Pernahkah anda menyaksikan atau sekadar bermimpi sekalipun, melihat orang Solat di masjid dengan tetap memakai sandal yang dipakai dari rumah? Sangat mungkin, belum (gambar 1). Tetapi itu acapkali terjadi di masjid Nabawi di Madinah, salah satu kota suci Islam di Arab Saudi, sebagaimana setiap orang muslim mengunjunginya untuk haji atau umroh. Masjid Nabawi adalah masjid yang didirikan oleh Nabi Muhammad SAW di kota Madinah Almukarromah yang semula bernama Yatsrib.
Shalat dengan tetap memakai sandal dari rumah hanyalah salah satu relaksasi dari masjid Nabawi. Relaksasi yang sama juga terjadi di masjid Alharam di Makah. Masjid dimana bangunan Ka’bah, kiblat umat Islam, berada di tengah-tengahnya. Dua masjid di dua kota suci itu sering disebut Alharomain, dua masjid suci. Karena itu pula, dua kotanya, Makah dan Madinah disebut dua kota suci bagi umat Islam.
Seluruh upacara pokok dalam haji dan umroh berada di kota Makah ini. Sementara Madinah adalah makam nabi Muhammad dengan banyak sahabat Nabi terkemuka di antaranya adalah empat khalifah, Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar ibn Chottob, Utsman bin Affan, serta Ali bin Abi Tholib. Juga makam istri-istri dan putra-putri Nabi Muhammad. Maka kepergian ke Madinah terutama adalah berziarah ke makam mereka untuk penyempurnaan haji dan umroh.
Relaksasi di dua masjid itu, artinya, tidak sebagaimana dikesankan dan penampilan sejumlah orang yang akan berangkat atau pulang dari haji atau umroh ke dua tanah suci itu, tampak seolah begitu serius dan seram, serta perubahan yang tampak –maaf seringkali berlebihan– lebih religious. Yang terjadi pada haji dan umroh, sebenarnya, adalah ibadah berasa rekreasi — kecuali dalam haji yang karena jamaahnya sangat banyak sehingga harus berdesak-desakan di setiap momen-momen rukun haji, disebabkan karena lahan terbatas dengan peminat yang terus membludag dari hampir seluruh dunia.
***
Tentu saja Solat memakai sandal yang dipakai dari rumah itu bukan di bangunan utama masjid karena di sana di samping tertutup atap rapat tidak terkena sinar matahari langsung, juga lantainya terpasang karpet. Melainkan ada di bangunan pendukung (extension) yang, dalam istilah Jawa, disebut Serambi. Dalam arsitektur Jawa, bangunan masjid selalu ada bagian extention yang disebut Serambi itu, namun masih dalam satuan banguan masjid. Di situlah jamaah bisa berbincang, berembug, rebahan, tiduran bahkan bersenda gurau. Sedangkan bangunan utama masjid biasanya dipakai khusus untuk solat, berdoa atau i’tikaf dan tafakkur. Bangunan Serambi itu dimaksudkan justru untuk menjaga kesucian masjid.
Bagi mereka yang hendak masuk ke bagian utama bangunan masjid Nabawi dan Alharam disediakan plastik, sebagaimana di stand buah di supermarket, di dekat pintu untuk membungkus sandal. Banyak orang meletakkan bungkusan sandal di dalam tas bersama-sama dengan buku-buku bacaan doa, tasbih, sajadah dls. Sebab, meskipun di masjid disediakan tempat sandal berupa rak namun tetap berisiko hilang. Penulis sendiri pernah kehilangan sandal jepit yang sudah terbungkus plastik di rak dekat tiang di dalam masjid. Sudah pasti karena seseorang salah ambil bukan sengaja mengambil, mengingat harga sandal jepit yang tidak seberapa.
