Hukum Sunat Perempuan dan Tinjauannya dari Beragam Perspektif

Hukum Sunat Perempuan dan Tinjauannya dari Beragam Perspektif

Hukum Sunat Perempuan dan Tinjauannya dari Beragam Perspektif

Pengalaman disunat tak bisa dilewatkan bagi kaum muslim pria Indonesia. Sunat atau khitan, dipandang sebagai salah satu jenjang pendewasaan. Ia kerap diperingati secara semarak dan menjadi kebanggaan tersendiri.

Sunat atau yang dalam bahasa medis disebut sirkumsisi lumrah bagi kalangan kaum Adam. Namun disebutkan di beberapa literatur keislaman serta juga menjadi adat di beberapa daerah, sunat ini juga dilakukan untuk perempuan. Motivasi sunat perempuan, khususnya di masyarakat Indonesia, secara garis besar adalah melestarikan tradisi dan menunaikan ajaran agama.

Sunat untuk perempuan? Ya, Anda tidak salah baca. Secara medis, sunat atau sirkumsisi adalah “pemotongan sebagian dari kulit ujung kemaluan”, atau dalam bahasa medis, memotong bagian dari prepucium dari penis untuk para pria.

Perlu Anda ketahui, prepucium adalah kulit yang menutupi ujung bagian alat kelamin pria (penis) atau klitoris bagi perempuan. Secara embriologi, kedua organ ini berkembang dari struktur yang sama pada usia tertentu janin dalam kandungan, namun melalui perbedaan genetik yang menentukan kelamin (kromosom seks), organ tersebut akan berkembang sesuai dengan “takdir” jenis kelamin manusia tersebut.

Lantas, bagaimana dengan sunat untuk kaum Hawa?

Perilaku ini dipandang cukup sensitif bagi perempuan oleh para aktivis kesetaraan gender. Perintah sunat untuk kaum perempuan tidak lebih populer dibanding anjuran sunat untuk lelaki. Dalam surah Al-Baqarah ayat 125 yang dinilai menjadi dasar syariat khitan, ditafsirkan ulama bahwa Nabi Ibrahim mendapat sekian perintah dari Allah yang salah satunya adalah perintah berkhitan.

Nabi Muhammad bersabda bahwa khitan adalah salah satu ajaran kebersihan dan kesucian dalam Islam. “Kesucian (juga kebersihan) ada dalam lima hal: berkhitan, mencukur bulu kemaluan, memotong kuku, mencukur bulu ketiak, dan merapikan kumis.” (HR. Al-Bukhari)

Riwayat yang secara eksplisit menyebutkan tindakan sunat bagi perempuan ditemukan dalam hadis. Beberapa ulama merujuk adanya syariat sunat perempuan ini melalui hadis yang tercatat di Musnad Ahmad bin Hanbal berikut:

حَدَّثَنَا سُرَيْجٌ، حَدَّثَنَا عَبَّادٌ يَعْنِي ابْنَ الْعَوَّامِ، عَنِ الْحَجَّاجِ، عَنْ أَبِي الْمَلِيحِ بْنِ أُسَامَةَ، عَنْ أَبِيهِ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: «الْخِتَانُ سُنَّةٌ لِلرِّجَالِ، مَكْرُمَةٌ لِلنِّسَاءِ

“Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Khitan itu sunnah (yang mesti diikuti) bagi laki-laki, dan suatu kemuliaan bagi perempuan.” (HR. Ahmad, diriwayatkan juga oleh Imam Al Baihaqi dalam Sunan al Kubra)

Selain itu, Imam Abu Dawud mencantumkan dalam Sunan Abu Dawud suatu hadis yang mengisahkan Nabi kedatangan seorang perempuan Madinah yang disebutkan telah berkhitan. Nabi pun menanggapi, “Jangan berlebihan dalam berkhitan (bagi perempuan). Sesungguhnya berkhitan bagi perempuan itu bermanfaat bagi perempuan dan lebih dicintai para suami.

Di samping hadis-hadis di atas, sayangnya penulis belum menemukan hadis bahwa Nabi Muhammad melakukan khitan untuk para putrinya – juga para istrinya.

Para imam mazhab berbeda pendapat tentang khitan perempuan ini. Seperti didiskusikan dalam ‘Aunul Ma’bud Syarah Sunan Abu Dawud, ulama mazhab Hanafi berpendapat bahwa khitan perempuan dianjurkan, begitupun dalam mazhab Maliki. Malahan salah satu kaul mazhab Syafii menyebutkan khitan perempuan itu diwajibkan sebagaimana khitan bagi lelaki.

