Melakukan ibadah haji bisa juga disebut tindakan bertamu, yakni bertamu ke rumah Allah atau yang dalam bahasa Arab disebut “baitullah”. Tahapan awal dalam melakukan ibadah haji adalah menjalankan ihram, dengan wujud niat dan memakai pakaian ihram. Pakaian ihram identik dengan warna putih serta tidak berjahit sehingga bisa dikatakan tak lebih berupa lembaran kain yang dililitkan ke tubuh.
Ibn Abbas, salah satu sahabat yang dijuluki “lautan ilmu”, serta sosok yang dapat dikatakan mengenal Nabi Muhammad dengan baik, memiliki “renungan” tersendiri perihal pakaian ihram. Imam Abu Bakr al-Bakri dalam Hasyiyah I’anatut Thalibin mengutip dari ar-Raudl al-Faiq, mengungkapkan bahwa suatu kali Ibn Abbas pernah ditanya perihal hikmah dari beberapa “perilaku” dalam ibadah haji.
Beliau lalu menyatakan “Tidak ada sedikitpun dari beberapa perilaku haji serta yang berkaitan dengannya, kecuali di dalamnya ada hikmah mendalam, nikmat yang lengkap serta cerita, sesuatu dan rahasia yang tiap mulut akan kesulitan dalam menjelaskannya”. Lalu Ibn Abbas mengungkapkan tiga hal berkaitan pakaian ihram:
Pertama; kebiasaan manusia apabila mendatangi manusia lain maka akan memakai pakaian paling membanggakan. Dengan adanya keharusan ihram memakai kain putih tidak berjahit yang bertolak belakang dengan kebiasaan manusia tersebut, Allah seakan ingin memberi tahu bahwa tujuan untuk mendatangi tempat Allah berbeda dengan mendatangi tempat makhluk.
Hal ini bila dijabarkan lebih lanjut, kesadaran kita untuk mendatangi Allah haruslah berbeda dengan mendatangi manusia maupun makhluk secara umum. Allah adalah sang khaliq (pencipta), sedang selain-Nya adalah makhluk (ciptaan).
Perbedaan posisi keduanya mengharuskan perbedaan perilaku di hadapan keduanya. Memakai pakaian yang bagus di hadapan manusia lain bisa jadi untuk menjaga wibawa atau memperoleh kenyamanan orang yang melihat. Sebab manusia adalah makhluk dengan ikatan-ikatan benda duniawi pada dirinya.
Allah berbeda dengan manusia. Allah maha pencipta yang niscaya lebih kaya dari ciptaannya. “Nilai lebih” yang Allah pinta dari manusia adalah ketaqwaan yang sulit untuk dicerna dengan mata kepala.
Kedua; agar si hamba menyadari dengan menanggalkan segala sesuatu tatkala ihram, ia menanggalkan diri dari harta benda duniawi. Layaknya bayi yang keluar dari rahim ibunya tanpa memakai sehelaipun pakaian.
Hal ini menyiratkan bahwa memakai pakaian ihram adalah bentuk prilaku pemakainya dalam melepas hal-hal berbau duniawi. Di tubuhnya tidak ada sesuatu kecuali hal-hal yang digunakan untuk menutup aurat.
Ketiga; keadaan ihram menyerupai keadaan saat hadir di tempat dimana kelak kita dihisab oleh Allah di tempat tersebut. Di mana Allah berfirman dalam surah an-Nisa’ ayat 40:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَظْلِمُ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ
Artinya: “Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarrah,”
Dan dalam surah al-An’am ayat 94 Allah berfirman:
وَلَقَدْ جِئْتُمُونَا فُرَادَى كَمَا خَلَقْنَاكُمْ أَوَّلَ مَرَّةٍ
Artinya: “Dan Sesungguhnya kamu datang kepada kami sendiri-sendiri sebagaimana kamu kami ciptakan pada mulanya,”
Ketiga “renungan” Ibn Abbas tersebut memberi tahu pada kita bahwa dalam ihram yang merupakan permulaan haji, perlu ada kesadaran tersendiri bahwa pelakunya diajak melewati saat-saat menanggalkan diri dari hal-hal berbau duniawi meski masih hidup di dunia. Meski hal itu bertolak belakang dengan fitrah manusia yang tidak bisa hidup tanpa harta benda duniawi, tapi bukan berarti membuat kita merelakan kesadaran kita juga direbut olehnya. Wallahu a’lam bis shawab.