Hukum Shalat Jumat untuk Pencitraan Pilpres

Hukum Shalat Jumat untuk Pencitraan Pilpres

Shalat jumat untuk pencitraan, apakah sah dan masih dapat pahala?

Hukum Shalat Jumat untuk Pencitraan Pilpres
Shalat jumat di masjid kauman Semarang

Saat tiba masa hisab, semua orang di kumpulkan dan dihitung satu persatu amalannya. Tibalah saatnya seorang laki-laki gagah berani, ia mendapat giliran pertama karena ia merupakan seorang pemimpin muslim. Selayaknya karakter seorang pemimpin, dialah yang harus mendapatkan giliran pertama dihisab.

Dengan gagah ia maju ke depan, malaikat bertanya kepadanya, “Apa yang telah engkau lakukan wahai Fulan?”

“Aku telah beribadah sesuai tuntunan, aku shalat jumat bersama para pendukungku,” jawab si Fulan percaya diri.

“Bohong!” Malaikat menyanggah dengan cepat. “Engkau melakukan shalat jumat agar disebut sebagai seorang muslim yang taat, bukan?” Lanjut malaikat. Si Fulan pun masuk ke neraka karena ibadahnya yang diniati pencitraan, bukan semata karena Allah SWT.

Kisah ini sebenarnya hanya rekaan penulis, untuk menjawab keramaian warganet tentang shalat jumat pencitraan yang dilakukan oleh salah satu paslon. Tentu kisah ini bukan asal mereka-reka. Kisah ini terinsiprasi dari sebuah hadis riwayat Muslim dari Abu Hurairah yang mengisahkan tiga orang yang amalannya tertolak karena riya.

سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ « إِنَّ أَوَّلَ النَّاسِ يُقْضَى يَوْمَ الْقِيَامَةِ عَلَيْهِ رَجُلٌ اسْتُشْهِدَ فَأُتِىَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا  قَالَ فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا قَالَ قَاتَلْتُ فِيكَ حَتَّى اسْتُشْهِدْتُ. قَالَ كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ قَاتَلْتَ لأَنْ يُقَالَ جَرِىءٌ. فَقَدْ قِيلَ. ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِىَ فِى النَّارِ وَرَجُلٌ تَعَلَّمَ الْعِلْمَ وَعَلَّمَهُ وَقَرَأَ الْقُرْآنَ فَأُتِىَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا قَالَ فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا قَالَ تَعَلَّمْتُ الْعِلْمَ وَعَلَّمْتُهُ وَقَرَأْتُ فِيكَ الْقُرْآنَ. قَالَ كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ تَعَلَّمْتَ الْعِلْمَ لِيُقَالَ عَالِمٌ. وَقَرَأْتَ الْقُرْآنَ لِيُقَالَ هُوَ قَارِئٌ. فَقَدْ قِيلَ ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ حَتَّى أُلْقِىَ فِى النَّارِ. وَرَجُلٌ وَسَّعَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَأَعْطَاهُ مِنْ أَصْنَافِ الْمَالِ كُلِّهِ فَأُتِىَ بِهِ فَعَرَّفَهُ نِعَمَهُ فَعَرَفَهَا قَالَ فَمَا عَمِلْتَ فِيهَا قَالَ مَا تَرَكْتُ مِنْ سَبِيلٍ تُحِبُّ أَنْ يُنْفَقَ فِيهَا إِلاَّ أَنْفَقْتُ فِيهَا لَكَ قَالَ كَذَبْتَ وَلَكِنَّكَ فَعَلْتَ لِيُقَالَ هُوَ جَوَادٌ. فَقَدْ قِيلَ ثُمَّ أُمِرَ بِهِ فَسُحِبَ عَلَى وَجْهِهِ ثُمَّ أُلْقِىَ فِى النَّارِ ».

“Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda : “Sesungguhnya manusia pertama yang diadili pada hari kiamat adalah orang yang mati syahid di jalan Allah. Dia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatan (yang diberikan di dunia), lalu ia pun mengenalinya. Allah bertanya kepadanya, “Amal apakah yang engkau lakukan dengan nikmat-nikmat itu?” Ia menjawab, “Aku berperang semata-mata karena Engkau sehingga aku mati syahid.” Allah berfirman, “Engkau dusta! Engkau berperang supaya dikatakan seorang yang gagah berani. Memang demikianlah yang telah dikatakan.” Kemudian (malaikat) diperintahkan agar menyeret orang, lalu dilemparkan ke dalam neraka.

“Berikutnya orang (yang diadili) adalah seorang yang menuntut ilmu dan mengajarkannya serta membaca Al-Qur’an. Ia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatannya, maka ia pun mengakuinya. Kemudian Allah menanyakannya, “Amal apakah yang telah engkau lakukan dengan kenikmatan-kenikmatan itu?” Ia menjawab, “Aku menuntut ilmu dan mengajarkannya, serta aku membaca Al-Qur’an hanyalah karena engkau.” Allah berfirman, “Engkau dusta! Engkau menuntut ilmu agar dikatakan seorang ‘alim (yang berilmu) dan engkau membaca Al-Qur’an supaya dikatakan (sebagai) seorang qari’. Memang begitulah yang dikatakan” Kemudian diperintahkan (malaikat) agar menyeret dan melemparkannya ke dalam neraka.