Dalam Aunul Ma’bud Syarah Sunan Abu Dawud diskusi seputar hadis khitan bagi perempuan ini cukup panjang. Beberapa ulama menilai salah satu perawinya yaitu Muhammad bin Hassaan adalah sosok yang tidak diketahui (majhul). Selain itu, Imam Abu Dawud menyebutkan riwayat hadis seputar khitan perempuan dla’if karena ada perselisihan riwayat hadis (idltirab), yaitu pada riwayat Ubaidillah bin Umair dan Abdul Malik al Kufi.

Hadis riwayat Imam Ahmad yang dicantumkan di atas, salah satu perawinya yaitu Al Hajjaj bin Arthah, dinilai sebagai orang yang kurang otoritatif dalam masalah hadis khitan karena riwayatnya memiliki kontradiksi. Syekh Al ‘Azhim Abadi, penulis Aunul Ma’bud, berkesimpulan bahwa semua hadis seputar khitan perempuan itu berkualitas lemah, dan memiliki kecacatan masing-masing.

Tentu saja perbedaan metodologi ulama terhadap penilaian hadis sebagai dasar hukum yang menelurkan kesimpulan berbeda soal khitan perempuan ini membuat kita mesti perlu lebih banyak menelaah lagi soal status hukumnya.

Kedua hadis di atas menjadi sebagian dari landasan fatwa MUI nomor 9A tahun 2008 tentang Hukum Pelarangan Khitan terhadap Perempuan. MUI, dalam hal ini menyatakan fatwa bahwa khitan perempuan memiliki legitimasi dalam syariat Islam.

Perkara khitan perempuan ini mendapat sorotan aktivis gender, ahli hukum Islam, serta para pakar medis. WHO (World Health Organization) dalam rilis tahun 2010 menunjukkan bahwa setidaknya ada empat praksis sunat bagi perempuan yang dilakukan di dunia. Pertama, pemotongan sebagian atau seluruh bagian prepucium klitoris perempuan, kendati selanjutnya kulit ini tidak perlu dipotong menyesuaikan pertumbuhan fisik perempuan. Metode ini diperkenankan, namun dengan pengawasan dan dilaksanakan tenaga kesehatan terlatih. Hal demikianlah yang banyak disebutkan dalam syarah hadis dan literatur fikih.

Kedua, melakukan perlukaan pada bagian dari kelamin. Ketiga, sebagaimana banyak dilakukan di Afrika, adalah penindikan organ kelamin wanita dan sekitarnya. Keempat adalah jenis-jenis lain yang tidak termasuk di atas, namun dipertimbangkan sebagai cara yang berbahaya bagi perempuan.

WHO menyeru untuk menghindari prosedur menghilangkan sebagian atau seluruh bagian kelamin luar perempuan, di luar tujuan medis. Peraturan Menteri Kesehatan RI tahun 2010 juga membatasi sunat perempuan dengan ketat. Tindakan ini hanya boleh dilakukan oleh tenaga kesehatan dengan ketentuan yang detil. Seiring respon yang meluas, aturan ini diperlonggar kembali lewat Permenkes nomor 6 tahun 2014 setelah meninjau fatwa dari MUI yang telah disinggung di atas.

Lanny Octavia, peneliti dari Universitas Exeter, Inggris, dalam penelitiannya berjudul Circumsision and Muslim Women’s Identity In Indonesia yang dimuat di jurnal Studia Islamika melakukan suatu riset kualitatif terhadap tren khitan perempuan yang masih marak dilakukan oleh tokoh masyarakat di Lombok dan Minangkabau. Menurut para pelaku, tradisi ini disebutkan dalam kitab-kitab klasik.

Lanny mencatat, bahwa tradisi ini cukup patriarkal, dan melanggar hak anak dan perempuan. Tujuan-tujuan yang ada, seperti perempuan perlu disunat agar hasrat seksualnya menurun, untuk membuatnya lebih salehah, menurut Lanny, perlu ditinjau kembali karena bersifat misoginis dan menegaskan dominasi pria atas hak perempuan.

Sayyid Muhammad al Tantawi dari Mesir, menyebutkan bahwa Al Quran tidak mengisyaratkan khitan bagi perempuan, serta hadis tentang sunat perempuan tersebut masih perlu ditelaah mengingat status kesahihannya sebagai hujjah.

Selain itu, masih melanjutkan keterangan di atas yang juga dirujuk ulama Al Azhar, pada dasarnya sunat perempuan tanpa indikasi medis dipandang menyakiti bagian sehat – yang bertentangan dengan kaidah hukum fikih: mencegah keburukan, lebih baik dari menarik kebaikan. Sedang kebaikan dari sunat perempuan masih diperselisihkan, ulama masih mencermati kembali hukum dan alasan sunat perempuan ini.

Demikianlah bahwa sunat perempuan memiliki perspektif budaya, gender, medis, serta hukum Islam yang perlu Anda ketahui dan dicermati lebih lanjut. Wallahu a’lam.