyak berinteraksi dengan tokoh-tokoh Syiah Ismailiyyah dan terpengaruh oleh filsafatnya.
Ketika menulis tentang Empedokles dalam Tabaqat al-Umam, Sha’id al-Andalusi menyebutkan bahwa di kalangan umat Islam saat itu Muhammad bin Abdullah bin Masarrah al-Jabali al-Bathini yang berasal dari Cordova tercatat mempelajari secara mendalam pemikir besar dari Yunani ini.
Ibnu Masarrah dikenal sebagai pendiri aliran kebathinan di Andalusia. Beliau memiliki ajaran-ajaran kebathinan yang khas dan menarik perhatian banyak orang. Karena membentuk aliran tersendiri, Ibnu Masarrah memiliki banyak murid dan pengikut, baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Di antara pengikut aliran kebatinan Ibnu Masarrah yang terkenal ialah Ismail bin Abdullah ar-Ra’ini yang hidup di akhir abad keempat. Ar-Ra’ini ini memiliki peranan yang begitu kuat dalam penyebaran ajaran-ajaran kebatinan Ibnu Masarrah di Andalusia dan tercatat sebagai pemimpin aliran kebatinan di masanya.
Dalam al-Fasl fi al-Milal wal Ahwa wan Nihal Ibnu Hazm menyebut tujuh ciri khas aliran kebathinan ala Ibnu Masarrah ini; pertama, di hari kiamat nanti yang dibangkitkan ialah ruh bukan tubuh; kedua, alam semesta ini bersifat kekal abadi dan tiada akhir; ketiga, Arasy ialah yang mengatur alam semesta ini dan bukan Allah. Bagi mereka, Allah tidak memiliki kaitan sama sekali dengan makhluknya; keempat, kenabian itu dapat diperoleh oleh siapa saja asalkan seseorang sudah bersih jiwanya. Jadi nabi bukanlah manusia yang dipilih oleh Allah namun semua hambanya bisa jadi nabi asalkan dapat menyucikan dirinya sendiri; kelima, kewajiban taat secara mutlak terhadap pimpinan aliran ini, dan kewajiban menyerahkan zakat kepada pimpinan; keenam, selain alirannya, aliran kebatinan ini menganggap negara di masanya sebagai negara kafir, dan karena itu warganya boleh dibunuh kecuali alirannya saja; dan yang terakhir, yang ketujuh, dibolehkannya nikah mut’ah.
Pasca ar-Ra’ini, ada juga salah seorang pengikut aliran kebatinan Ibnu Masarrah yang tak kalah terkenalnya di Andalusia, namanya Abul Abbas as-Sonhaji bin al-Ariif (w. 536). Ibnul Arif tercatat sebagai salah satu gurunya Ibnu Arabi. Ini seperti yang diakuinya sendiri dalam kitab al-Futuhat al-Makkiyyah (lihat jilid 2; h. 128). Dengan kata-kata lain, Ibnu Arabi juga penerus aliran kebathinan yang dirintis Ibnu Masarrah di tiga abad sebelumnya. Seperti yang ditegaskan oleh Abdurrahman Ghallab dalam artikelnya, al-Ma’rifah Inda Muhyiddin Ibnu Arabi, Ibnu Arabi sering bolak-balik ke madrasah peninggalan Ibnu Masarrah.
Di madrasah ini pula, Ibnu Arabi diajari simbol-simbol kebatinan aliran Empedokles, Hinduisme dan lain-lain. Jadi wajar jika karya-karya Ibnu Arabi penuh dengan ajaran-ajaran rahasia dan ajaran-ajaran yang penuh dengan simbol. Semua itu karena interaksinya yang intense dengan aliran kebatinan yang menggabungkan ajaran-ajaran Islam, ajaran-ajaran Hindu, sufisme Persia dan kebatinan Yunani.
Selain itu, menariknya, seperti yang pernah disebut oleh Ghallab dalam artikelnya itu, Ibnu Arabi dalam kasyafnya pernah belajar langsung kepada arwah tokoh-tokoh suci dari kalangan filosof dan agamawan. Konon, Ibnu Arabi belajar kepada Empedokles, Plato, Jamblique dan lain-lain. Sayangnya, Ghallab tidak menyebutkan karya-karya Ibnu Arabi secara langsung yang menyebutkan perjumpaannya secara kasyfi dengan para tokoh besar ini.
Meski begitu, perjumpaan ini bisa jadi dapat dibenarkan mengingat muridnya sendiri yang bernama Abdul Karim al-Jili dalam kitab al-Insan al-Kamil menyebut perjumpaannya dengan filosof Yunani terbesar, Plato, secara kasyfi.
Dalam kitab al-Futuhat al-Makkiyyah, Ibnu Arabi menegaskan afiliasinya terhadap aliran kebatinan Ibnu Masarrah ini dengan mengatakan: Rawaina ‘an Ibnu Masarrah al-Qurthubi min akbari ahli at-tariq ilman wa jalalan wa kasyfan (Kami belajar secara kasyfi kepada Ibnu Masarrah al-Qurtubi, seorang sufi terbesar yang pernah disingkapkan ilmu, keagungan dan tabir ilahi). Ibnu Arabi menyebut sosok ini sebagai rujukan utama ketika menulis tentang para pembawa Arsy Tuhan di kitab al-Futuhat al-Makkiyyah. Selain Ibnu Arabi, Ibnu Sab’in yang wafat tahun 669 merupakan penarus estafet aliran filsafat kebatinan yang puncak pemikirannya telah dirumuskan oleh Ibnu Masarrah jauh tiga abad sebelumnya.
Semua aliran kebatinan ini muara pemikirannya sebenarnya terpusat kepada filsafat Syiah Ismailiyyah. Pandangan Ibnu Masarrah dan ar-Ra’ini mengenai kebangkitan ruh bukan jasad, arasy, kenabian, nikah mut’ah, kewajiban taat dan bayar zakat kepada pimpinan aliran dan dan tafsir kebatinan Ibnu Arabi, terutama tentang hamalat al-arsy (para pemikul Arasy) di kitab al-Futuhat al-Makkiyyah..semua elemen-elemen pemikiran ini tidak lepas dari bayang-bayang filsafat Ismailiyyah dan aliran Syiah.
Kendati adanya pengaruh dari Syiah Ismailiyyah, aliran kebatinan Ibnu Masarrah ini amat jauh dari visi ideologi politik Syiah. Artinya, aliran kebatinan Ibnu Masarrah terlepas jauh dari ideologi politik gerakan Syiah yang ingin menghancurkan negara Sunni. Secara lebih tegasnya, aliran ini berbeda dari Syiah Ismailiyyah karena hanya memfokuskan diri pada pengembangan rohani, bukan pengembangan rohani untuk tujuan politik. Para ahli kemudian menyebut ajaran kebatinan Ibnu Masarrah ialah tasawwuf isyraqi, tasawwuf iluminasi.
Adanya pengaruh Syiah Ismailiyyah terhadap aliran kebatinan Ibnu Masarrah, ar-Ra’ini, Ibnul Arif, Ibnu Arabi dan Ibnu Sab’in dari abad keempat sampai abad ketujuh ini pernah ditegaskan oleh Ibnu Khaldun dalam kitab al-Muqaddimah ketika menjelaskan bab tentang tasawwuf. Hanya saja, pengaruhnya hanya pada tataran pengetahuan, bukan pada pembentukan gerakan politik melawan negara Sunni. Aliran Ibnu Masarrah merupakan gerakan kebatinan murni tanpa embel-embel ideologi. Allahu A’lam.