Ibn Arabi yang dijuluki syekh terbesar dalam dunia tasawuf mengaku tiga kali ditemui oleh Nabi Khidr. Ijinkan saya untuk menceritakan ulang pertemuan pertama Ibn Arabi, yang digelari Doctor Maximus (Doktor terhebat) di Eropa pada abad pertengahan, dengan Nabi Khidr, yang dalam al-Qur’an dikisahkan menjadi gurunya Nabi Musa.
Ibn Arabi saat itu masih nyantri pada gurunya Syekh ‘Uryabi di Sevilla, Spanyol. Syekh ‘Uryabi menceritakan kepada Ibn Arabi bahwa ia bertemu Rasul dalam mimpi. Rasul kemudian mengungkapkan rahasia mengenai satu tokoh yang memiliki kedudukan yang tinggi. Ibn Arabi sebenarnya tidak mengenal langsung tokoh yang dianggap tinggi maqamnya tersebut, namun ia mengenal salah satu saudara tokoh itu.
Ibn Arabi menyatakan ketidakpercayaannya dengan cerita Syekh ‘Uryabi. Berdasarkan penglihatannya terhadap saudara tokoh tersebut, Ibn Arabi merasa heran dan kemudian tidak percaya kalau Rasul menyatakan kedudukan tokoh itu. Bantahan Ibn Arabi melukai hati sang guru.
Bagaimanapun ini peristiwa ghaib dimana Rasul sendiri yang membuka rahasia kedudukan tokoh itu. Ibn Arabi tidak patut membantah info spiritual itu hanya berdasarkan apa yang dia ketahui terhadap saudara tokoh itu, bukan kenal dengan tokoh itu langsung. Mungkin saat itu sebagai santri terbersit di hati Ibn Arabi bahwa tokoh itu tidak layak mendapatkan kedudukan timggi di sisi Allah, tapi siapa sebenarnya yang berhak menilai hal itu? Hanya Allah dan RasulNya yang tahu. Membantah info spiritual semacam itu tentu kurang elok hanya berdasarkan prasangka dan dugaan. Lagipula apa ruginya kita sih kalau si A atau B dan C ternyata memiliki maqam yang lebih tinggi.
Syekh ‘Uryabi yang terluka hatinya dibantah oleh santrinya memilih untuk tidak berdebat. Beliau hanya berkata lirih, “baiklah, jika itu pandanganmu tentang orang yang disebutkan Rasul itu”. Suasana menjadi tidak enak. Ibn Arabi menyesal telah lancang membantah sang guru yang sebenarnya telah menaruh kepercayaan padanya dengan bersedia menceritakan mimpi yang spesial itu. Apalagi mimpi itu bukan tentang sang guru tapi tentang orang lain, dan gurunya sama sekali tidak diuntungkan apapun dengan mimpi yang diceritakan itu.
Ibn Arabi kemudian pamit karena sudah tidak enak hati melihat perubahan di wajah gurunya. Ibn Arabi meninggalkan kediaman gurunya, tiba-tiba di jalan beliau disapa seseorang yang tidak dikenal. Dengan tersenyum lembut, orang tersebut berkata: “Terimalah apa yang diucapkan gurumu, jangan membantahnya, karena apa yang disampaikannya itu benar”. Ibn Arabi kaget mendengar ucapan orang yang tidak dikenal itu. Bagaimana orang itu bisa tahu kejadian yang baru terjadi antara Ibn Arabi dan Syekh ‘Uryabi padahal itu hanya dialog mereka berdua.
Mendengar ucapan orang tidak dikenal itu, Ibn Arabi segera balik badan kembali ke kediaman gurunya dan ingin meminta maaf pada gurunya karena sebetulnya hatinya memang sudah tidak enak dengan peristiwa sebelumnya. Begitu ia membuka pintu kediaman gurunya, Syekh ‘Uryabi langsung berkata pada Ibn Arabi: “Haruskah setiap engkau membantahku aku meminta Nabi Khidr datang menegurmu untuk kemudian engkau baru percaya dengan apa yang aku sampaikan?”
Ibn Arabi terkejut. Bagaimana mungkin gurunya tahu bahwa ia kembali karena telah ditegur seseorang. Dan benarkah yang menegurnya itu Nabi Khidr? Dengan tercekat Ibn Arabi bertanya pelan: “jadi orang di luar tadi itu Nabi Khidr?” Gurunya mengangguk. Dan Ibn Arabi pun luluh lantak di depan sang guru seraya meminta maaf.
Ya Rahman, irham dha’fana
Oh Yang Maha Pengasih, kasihilah kelemahan kami
Tabik,
Nadirsyah Hosen
Rais Syuriah PCI Nahdlatul Ulama
Australia – New Zealand