Masyarakat Romawi merupakan salah-satu contoh kebudayaan yang dianggap menjunjung tinggi keadilan. Lambang mereka berupa simbol Sang Dewi Keadilan. lambang ini merupakan simbolik bahwa keadilan merupakan hak setiap manusia. Keadilan dilambangkan dengan simbol neraca memilki arti yang mendasar yakni gagasan kesetaraan. Lalu, bagaimana Ibnu Khaldun melihat konsep keadilan sosial ini?
Sebelum berbicara lebih lanjut tentang konsep ini, terlebih dahulu kita akan bicara tentang konsep keadilan. Konsep ini merupakan dimensi utama dalam kehidupan masyarakat. Keadilan adalah suatu yang abstrak dan idealis, diungkapkan dengan istilah-istilah yang unggul dan sempurna. Konsep abstrak itulah yang menjadikan keadilan tidak dapat didefinisikan secara umum, namun hakikat keadilan dapat dirasakan jika keadilan itu mampu diwujudkan. Konsep abstrak keadilan mengalir, bebas, tetap dan mutlak.
Umumnya keadilan didefinisikan sebagai “perlakuan yang sama tanpa melalui kompleksitas pribadi-pribadi yang bersangkutan”. Secara ideal keadilan memperhatikan perbedaan-perbedaan kebutuhan setiap individu, kesamaan, dan kesetaraan bukan pada terletak pada pembagian secara sama rata.
Berbicara mengenai keadilan sosial pasti akan berhubungan dengan peran sebuah negara. karena keadilan itu sendiri merupakan tujuan utama dari sebuah negara. Negara dengan model dan caranya sendiri memiliki kekuatan yang cukup dasyat dalam mengatur masyarakatnya. Negara disini sebagai perkumpulan dari masyarakat yang secara naluriah memiliki fitrah sosial. fitrah sosial yang dimaksud di sini, manusia tidak mampu memenuhi kebutuhannya sendiri, oleh karena itu manusia harus memerlukan bantuan orang lain untuk memenuhi kebutuhanya tersebut.
Para ahli mengenai negara sepakat bahwa suatu negara memiliki kewenangan mengatur dan mengendalikan persoalan-persoalan bersama atas nama masyarakat. Semua itu tertuang dalam tugas-tugas negara dalam hal ini melaksanakan penertiban, memajukan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat, dan mewujudkan keadilan sosial.
Dalam sebuah negara tentu memiliki keterhubungan dengan ideologi-ideologi, kondisi sosial, bahkan menyangkut permasalahan agama. Hubungan semacam ini tidak bisa dinafikan karena sebuah negara terdiri dari unsur-unsur tersebut di dalamnya. Dan hal semacam ini mengeluarkan sejumlah permasalahan-permasalahan yang berbeda-beda di dalam suatu negara. Misalnya, ketika kita tarik di dalam negara Indonesia, sudah jelas tertuang dalam falsafah Pancasila, yakni sila kelima, keadilan sosial untuk rakyat Indonesia. Secara logis ketika banyak penyelewengan-penyelewangan yang terjadi justru melanggar esensi dan fungsi dari sebuah negara.
Permasalahan-permasalahan itu muncul seiring dengan tingkat kematangan masyarakat. Ketidakadilan terjadi karena kurangnya rasa kesadaran akan esensi dari tujuan negara sebagai lembaga penjamin hak-hak masyarakat. Seperti contoh kasus dalam ranah hukum. Ketika hukum sudah ditegakkan, secara otomatis keadilan terhadap hukum tersebut juga harus ditegakkan tanpa membedakan status sosial antar masyarakat.
Di dalam Islam keadilan sosial berlandaskan pada norma-norma dan nilai-nilai agama. Keadilan dalam Islam adalah fondasi dan pilar penyangga kebebasaan ekonomi yang berdiri di atas pemulihan fitrah dan harkat manusia. Keadilan sosial adalah keadilan yang berdasarkan norma-norma dan nilai-nilai agama dalam sistem sosial serta lebih bersifat Illahiah.
Pandangan dalam Islam terkhusus para teolog keadilan merupakan konsep yang abstrak dan idealis, diungkapkan dalam istilah-istilah yang unggul dan sempurna, dan tidak berdasarkan kepada realitas sosial.
Dari hal ini Ibnu Khaldun perpegang pada prinsip tersebut, dimana semua lapisan masyarakat harus merasakan keadilan dan kesejahteraan yang merupakan impian serta dijadikan cita-cita dalam mencapai kebahagiaan. Keadilan menurutnya sendiri tidak terpisah dalam suatu sistem pemerintah. Bahkan menurut Ibn Khaldūn keadilan digunakan untuk suatu kedudukan dan bahkan tugas keagamaan. Sistem keadilan yang dibentuk berdasarkan pada solidaritas sosial yang berada di atas pondasi solidaritas individu yang menimbulkan rasa kasih-sayang dan saling membantu satu dengan yang lainnya. dengan kata lain nafas keadilan menurut Ibnu Khaldūn adalah solidaritas.
