Iblis Liberal

Iblis Liberal

Iblis Liberal

Dalam imajinasi manusia, ayat-ayat al-Quran yang dialogis terkait kehendak Tuhan yang berencana menciptakan Adam — kandidat khalifah di bumi — yang ditanggapi oleh para malaikat dan Iblis tampak serupa polemik pro-kontra kepada rencana Tuhan itu.

“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan satu khalifah di bumi,” demikian Tuhan berfirman.

“Apakah Engkau hendak menjadikan di (bumi) siapa yang akan membuat kerusakan dan menumpahkan darah, padahal kami (selalu) bertasbih dengan memuji-Mu dan menyucikan-Mu?” kata para malaikat.

“Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tak kamu ketahui,” demikian Tuhan berfirman.

Peristiwa dialog yang polemis itu dimenangi oleh otoritas absolut Tuhan, “Aku mengetahui apa yang tak kamu ketahui.”

Malaikat pada akhirnya tunduk terhadap rencana Tuhan itu dan mematuhi perintah-Nya untuk bersujud kepada Adam.

Namun Iblis menolak perintah Tuhan itu.

Tuhan berfirman, “Hai, Iblis! Apa yang menghalangimu (sehingga kau) tak (ikut bersujud) bersama mereka yang sujud?”

“Tak akan terjadi dariku sujud kepada manusia yang Engkau telah menciptakannya dari tanah liat kering yang berasal dari lumpur hitam yang diberi bentuk,” jawab Iblis.

Iblis memang kontroversial.

Iblis membangkang perintah untuk bersujud di hadapan Adam. Dengan suatu dalih Iblis mengkritik perintah Tuhan itu. Iblis mengaku bahwa ia lebih mulia ketimbang Adam karena ia diciptakan dari api dan Adam diciptakan dari tanah liat yang hina.

Pandangan hirarkis keunggulan materi api dan materi tanah dijadikan logika atau asumsi dasar sikap individual Iblis menentang perintah Tuhan.

“Logika material” Iblis itu mengisyaratkan keangkuhan Iblis kepada makhluk lainnya. Konsekuensi teologisnya adalah pembangkangan Iblis terhadap perintah Tuhan. Iblis membela kebebasan individualnya untuk berpikir, berpendapat dan bersikap. Sikap liberal telah ditempuh Iblis, apa pun risikonya.

Logika Iblis itu sebenarnya sesat nalar. Benarkah api lebih mulia ketimbang tanah? Apa dasarnya?

Kenapa para malaikat yang tercipta dari cahaya patuh kepada perintah Tuhan? Malaikat tak mengikuti logika atau pendapat individualnya. Malaikat memilih taat kepada perintah Tuhan.

Sikap difensif Iblis demi membela “logika material” itu ia tanggung konsekuensinya dengan laknat. Kutukan abadi. Lalu Iblis diusir dari surga oleh Tuhan.

“Maka turunlah darinya (sorga) karena kau tak sepatutnya menyombongkan diri di dalamnya, maka keluarlah, sesungguhnya kau termasuk orang-orang yang hina,” demikian Tuhan berfirman.

Iblis teguh kepada pilihan dan argumen individualnya dan tetap menolak perintah Tuhan. Ia bertekat menjalani kesesatannya dan akan menyesatkan Adam dan keturunannya. Inilah “misi abadi” Iblis sejak dilaknat oleh Tuhan.

Iblis berkata, “Kemudian aku tentu akan mendatangi (menjerumuskan) mereka dari depan dan dari belakang mereka, dari kanan dan dari kiri mereka. Dan Engkau tak akan mendapati kebanyakan mereka (sebagai) orang-orang yang bersyukur.”

Sesumbar Iblis itu merupakan suatu misi abadi dan juga prediksi bagi sejarahnya dan sejarah manusia di dunia. Dan Iblis “membuka rahasia” bahwa mayoritas manusia yang terjerumus adalah mereka yang tak bersyukur. Inilah rahasia keselamatan manusia dari misi Iblis.

Sirnanya rasa syukur akan menghapus rasa ikhlas. Lenyapnya rasa syukur menciptakan rasa kekurangan atau nafsu keserakahan dan inilah pintu-pintu Iblis memasuki dan membujuk manusia melakukan kesesatan.

Dialog-dialog yang polemis itu melukiskan model-model sikap makhluk kepada Tuhan dan sikap makhluk kepada sesama makhluk lainnya. Ketaatan dan pembangkangan, rasa syukur (terima kasih) dan kesombongan dalam dialog-dialog itu juga merupakan drama atau karakter kehidupan manusia di dunia.

Dialog-dialog itu juga melukiskan tentang kebebasan memilih kebenaran dan kesesatan yang dilakoni semua makhluk — manusia, malaikat dan Iblis — dan tanggung jawab atas pilihan yang dijalani.

 

*) Binhad Nurrohmat; penyair, tinggal di Jombang.