Ibadah Haji, Perwujudan Bhinneka Tunggal Ika dalam Agama Islam

Ibadah Haji, Perwujudan Bhinneka Tunggal Ika dalam Agama Islam

Ibadah Haji, Perwujudan Bhinneka Tunggal Ika dalam Agama Islam
Penulis saat bersama jamaah haji dari luar negeri (Doc. Lilik Umi Kaltsum)

Ibadah haji merupakan sebuah ritual dengan jamaah haji dari berbagai ras dan kewarganegaraan. Sebuah wujud Bhinneka Tunggal Ika dalam agama Islam.

Indonesia merupakan negara dengan jumlah jamaah haji terbanyak di seluruh dunia. Pada tahun 2017 saja, Indonesia mendapatkan kuota haji terbanyak sebesar 168.000 jiwa, kemudian mendapat tambahan kuota hingga 221.000 jiwa. Pada tahun 2019 Indonesia kembali mendapatkan tambahan kuota jamaah haji sebanyak 10.000 jiwa sehingga jumlah jamaah haji mencapai 231.000 jiwa. Hal tersebut mengindikasikan antusiasme masyarakat muslim Indonesia untuk melaksanakan rukun Islam kelima bagi mereka yang telah mampu secara finansial, medis dan psikologis.

Haji sebagai ibadah fardhu bagi setiap muslim yang telah mampu melaksanakannya, sekaligus berposisi sebagai penyempurna rukun Islam sebagai rukun yang terakhir. Dengan mempertimbangkan hal tersebut, dapat dipastikan haji mengandung suatu hikmah ataupun nilai-nilai religius yang bermanfaat bagi Muslim pada umumnya, dan kemanusiaan secara umum.

Hikmah di balik pensyariatan ibadah haji dapat digali melalui pemikiran logis, yang berlandaskan pada fakta empiris untuk menarik suatu kesimpulan logis.

Secara empiris, Haji adalah suatu rangkaian ibadah mengunjungi Baitullah (Ka’bah) yang dilaksanakan oleh umat Islam yang majemuk dengan latar belakang suku, ras, etnis, bahasa dan budaya yang berbeda-beda. Pemandangan tersebut dapat disaksikan secara jelas ketika jamaah haji sedang melakukan Thawaf, Sa’i dan Wukuf di Arafah. Perbedaan fisiologis akan sangat tampak seperti warna kulit hitam, putih, cokelat dan lain-lain. Perbedaan budaya antar jamaah haji sangat kentara dengan penggunaan bahasa sehari-hari, seperti penggunaan bahasa Arab, Inggris, Melayu, India, Perancis dan lain sebagainya.

Sementara itu perbedaan latar belakang sosiologis para jamaah haji akan tampak ketika mereka saling berkomunikasi, berdiskusi dengan jamaah haji lain yang datang dari berbagai negara. Datangnya para jamaah haji dari berbagai Negara ini merupakan sebuah bukti kebenaran firman Allah swt dalam QS Al-Hajj 27:

وَأَذِّنْ فِي النَّاسِ بِالْحَجِّ يَأْتُوكَ رِجَالًا وَعَلَىٰ كُلِّ ضَامِرٍ يَأْتِينَ مِنْ كُلِّ فَجٍّ عَمِيقٍ

Dan berserulah kepada manusia untuk mengerjakan haji, niscaya mereka akan datang kepadamu dengan berjalan kaki, dan mengendarai unta yang kurus yang datang dari segenap penjuru yang jauh,

            Menurut Imam al-Thabari, ayat tersebut merupakan perintah Allah agar Nabi Ibrahim AS mengajak manusia untuk menunaikan ibadah haji. Kemudian ketika Nabi Ibrahim AS menyeru umat manusia agar menunaikan haji, maka terdengarlah ajakan tersebut oleh setiap makhluk yang ada di bumi dan langit. Oleh sebab itu datanglah manusia dengan berjalan kaki dan berkendara dari berbagai jalan dan tempat yang jauh untuk menunaikan ibadah haji. Hal ini menandakan ibadah haji sebagai ibadah yang dilaksanakan umat Islam dari berbagai latar belakang sosial, suku, budaya dan politik dalam satu waktu secara bersama-sama.

