Dalam kebudayaan minangkabau yang berazaskan adat basandi syarak ,syarak basandi kitabullah keberadaan Surau dalam lingkup sebuah teritori yg disebut Nagari sangatlah penting. Selain Surau, ada pasar dan taratak.
Seturut pengalamanku menghabiskan masa kecil dan remaja nun di pelosok nagari Balai Tongah -Lintau sana, ada kenangan masa kecil yang menurutku, bukan saja indah, tapi jugs sarat pendidikan. Sulitlah bagiku melupakan sebuah masa ketika kami para remaja kecil tinggal di surau.
Kehidupan di surau bersama si Buluk, si Lami , si Daut , si Yas dan beberapa kawan lain bercokol di ubun-ubun. Bukan hanya aku, mereka pun demikian. Kami menghabiskan waktu malam di sana. Biasanya selepas Magrib atau makam malam, kami sudah berangkat menuju surau untuk belajar mengaji. Seusai ngaji dan sembayang Isya, kami tidak pulang. Karena surau adalah tempat tidur kami. Baru selepas Subuh kami akan pulang ke rumah masing masing.
Surau atau langgar adalah tempat inisiasi hidup bersosial bagi kami, ketika telah memasuki atau menginjak masa akil balik. Untuk seorang anak lelaki minang, surau adalah “perantauan” kami yang pertama sebelum merantau dalam arti yang sesungguhnya.
Kami punya sebutan, atau tepatnya ejekan, bagi anak lelaki yang telah akil balik namun tak pernah ke surau. Mereka, kawan-kawan sebaya yang tidak rajin tidur di surau disebut Buyuang Ande, alias Anak Mama. Di sekolah biasanya mereka selalu menjadi bahan olok olok kami. Dan mereka susah membantah olok-olok ini. Nyatanya memang merek takut, terutama saat malam berangin dan behujan lengkap dengan petir dan halilintar. Namun demikian, kami tetap berkawan, suasana tetap hangat. Olok-olok, bagi kami waktu itu, bukanlah pertunjukan rasa tidak suka.
Surau selain tempat belajar mengaji, belajar ilmu agama juga tempat kami mendapat transfer ilmu-ilmu dunia dari para senior. Selepas mengaji ,biasanya dilanjutkan belajar ilmu bela diri tradisional silek atau silat. Kadang ada kala juga belajar randai atau petatah petitih adat.
Tidak hanya berhenti sampai sana, pengalaman paling berkesan di budaya surau ketika selepas belajar mengaji atau berpencak adalah pengalaman “bergerilya malam”. Bila selepas belajar mengaji atau berpencak rasa kantuk tak juga datang dan perut terasa lapar maka aktivitas yg paling syahdu adalah mengikuti para senior menyantroni kandang ayam tetangga.
Jangan bayangkan kandang dalam bentuk rumah rumahan dengan bahan kawan strimin atau bilah bambu .Di kampungku yang masih asri penuh pepohonan dengan buah-buah segar; rambutan, alpukat, manggis, sawo dan durian para ayam rata rata “berkandang “di atas pohon itu..
Kami “meminjam” satu atau dua ekor ayam untuk kawan lauk bersantap malam, bila tak dapat ayam kami beralih ke kolam ikan, memancing atau menombak, lalu dibakar bersama sama. Atau kalau pas di saat musim durian, kami blusak-blusuk masuk kebun tetangga menunggu durian jatuh dari pohon lalu memunguti durian itu tanpa sepengetahuan si empunya. Si empunya buah, ayam, dan ikan tidak tahu?
Sudah pasti tahu. Memang saat kami “memanfaatkannya’, mereka tidak tahu. Tapi mereka, peliharaan dan buah-buahannya berkurang. Pagi-pagi mereka pasti merasa ganjil ayamnya tidak ada. Tapi mereka diam saja, mau tidak mau harus ikhlas. Karena kalau tidak, bukan hanya durian, ikan, ayam saja yang hilang, tapi pahala dan kebahagiaan tidak mereka dapatkan. Situasi semacam ini membuat kata “maling” tidak keluar dari tempatnya.
Kebanyakan surau tuo atau surau lama terletak agak jauh dari pemukiman warga. Biasanya berada di lembah atau di guguak. Biasanya dekat sumber mata air. Suasananya sepi dan nglangut bila hening malam menyelimuti..
Dahulu saya cukup aktif berguru dan berpindah pindah surau. Zaman itu, tahuan 80an, salah fungsi surau juga tempat ajang mencari teman baru dan ilmu baru.
Terakhir ketika saya pulang kampung 2-3 tahun lalu beberapa surau tempat saya belajar mengaji sudah banyak yang rusak, hancur bahkan ada yang telah punah. Mungkin karena anak anak generasi sekarang sudah berganti surau, pindah ke surau modern. Anak-anak tidak bermalam, menjaga surau dengan upah durian, ayam, atau ikan, melainkan game online. Mungkin mereka sudah memainkan Pokemon Go, game yang sedang ngehit hari ini.
Jelas buruan kami, anak surau zaman itu, lebih bisa dinikmati, bergizi, kenyang, hangat dan lezat. Anak surau sekarang, buruannya bayangan. (Alfi Caniago adalah Perupa, tinggal di Jogjakarta)