Ibnu Ishaq dan Buku Sejarah (Sirah) Nabi

Ibnu Ishaq dan Buku Sejarah (Sirah) Nabi

Ibn Ishaq merupakan generasi pertama penulis Sejarah Nabi (sirah) yang karyanya masih bisa kita temui hingga sekarang.

Ibnu Ishaq dan Buku Sejarah (Sirah) Nabi
Ilustrasi piagam madinah

Sebagaimana hadits, penulisan sejarah Nabi Muhammad baru dimulai pada paruh kedua abad pertama hijriyah. Generasi awal penulis sirah nabi adalah Urwah bin Zubair bin Awwam (w. 92 H). Setelah masa cucu dari Abu Bakar itu, tradisi penulisan sirah dilanjutkan oleh Utsman bin Affan al-Madani (w. 105 H).

Kemudian, memasuki abad kedua hijriyah, mulai marak penulis yang mengupas sejarah putra Abdullah tersebut. Satu diantara penulis sirah nabi yang paling masyhur pada abad kedua tersebut, Muhammad bin Ishak. Akrab disebut Ibnu Ishaq.

Ibnu Ishaq lahir di Madinah pada 85 H. Dari jalur ayahnya, ia masih berdarah Iraq. Kakeknya yang bernama Yasir berasal dari ‘Ain at-Tamar, sebuah kota kuno yang tak jauh dari Kuffah. Yasir, saat masih kanak-kanak, menjadi tawanan perang Khalid bin Walid saat berperang dengan Raja Persia, Kisra. Kemudian kakeknya tersebut, tinggal di Madinah.

Masa remaja Ibnu Ishaq dihabiskan di Madinah. Kemudian pada 115 H, ia berkelana ke Alexandria, Mesir. Di sini ia meriwayatkan hadits-hadits yang berasal dari Ubaidillah bin Mughirah, Yazid bin Hubaib, Tsamamah bin Syafi’i dan lainnya. Setelah itu, ia melanjutkan perjalanannya ke Kuffah, al-Jazirah, Ray, Hirah hingga Baghdad. Di tempat terakhir inilah, ia menetap dan memulai kerja-kerja intelektualnya.

Khalifah Al-Manshur, penguasa Baghdad kala itu, mendengar kecerdasan Ibnu Ishaq. Sang raja pun mengundangnya ke istana. Dalam sebuah riwayat, terjadi dialog antara keduanya.

“Apakah engkau mengenal siapa anak ini wahai Ibnu Ishaq?” tanya Al-Manshur sembari menujukkan anaknya.

“Ya aku mengenalnya, dia anak Amirul Mu’minin.”

“Pergilah kepadanya dan karanglah baginya sebuah kitab yang berisi tentang kisah sejak zaman Nabi Adam Alaihi Salam hingga hari ini,” perintah sang raja kepada Ibnu Ishaq.

Ibnu Ishaq pun menyelesaikan tugas Khalifah al-Manshur tersebut. Sebuah karya yang monumental berjudul Sirah Nabawiyah.

Kitab tersebut, terbagi dalam tiga bahasan utama. Pertama, tentang awal mula kehidupan Nabi Muhammad (mubtada‘). Lalu bagian tatkala dibangkitkannya Nabi Muhammad sebagai Nabi dan Rasul (mab’ats). Dan terakhir, tentang peperangan yang terjadi dan yang diikutinya (maghazi).

 

Sirah Nabawiyah dan Perkembangannya

Sebagai sebuah karya besar, Sirah Nabawiyah memiliki sejarah tersendiri. Ia adalah buku sejarah yang menciptakan sejarahnya sendiri. Ia mengundang para penulis lainnya, tak hanya untuk dibaca dan diacu, tapi juga merangsang untuk menuliskan karya-karya baru yang menjadi turunannya.