Pelaksanaan ibadah haji oleh seluruh umat Islam dari berbagai penjuru dunia, merefleksikan prinsip “Bhinneka Tunggal Ika” dalam sebuah bingkai religi. Prinsip tersebut mungkin dapat dikatakan sebagai “Islamisme Bhinneka Tunggal Ika” yang menjadikan seluruh umat Islam di dunia dalam satu ikatan yaitu ketaatan kepada Allah swt.

Semua umat Islam dari berbagai penjuru dunia yang berbeda suku, etnis, budaya dan bahasa harus melepaskan fanatisme dan rasialisme kelompok dengan memakai baju ihram yang sama, wukuf dan sa’i ditempat yang sama, serta melakukan tawaf mengelilingi ka’bah yang menjadi kiblat umat Islam secara bersama pula.

Hal ini berimplikasi terwujudnya Ittihad al-Ummah al-Islamiyah (persatuan umat Islam) yang menggantikan fanatisme dan rasialisme dengan kesetaraan walaupun mereka berasal dari latar belakang yang berbeda-beda. Ittihad al-Ummah al-Islamiyah (persatuan umat Islam) secara eksplisit disebutkan dalam hadis Nabi Saw.

مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ وَتَعَاطُفِهِمْ، مَثَلُ الْجَسَدِ إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى

Hadis di atas, mendeskripsikan bahwa umat Islam memiliki ikatan persatuan yang kuat, sehingga diibaratkan sebagai satu kesatuan tubuh yang apabila salahsatu anggota tubuh terluka, maka seluruh tubuh juga merasakannya. Rasa empati yang kuat atas apa yang dirasakan saudaranya mendorong untuk saling mengkasihani, menyayangi dan tolong menolong antar sesama. Sehingga mampu mewujudkan sebuah pergaulan yang humanis dan harmonis berlandasakan teologi   لا اله الا الله محمد رسول الله (tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad utusan Allah).

Islamisme Bhinneka Tunggal Ika memiliki persamaan dengan Bhinneka Tunggal Ika yang menjadi prinsip fundamental negara Indonesia. Keduanya sama-sama menjunjung tinggi norma persatuan antar berbagai golongan, kelompok, suku yang memiliki latar belakang yang berbeda-beda dalam satu ikatan yang kuat dengan sifat progresif dalam membangun peradaban. Namun keduanya juga memiliki perbedaan dalam prinsip fundamental serta cakupan dan batas implementasi norma “kebhinekaan” dalam membangun persatuan.

Bhinneka Tunggal Ika yang menjadi dasar NKRI berlandaskan pada prinsip nasionalisme religius. Prinsip nasionalisme terefleksi pada sila ketiga yaitu “persatuan Indonesia”. Prinsip ini mengharuskan bagi seluruh rakyat Indonesia untuk bersama-sama berjuang memajukan bangsa dan negara Indonesia ditengah-tengah perbedaan. Sedangkan prinsip religiusitas yang tercerminkan pada sila pertama yaitu “ketuhanan yang maha Esa”, Memberikan kebebasan warganya untuk memeluk agama yang mereka yakini. Kedua hal tersebut menyebabkan Bhinneka Tunggal Ika hanya memiliki cakupan dan batasan teritorial republik Indonesia. Sementara itu Bhinneka Tunggal Ika dalam ibadah haji berlandaskan pada religiusitas Islam, sehingga persatuan dapat diwujudkan melintasi batas teritorial negara dan bangsa namun hanya pada internal umat Islam.

Perbedaan pada nilai “ Bhinneka Tunggal Ika” dalam ibadah haji dan dasar negara republik Indonesia, tidak sepatutnya untuk dipertentangkan. Namun harus dipandang sebagai sebuah keharmonisan yang saling melengkapi serta diintegrasikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Hal tersebut dikarenakan keduanya sama-sama bertujuan mewujudkan persatuan dalam bingkai Bhinneka Tunggal Ika yang berlandaskan humanisme religius.