Sya’ban merupakan salah satu bulan penting dalam Islam. Selain memiliki beberapa sejarah penting, seperti perpindahan kiblat dari Masjid al-Aqsha di Palestina menuju Masjid al-Haram di Mekkah, Sya’ban juga memiliki beberapa keistimewaan, salah satunya adalah nisfu Sya’ban.
Namun, dalam salah satu riwayat hadis disebutkan bahwa berpuasa di akhir bulan Sya’ban merupakan larangan Rasulullah Saw.
إِذَا انْتَصَفَ شَعْبَانُ فَلاَ تَصُومُوا
“Jika telah tersisa separuh bulan Sya’ban, maka janganlah kalian berpuasa.” (HR. Abu Dawud dan Tirmidzi)
Berdasarkan hadis tersebut, benarkah kita dilarang berpuasa setelah lewat nisfu sya’ban?
Menjawab hal ini, ada beberapa hal yang perlu kita perhatikan. Dalam memahami sebuah hadis, kita tidak diperkenankan untuk setengah-setengah, kita harus mencari hadis lain (takhrij) yang setema. Apakah ada hadis lain atau tidak yang bisa jadi lebih lengkap dan lebih kuat.
Ternyata dalam riwayat lain, bahkan lebih kuat, yakni riwayat Muslim melalui Abu Hurairah dijelaskan:
لاَ تَقَدَّمُوا رَمَضَانَ بِصَوْمِ يَوْمٍ وَلاَ يَوْمَيْنِ إِلاَّ رَجُلٌ كَانَ يَصُومُ صَوْمًا فَلْيَصُمْهُ
“Janganlah mendahulukan Ramadhan dengan sehari atau dua hari berpuasa, kecuali jika seseorang memiliki kebiasaan berpuasa, maka berpuasalah.” (HR. Muslim)
Selain itu dalam hadis lain riwayat Imam al-Bukhari juga disebutkan bahwa Rasulullah Saw tidak pernah melakukan puasa sebulan penuh setelah Ramadhan, kecuali pada bulan ini.
Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’ Syarh al-Muhaddzab menjelaskan bahwa puasa setelah nisfu Sya’ban dilarang jika sebelum nisfu Sya’ban tidak melakukan puasa. Jika sebelumnya melakukan puasa, maka diperbolehkan.
إن وصله بما قبل النصف جاز وإن وصله بما بعده لم يجز
“Jika seseorang menyambung puasa sebelum nisfu Sya’ban, maka diperbolehkan berpuasa. Jika hanya berpuasa setelah nisfu Sya’ban, maka dilarang.”
Hal ini juga senada dengan pernyataan Syekh Muhammad bin Qasim al-Ghazi dalam Fathul Qarib al-Mujib yang menjelaskan macam-macam puasa yang dimakruhkan, salah satunya adalah puasa yaum as-syak, yakni puasa di akhir bulan Sya’ban. Namun Muhammad al-Ghazi memerinci puasa-puasa apa saja yang diperbolehkan dilakukan pada hari tersebut.
(ويكره) تحريماً (صوم يوم الشك) بلا سبب يقتضي صومه. وأشار المصنف لبعض صور هذا السبب بقوله (إلا أن يوافق عادة له) في تطوعه كمن عادته صيام يوم وإفطار يوم فوافق صومه يوم الشك، وله صيام يوم الشك أيضاً عن قضاء ونذر،
“Dimakruhkan tahrim berpuasa pada hari syak (ragu) tanpa sebab yang melatarbelakangi puasanya. Dan mushannif menunjukkan sebagian contoh puasa yang memiliki sebab melalui kaulnya, “kecuali puasa tersebut menjadi kebiasaan” sebagai puasa sunnah. Sebagaimana orang yang membiasakan satu hari puasa dan satu hari berbuka (puasa daud). Maka ketika puasa tersebut bertepatan dengan hari syak, maka diperbolehkan berpuasa. Begitu juga dengan puasa untuk qadha dan nadzar.”
Selain hari-hari tersebut, Syeh Taqiyuddin Abu Bakar al-Husaini dalam Kifayatul Ahyar menambahkan puasa hari senin dan kamis juga termasuk puasa yang boleh dilakukan walaupun di hari syak. Karena puasa tersebut merupakan puasa sunnah yang sebelumnya telah sering dilakukan oleh orang tersebut.
Wallahu A’lam.