Mula-mula yang melakukan reproduksi dari Sirah Nabawiyah adalah Ibnu Hisyam (w. 213 H). Ia menuliskan syarah atau penjelas dari apa yang telah ditulis oleh Ibnu Ishaq. Dalam tulisannya tersebut, Ibnu Hisyam meringkas beberapa bagian yang sekiranya tak berkaitan langsung dengan Nabi Muhammad. Seperti halnya uraian tentang nabi-nabi putra Ibrahim, selain Ismail.

Selain itu, Ibnu Hisyam juga memberikan penambahan riwayat pada bagian-bagian yang sekiranya perlu. Juga memberikan koreksi dan solusi pada kesimpulan-kesimpulan yang diungkapkan oleh Ibnu Ishaq, namun dinilai masih lemah dan bermasalah.

Tak berhenti pada Ibnu Hisyam saja. Usaha reproduksi dari Sirah Nabawiyah juga dilakukan oleh Abul Qasim Abdurahman as-Suhaili (w. 581 H). Ia membuat kitab syarah dari syarah Sirah Nabawiyah yang ditulis oleh Ibnu Hisyam. Sebagaimana kitab syarah, As-Suhaili juga memberikan komentar, kritik sekaligus penambahan data. Kitab tersebut, ia beri judul, ‘Ar-Raudlu al-Unfu’.

Tak hanya mengundang syarah, Sirah Nabawiyah juga mengundang para pengkritik. Satu diantaranya adalah Badruddin Muhammad bin Ahmad al-‘Aini al-Hanafi. Kitab tersebut berjudul “Kasyful Litsam” yang selesai ditulis pada 805 H.

Akan tetapi, karya Badruddin tersebut, segera memancing penulis lainnya untuk membela Sirah Nabawiyah. Ia adalah Abu Dzar al-Khasyni. Ia memaparkan berbagai hal yang gharib (menyimpang) dan berbagai kesalahan dari apa yang ditulisnya mengenai Ar-Raudlu al-Unfu’. Dengan demikian as-Suhaili dan al-Khasyni, merupakan dua penulis yang semakin mengokohkan pondasi akademik dari Sirah Nabawiyah tersebut.

Selain menghasilkan syarah, Sirah Nabawiyah juga melahirkan mukhtashar atau ringkasan. Sirah yang ditulis berjilid dan tebal tersebut, diringkas oleh Burhanuddin bin Muhammad al-Murahhil asy-Syafi’i. Ia membagi tiga bagian besar karya Ibnu Ishaq tersebut, kedalam 18 bagian yang lebih ringkas. Kitab itu diberi judul “adz-Dzakirah fi Mukhtashar as-Sirah” yang rampung ditulis pada 611 H.

Hal yang sama juga dilakukan oleh Imaduddin bin Abdurrahman al-Wasithi. Ia memberi nama kitabnya tersebut, “Mukhtashar Sirah Ibnu Hisyam“. Ia menuntaskannya pada 711 H.

Karya lain dari reproduksi Sirah Nabawiyah, selain berupa syarah dan mukhtashar, juga berupa nadzam alias bait-bait syair. Di antara penulisnya adalah Abu Muhammad Abdul Aziz bin Muhammad bin Sa’id ad-Damiriad Dairani (w. 607 H), Abu Nashar al-Fath bin Musa bin Muhammad Najmuddin al-Maghribi al-Khadrawi (w. 663 H), Abu Ishak al-Anshari at-Talmisani, dan Abu Bakar bin Ibrahim bin Muhammad an-Nabulsi (w. 793 H). Nama yang terakhir ini, kitabnya berjudul “al-Fathul Qarib.”

Dalam perkembangan selanjutnya, Sirah Nabawiyah berkembang dalam bahasa pengantar yang beraneka. Tak hanya dalam bahasa Arab sebagaimana aslinya, tapi juga diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa besar di dunia. Seperti halnya “The Life of Muhammad” yang ditulis oleh A. Guillaumi dalam bahasa Inggris.

Demikianlah sebuah magnum opus. Tak hanya melahirkan nama besar, tapi juga mampu melahirkan karya-karya turunannya yang tak kalah besarnya. Sebuah Magnum opus akan abadi dengan sendirinya. (*)