Hukum Vaksin dan Fatwa MUI yang Perlu Dicermati

Hukum Vaksin dan Fatwa MUI yang Perlu Dicermati

Bagaimana sih hukum vaksin? Apa saja yang harus diperhatikan?

Hukum Vaksin dan Fatwa MUI yang Perlu Dicermati

Belakangan beberapa media massa mengulas MUI Kepulauan Riau menolak sementara penggunaan vaksin Campak dan Rubella (MR) karena belum nyata kehalalannya. Dinas Kesehatan setempat pun menunda pemberian vaksin tersebut untuk masyarakat di sana. Karena penolakan sebagian ulama ini, akhirnya banyak masyarakat memilih mengikuti jejak mereka.

MUI, dalam hal ini melalui LP POM (Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika MUI) telah mengeluarkan fatwa untuk tiga jenis vaksin: meningitis, rotavirus dan vaksin polio oral dan vaksin polio khusus. Selain itu, dalam fatwa nomor 4 tahun 2016, MUI juga mengeluarkan pernyataan kebolehan vaksin.

Vaksin adalah tindakan pemberian paparan antigen dari suatu substansi penyakit supaya tubuh manusia bisa menyiapkan diri untuk merespon penyakit-penyakit tertentu.

Sebagaimana dicatat dalam Pedoman Imunisasi di Indonesia Edisi Kelima yang dirilis IDAI (Ikatan Dokter Anak Indonesia), vaksin adalah jenis imunisasi aktif dengan memberikan paparan antigen penyakit tertentu agar terbentuk imunitas dalam tubuh.

Di Indonesia, jenis-jenis vaksin yang diprogramkan pemerintah cukup beragam, meninjau banyak data epidemiologi dan angka kejadian penyakit tersebut di masyarakat. Diharapkan melalui vaksin tersebut, angka kejadian dan kematian akibat penyakit yang divaksinasi dapat menurun.

MUI telah mengeluarkan fatwa nomor 4 tahun 2016 seputar imunisasi, yang setidaknya perlu kita cermati: pertama, secara prinsip segala jenis pengobatan dan pencegahan penyakit itu dibolehkan. Vaksinasi sebagai salah satu cara pencegahan primer, boleh dilakukan menurut agama Islam, sebagaimana pengobatan-pengobatan lainnya.

Kedua, masalah komposisi vaksin. Secara garis besar, vaksin dibuat dari antigen dari pelemahan mikroorganisme tertentu, misalnya virus. Contoh, pada jenis vaksin polio oral (OPV), maka yang menjadi “komposisi” adalah virus polio yang dilemahkan. Ketika masuk ke dalam tubuh, reaksi imun akan membentuk reaksi kekebalan terhadap virus polio sedari awal. Pada fase hidup selanjutnya, infeksi virus polio bisa diatasi secara imun oleh tubuh karena telah dikenalkan sebelumnya.

Polemik meluas tentang senyawa yang digunakan sebagai katalis, emulsifier, stabilizer atau pembantu reaksi lainnya dari beberapa jenis vaksin. Sebagaimana dirilis dalam fatwa MUI tentang produk vaksin meningitis, dipandang adanya persinggungan enzimatik dengan senyawa yang disintesa dari babi. Hal ini senantiasa memicu polemik.

Kalangan penganut mazhab Maliki dan Hanafi, memiliki konsep tentang perubahan benda najis menjadi suci, atau istihalah. Para ulama mazhab tersebut mencontohkan pada arak yang secara enzimatik akan menjadi cuka di kemudian hari, maka ia jadi suci, karena kandungan memabukkan dalam zat tersebut sudah tiada.

Begitupun vaksin: kalaupun dikembangkan lewat reaksi enzimatik dari senyawa yang dibuat dari babi, maka wujudnya sudah tidak ada di dalam vaksin lagi.

Produk vaksin banyak macamnya. Secara garis besar komposisi ia tersusun dari pelarut, adjuvan dan eksipien. Polemik soal babi ini banyak dibahas pada komposisi eksipien, mencakup stabiliser, buffer, residual, surfaktan, yang masing-masing tentu cukup panjang dibahas di sini – tulisan ini bukan makalah farmasi dan kimia.

Senyawa hidrolysed gelatin, yang dibuat dari kolagen makhluk hidup (bovine protein), termasuk babi, berfungsi memertahankan potensi vaksin dari lingkungan yang bisa merusak senyawa dan antigen di dalamnya. Gelatin ini salah satunya berfungsi sebagai stabilizer. Pada luaran produk, ia tidak terdeteksi wujudnya lagi.