Dalam kasus persamaan hak-hak manusia yang menjadi postulat penting sebagai syarat dan konsekuensi tegaknya keadilan dalam hal ini berkaitan dengan hukum, Ibnu Khaldun memakai term solidaritas atau yang disebut sebagai ‘Ashabiyyah disini untuk menjelaskan bahwa disini dikembangkan pada proses awal dimaknai sebagai perasaan nasab, baik karena pertalian darah atau pertalian kesukuan. Perasaan yang demikian akan mengikat mereka dalam sebuah solidaritas kolektif. Dengan adanya ‘Aṣābiyyah dalam komunitas manusia, maka akan timbul rasa cinta dan kepedulian yang tinggi terhadap komunitasnya, bahkan mereka berupaya untuk senantiasa mempertahankannya.
Melalui perasaan cinta itu maka akan timbul rasa perasaan senasib, sepenanggungan, harga diri, kesetiaan, dan saling membantu antara satu dengan yang lainnya. Perasaan ini akan berkembang jauh lebih umum, yakni membentuk nasab kolektif dalam sebuah persaudaraan atau solidaritas dalam jangkauan yang lebih luas yakni negara.
Perasaan ini diikat oleh kesatuan visi, misi, sejarah, tanah air, dan bahasa, dan pada gilirannya akan melahirkan suatu sikap positif terhadap eksistensi sebuah negara.’Aṣābiyyah semacam itu bukan lagi mengacu pada satu golongan, tapi lebih pada makna kedua, yakni hubungan antar kelompok manusia yang memiliki kesatuan tujuan negara. Interaksi antar nasab ini secara luas terjadi melalui berbagai bentuk, melalui perjanjian atau kesepakatan, proses penakhlukan, dan lain sebagainya.
Di sini bisa kita lihat bahwa solidaritas atau ‘Aṣābiyyah dalam teori Ibnu Khaldūn merupakan awal dari persamaan hak-hak asasi manusia. Solidaritas menunjukkan antara manusia satu dengan yang lainnya saling membantu satu dengan yang lainnya, tanpa adanya diskriminasi dari pihak lain. Tanpa memandang agama, ras, suku lain, semua membantu dalam ikatan solidaritas tersebut.
Masyarakat yang tumbuh pada tatanan ini, akan melahirkan peradaban yang baik. Namun perlu juga diwaspadai adanya elemen-elemen masyarakat yang tidak sesuai dengan alur dari masyarakat yang memiliki solidaritas tinggi. Dalam hal ini pemimpin diperlukan dengan membawa misi-misi yang berpegang teguh pada dasar-dasar ajaran, dan pemikiran sang pemimpin. Dimana ini merupakan tahap awal yang untuk selanjutnya pemimpin-pemimpin ini akan berusaha mengubah tatanan sosial sosial masyarakat ke arah yang lebih baik.
Umat yang berada dalam solidaritas tinggi ini, akan melahirnya pemimpin yang ideal. Pemimpin yang mempunyai semangat untuk mempertahankan keutuhan warga negaranya. Pemimpin tersebut disebutkan oleh Ibnu Khaldūn ialah seorang filsuf.
Seseorang yang bijaksana, yang memahami segala ilmu pengetahuan sangat tepat untuk menjadi seorang pemimpin. Pendekatan yang idealistik yang dilakukan oleh Ibnu Khaldūn merupakan sebuah kewajaran. Pemikirannya tentang konsep pemimpin seorang filsuf, tidak lepas dari pengaruh Plato.
Untuk itu menurut Ibnu Khaldūn agar penguasa muslim mampu menjadi politikus dan kepala negara yang baik. Maka ia harus berusaha terlebih dahulu menjadi manusia yang arif, bijaksana, serta tidak tenggelam dalam kemewahan dan keserakahan dunia.
Hal ini juga dipertegas dengan prinsip ‘Aṣābiyyah yang menentang sikap keduniawian, yang bisa merusak tatanan masyarakat dan sikap solidaritas itu sendiri.
Lalu yang menjadi pertanyaan jika kita tarik ke dalam konteks hidup bernegara di Indonesia saat ini?
Pandangan Ibnu Khaldun akan memberikan perspektif dalam memunculkan nilai-nilai baru di dalam keadilan itu sendiri. Meski tidak seratus persen dalam pengaplikasiannya, namun kita bisa belajar dari semangat akan solidaritas akan suatu kelompok masyarakat untuk saling membantu, mengayomi, dan memenuhi kebutuhan antara satu dengan yang lainnya.