***
Nah, demikian pula masjid Nabawi, sekarang juga ada bagian extension. Bagian pertama terdalam adalah bangunan permanen berupa masjid, baik bagian bangunan yang dibangun pada era Turki Utsmani maupun pengembangan oleh kerajaan Saudi Arabia. Belakangan perluasan masjid tidak dengan bangunan permanen melainkan dengan membangun pagar besi setinggi kira-kira 4 (empat) meter di pinggirannya dengan lantai porselin yang prima, namun dengan atap tenda otomatis yang bisa menutup dan membuka secara elektronik tergantung kebutuhan.
Di bangunan utama masjid Nabawi di siang hari juga banyak orang tiduran dan tertidur di atas karpet, karena sebagian mereka malas pulang ke rumah atau pemondokan setelah solat subuh dan i’tikaf menunggu dzuhur atau ashar setelah dzuhur. Di bangunan utama masjid Nabawi juga cukup banyak anak-anak bermain yang diajak oleh orang tuanya ke masjid. Sebaliknya, banyak pula orang yang berkejaran karena tiba waktunya solat berjamaah di masjid dengan jarak yang cukup jauh bisa satu km., namun begitu salam selesai solat langsung berdiri dan kembali ke pemondokan.
***
Sebagian praktek ritual ibadah di kedua kota suci itu, terutama para penziarah dari luar negeri, memang mengikuti mazhab Imam Hanafi yang lebih cocok untuk situasi darurat. Menurut Imam Hanafi, setiap barang yang kering adalah suci, sehingga sandal yang dipakai dari rumah adalah suci. Begitu juga setiap tanah hamparan, apalagi porselin yang selalu dibersihkan seperti di masjid Nabawi dan masjid Makah. Tentu saja solat pakai sandal itu dilakukan ketika dalam situasi panas di siang hari, misalnya Jumatan atau solat Dzuhur, sementara lupa tidak membawa sajadah. Sedangkan karpet dan tenda di bagian extension masjid terbatas.
Imam Hanafi juga menganggap tidak membatalkan wudlu persentuhan kulit lelaki dengan perempuan meskipun bukan muhrim. Dan apa yang membatalkan tawaf dan sa’i berbeda dengan yang membatalkan wudlu. Sehingga tidak heran, baik di majid Nabawi di Madinah maupun Alharam di Makah orang dengan leluasa melakukan swa-foto (selfie) suami istri. Tidak hanya pasangan suami istri yang masih muda melainkan juga senior atau tua ketika melaksanakan tawaf (mengitari ka’bah tujuh kali) maupun sa’i (berlarian kecil antara bukit sofa dan marwah juga tujuh kali –masih di bagian dalam masjid Alharam) sembari swa-video maupun foto. Juga ketika sedang rileks di dalam dan extension masjid.
Maka, sebuah pesan bagi yang baru mau melaksanakannya, selain menaati rukun tawaf dan sa’i serta menghindari hal yang membatakannya, maka –untuk memuaskan anda– jangan lupa siapkan handphone dengan camera resolusi tinggi serta tongsis (tongkat narsis), kalau perlu lebih dari satu.
***
Rasa rekreasi lebih tinggi jika melihat di sekitaran kedua masjid suci tersebut justru dari dalam masjid. Boleh dibilang, di sekitarnya sepenuhnya berupa bangunan akomodasi berupa hotel dan tempat belanja semua kelas, tidak lain untuk para jamaah atau pandatang. Terasa lekat sentuhan Nabi Mummad SAW sesunggunya, bukan hanya tingginya rasa religiousitas, melainkan justru kian terasa sebagai kota dagang atau bisnis berupa jasa, baik kamar-kamar hotel semua kelas maupun berbagai keperluan para pelancong.
Muhammad Haekal, misalnya, dalam bukunya Sirah Muhammad SAW menceritakan bagaimana ketika Nabi hijrah ke Madinah atau Yatzrib setelah terusir oleh kafir Quraisy dari Makah, lalu membangun suatu kafilah berdagangan yang makin hari makin besar dan kuat. Sistem semacam inti-pelasma namun dalam arti kafilah yang lemah meminta perlindungan kepada yang kuat dengan imbalan tertentu. Itu karena, dalam tradisi perdagangan di Arab waktu itu, resiko kafilah yang kecil dan lemah untuk dirampok oleh yang kuat sangat tinggi.