“Berikutnya adalah orang yang diberikan kelapangan rezeki dan berbagai macam harta benda. Ia didatangkan dan diperlihatkan kepadanya kenikmatan-kenikmatannya, maka ia pun mengakuinya. Allah bertanya, “Apa yang telah engkau lakukan dengan nikmat-nikmat itu?” Dia menjawab, “Aku tidak pernah meninggalkan sedakah dan infaq pada jalan yang Engkau cintai, melainkan pasti aku melakukannya semata-mata karena Engkau.” Allah berfirman, “Engkau dusta! Engkau berbuat yang demikian itu supaya dikatakan seorang dermawan (murah hati) dan memang begitulah dirimu yang sebenarnya.” Kemudian Malaikat diperintahkan untuk menyeretnya ke dalam neraka.’” (HR. Muslim)

Tiga kisah tersebut menunjukkan bahwa semua hal yang dilakukan karena riya’ maka akan tertolak. Karena semua amalan yang seharusnya hanya diberikan dan diperuntukkan kepada Allah SWT tidak boleh dilakukan dengan niatan lain, misalnya agar dilihat orang, dipuji orang dan lain sebagainya.

Dalam kasus pemilihan presiden, pasangan manapun tentu sah-sah saja jika ingin melakukan pencitraan, karena memang tujuannya adalah menggalang dukungan. Namun jika pencitraannya dilakukan dalam hal ibadah, maka itu akan mengurangi pahala ibadahnya, bahkan oleh Imam al-Ghazali dalam Bidayatul Hidayat, pencitraan ibadah tersebut bisa merusak ibadahnya. Sebagaimana disebutkan dalam hadis di atas, pencitraan itu tidak hanya mengurangi ibadah tapi juga dapat membuatnya masuk neraka.

وأما الرياء: فهو الشرك الخفي، وهو أحد الشركين، وذلك طلب المنزلة في قلوب الخلق….. ليس يحملهم يحملهم عليه إلا مراءاة الناس، وهي محبطة للأعمال،

“Adapun riya adalah syirik yang samar, dan merupakan salah satu dari dua syirik. Riya adalah mencari kedudukan di hati seorang mahluk…. tidak ada pahala yang akan didapat kecuali pandangan manusia, dan hal itu dapat merusak amal”

Apakah pencitraan tersebut dapat membatalkan shalat jumat yang dilakukan?

Semua ibadah memiliki, syarat sah dan rukun. Batalnya ibadah shalat jumat bisa diketahui jika ada kekurangan dalam melaksanakan rukun dan syarat sahnya. Jika rukun dan syarat sahnya telah dilakukan maka shalat jumat tersebut tetap sah walaupun dilakukan dengan riya dan untuk pencitraan.

Riya atau pencitraan yang dilakukan dalam shalat jumat tersebut tidak dapat membatalkan shalat jumat, namun dapat menghapus pahala shalat jumatanya. Karena riya itu ada di dalam hati, sedangkan hati tidak bisa dijadikan argumen sah atau batalnya suatu ibadah.

Oleh karena itu, kita juga tidak bisa serta merta memvonis seseorang, khususnya calon presiden melakukan pencitraan dalam ibadahnya. Sejauh rukun dan syaratnya terpenuhi, maka anggap saja ia telah melakukan kewajibannya sebagai seorang muslim. Untuk urusan pencitraan dan pahalanya, kita serahkan saja pada Allah SWT. Karena bagaimanapun juga yang mengetahui ia telah melakukan pencitraan dalam shalatnya hanya calon presiden terkait dan tim suksenya.

Namun, Ali bin Abi Thalib menyebutkan beberapa tanda atau ciri orang tersebut melakukan riya. Hal ini dikutip Imam al-Ghazali dalam Ihya Ulumiddin.

لِلْمُرَائِي ثَلَاثُ عَلَامَاتٍ : يَكْسَـلُ إذَا كَانَ وَحْدَهُ، وَيَنْشَـطُ إذَا كَانَ فِي النَّاسِ، وَيَزِيدُ فِي الْعَمَلِ إذَا أُثْنِيَ عَلَيْهِ وَيَنْقُصُ إذَا ذُمَّ

“Orang riya’ (pamer) memiliki tiga ciri: malas ketika sendirian, rajin saat di tengah banyak orang, serta amalnya meningkat kala dipuji dan menurun kala dicaci.”

Nah, pernyataan Ali bin Abi Thalib tersebut bisa digunakan sebagai salah satu acuan, calon presiden tersebut benar-benar melakukan pencitraan atau tidak saat shalat jumat. hehehe.

Wallahu A’lam.