Debat hukum vaksin jadi cukup pelik, khususnya di kalangan masyarakat Indonesia yang mayoritas bermazhab Syafii. Istihalah, jika dilakukan secara sengaja dan lewat intervensi manusia, maka menurut mazhab Syafi’i dan Hanbali tetap najis karena “menyengaja membuat sesuatu yang najis secara dzat menjadi suci”.

Ketiga, tentang masalah dlaruriyat dan hajat dalam masalah vaksin. Bagi sebagian kalangan muslim, mereka menilai penggunaan vaksin ini tidak dlarurat amat dan hajat amat.

Sebagian menilai menjaga kesehatan sudah bisa mencegah penyakit. Bahkan ada yang menyamakan tahnik dan cukup ASI saja untuk menguatkan imun. Tapi tentu saja hal itu tidak cukup, mengingat penyakit juga selalu berkembang – bahkan lebih pesat – dibanding pengembangan pengobatan.

Vaksin meningitis dalam fatwa nomor 05 tahun 2009 juga menggunakan logika dlarurat dan hajat ini, karena kebutuhan haji. Tentu saja bicara al-hajat, kesehatan masyarakat secara luas, hemat penulis, adalah hajat yang juga penting.

Sampai tahun 2013, beberapa jenis vaksin menjadi program pemerintah: hepatitis B, polio oral, BCG, DPT (difteri, pertussis, tetanus), Hib (haemophilus influenzae), rotavirus dan campak-rubella (MMR) dan beberapa jenis lain yang tidak berada dalam program nasional. Program Pengembangan Imunisasi di Indonesia telah berjalan sejak 1977, serta selalu dikembangkan dan diawasi keamanannya hingga saat ini.

Reaksi ringan yang secara umum berupa demam adalah hal yang secara alamiah terjadi. Penyelenggara imunisasi juga biasa memberikan obat penurun demam pasca imunisasi. Beberapa orang kerap mengaitkan Kejadian Ikutan Pasca Imunisasi (KIPI) dengan bahaya vaksin tanpa memahami duduk perkaranya – lantas ramai-ramai menolaknya.

Jika dinyatakan ada reaksi berat, penyebabnya perlu dicermati karena bisa saja tidak semata-mata karena vaksin. Kemenkes memiliki badan untuk pelaporan KIPI jika hal itu memang terjadi. Kendati ada reaksi yang mungkin cukup berat, hal ini angkanya rendah secara epidemiologis.

Vaksinasi penting karena ia adalah upaya pencegahan primer terhadap penyakit. Ia dipandang dalam tiga tingkat: secara individu, sosial dan nasional. Angka pengidap penyakit dan kematian akibat penyakit yang diimunisasikan bisa ditekan dengan vaksinasi. Imunisasi  melalui vaksinasi, akan memutus rantai penularan penyakit secara signifikan, karena banyaknya orang yang sudah memiliki kekebalan tersendiri terhadap penyakit tersebut.

Memang dalam kedokteran modern, ada tiga pilar etis yang dijunjung dalam tindakan kedokteran: beneficience (menjunjung nilai manfaat), non-maleficence (menimbang dampak kerugian) serta justice (kesetaraan untuk menerima layanan yang sama). Hal ini menyebabkan seseorang memiliki hak untuk menolak pemberian vaksin untuk dirinya, atau untuk anaknya.

Agaknya Islam telah memberikan ruang metodologis untuk masyarakat muslim menerima vaksin. Pun tujuannya adalah menjaga nyawa: tujuan syariah yang perlu diupayakan sesegera mungkin. Tentu ini pandangan penulis sebagai mahasiswa bidang kesehatan.

Senyawa yang dipandang haram itu bisa dipahami dengan kerangka metodologis lain, atau dalam tataran yang lebih teknis dan awam, dapat disampaikan urgensi vaksin atas penyakit yang cakupannya tidak tanggung-tanggung: berskala nasional.

Kalaupun benar soal kehalalan senyawa itu sangat bermasalah, maka alangkah baiknya memahami masalah tersebut lebih lanjut. Terkait penyediaan konten vaksin yang dipandang benar-benar halal, perlu dicermati lagi berbagai faktor di tingkat stakeholder.

Kurang tepatnya pemahaman soal vaksin karena “penerjemahan dan penjelasan yang tidak tepat”, terlebih dari kalangan yang belum mengetahui vaksinasi lebih detil, ditambah kabar yang kerap dilebih-lebihkan dan tidak dicermati, mestinya bersama perlu ditimbang dengan seksama. Akhir kata, vaksin itu: dibolehkan dan diperlukan. Wallahu a’lam.