Pelan-pelan tetapi pasti Rasul Muhammad kemudian membangun kafilah perdagangan besar yang disebut kafilah Islam yang lintas nasab atau kekuarga, etnis, warna kulit dan bahkan bukan hanya beranggotakan kafilah Islam. Banyak kafilah kafir yang kecil dan lemah justru bergabung dan meminta perlindungan kepada kafilah Islam pimpinan Nabi Muhammad tersebut. Hubungan semacam perlindungan itulah yang kemudian melahirkan konsep dzimmah dan imbalannya disebut jizyah. Puncak kekuatan kafilah Islam adalah pada Fathul Makkah, yaitu ketika kafilah Islam berhasil menundukkan kota Makah yang ketika itu dikuasai dan dikontrol oleh kafir Qurisy yang mengusir Muhammad sebelumnya. Dari sanalah Islam terus berkembang hingga kini.
***
Sebagai kota dagang dan pusat pendatang dari seluruh dunia, dua kota suci Islam itu tidak asing dengan suatu yang baru dan perubahan. Jika anda di sana dan punya kesempatan untuk jalan ke luar lebih berjarak, naik taksi atau angkot (angkutan kota) mobil Kijang Innova buatan Indonesia, carilah makan di toko atau kaki lima. Tidak sedikit paket hemat makan minum yang pilihan minumnya hanya dua, coca-cola atau pepsi –tentu dilengkapi dengan tulisan huruf Arab.
Demikian juga jika anda tidak tahan untuk tidak merokok, bisa membawa rokok dan korek atau meminta api kepada teman dengan sedikit menyingkir dari trotoar atau ambil posisi di sebelah luar tembok hotel. Akan halnya, tidak banyak ditemukan, baik di masjid Nabawi maupun Alharam, perempuan yang memakai penutup rapat wajah khas Arab yang hanya kelihatan matanya (niqab). Tiga sampai empat hari di masing-masing masjid menemukan tidak lebih dari hitungan jari dua kali dua tangan. Malah ditemukan satu dua perempuan berpakaian demikian, justru mengemis.
Pakaian perempuan kecuali mukena, umumnya sesuai dengan adat jilbab atau penutup kepala masing-masing negara. Akan halnya laki-laki, meskipun dominan wakna putih tetapi mode pakaian sesuai dengan adat atau mode kebiasaan di daerah masing-masing. Sangat mudah dibedakan dari pakaiannya antara mereka yang berasal dari Asia Selatan seperti Pakistan, Afganistan, termasuk Bangladesh dan India dengan Indonesia atau Malaysia atau Melayu pada umumnya.
***
Sebagai refleksi, rasanya tidak berlebihan pula jika mengimajinasikan menjadikan daya tarik tradisi religious seperti ziarah Walisongo, baik Walisongo sebagaimana yang kita kenal sekarang yang seluruhnya di Jawa, maupun dikembangkan menjadi masing-masing daerah atau pulau memiliki walisongo-nya sendiri. Nabi Muhammad mewariskan bukan hanya tradisi religious ketahudian, melainkan juga kekuatan politik dan perdagangan yang tercermin dari perkembangan perdagangan di sekitar masjid Alharomain tersebut.
Perubahan-peruahan yang sedang terjadi kini bisa sebagai pemicu kreativitas untuk teladan dan revitalisasi tradisi yang dimiliki oleh Islam Indonesia. Kehadiran Raja Salman Suadi Arabia baru-abru ini ke Indonesia menunjukkan tempat perdagangan dan rekreasi yang penting dalam Islam bukan? []
*) Ahmad Suaedy, Anggota Board Jaringan GusDurian dan anggota Ombudsman RI