Hukum Puasa dalam Kondisi Junub

Hukum Puasa dalam Kondisi Junub

Hukum Puasa dalam Kondisi Junub

Ibadah puasa dan shalat meski keduanya sama-sama terikat dengan waktu, yakni dikerjakan dalam waktu yang ditentukan, namun di dalam puasa tidak ada persyaratan harus suci dari hadas kecil maupun besar. Karena itu apabila seseorang masuk waktu puasa dalam keadaan junub atau memiliki hadas besar maka puasanya tetap sah.

Misalnya, malam hari seseorang bersetubuh dengan istri atau suaminya, atau perempuan berhenti haid dan nifas pada malam hari, lalu tidak segera mandi besar hingga masuk waktu puasa, maka puasanya sah jika malam harinya sudah niat.

Abu Zakariyya An-Nawawi (w. 676 H), pakar hukum Islam madzhab Syafi‘i dalam kitabnya, Al-Majmu‘ Syarh al-Muhadzdzab menjelaskan:

إذَا جَامَعَ فِي اللَّيْلِ وَأَصْبَحَ وَهُوَ جُنُبٌ صَحَّ صَوْمُهُ بِلَا خِلَافٍ عِنْدَنَا وَكَذَا لَوْ انْقَطَعَ دَمُ الْحَائِضِ وَالنُّفَسَاءِ فِي اللَّيْلِ فَنَوَتَا صَوْمَ الْغَدِّ وَلَمْ يَغْتَسِلَا صَحَّ صَوْمُهُمَا بِلَا خِلَافٍ عِنْدَنَا

“Apabila seseorang bersetubuh pada malam hari dan masuk waktu pagi dalam keadaan junub maka puasanya sah tanpa ada perbedaan pendapat di kalangan kita (madzhab Syafi‘i). Begitu juga apabila darah perempuan yang sedang menstruasi atau nifas berhenti pada malam hari dan keduanya niat melakukan puasa, sementara ia belum mandi besar (ketika masuk waktu pagi) maka puasanya sah tanpa ada perbedaan di kalangan ulama madzhab Syafi‘i.”

Hukum sah atau tidak membatalkan puasa sebab punya hadas besar di atas berdasarkan pada QS. Al-Baqarah 187 yang berisi penjelasan boleh makan, minum dan setubuh pada malam hari hingga fajar terbit dalam bulan Ramadlan. Kata An-Nawawi, hukum boleh bersetubuh “sampai fajar terbit” (ila thulu‘ al-fajr) meniscayakan pelakunya masuk ke waktu puasa dalam keadaan junub. Karena itu berdasarkan pemahaman demikian, orang yang membawa hadas besar ke dalam waktu puasa tidak berpengaruh terhadap puasanya, yakni tetap sah.

Selain berdasarkan ayat di atas juga berdasarkan sejumlah hadis shahih, antara lain hadis yang diriwayatkan oleh ‘Aisyah dan Ummi Salamah yang menginformasikan bahwa Nabi Muhammad Saw pernah masuk waktu pagi dalam keadaan junub dan tetap berpuasa.

Kendati hadas besar tidak membatalkan puasa, namun apabila pada siang Ramadlan melakukan jima‘ atau bersetubuh atau mengeluarkan mani dengan disengaja maka puasanya batal. Larangan bersetubuh berdasarkan pada QS. Al-Baqarah 187 yang berisi penegasan hukum boleh melakukannya pada malam hari Ramadlan. Para Ahli fikih berdasarkan ayat tersebut memahami penegasan hukum boleh jima‘ “pada malam hari” berarti apabila dilakukan pada siang hari maka hukumnya haram dan membatalkan puasa.

Mengeluarkan mani dengan disengaja (istimna`) dapat membatalkan puasa baik mengeluarkannya menggunakan tangan atau cara-cara lainnya karena dianalogikan dengan bersetubuh (jima) dari sisi sama-sama memenuhi hasrat seksual. (Al-Juwaini, 2007: IV, 66). Berbeda jika keluar mani tidak disengaja dan bukan disebabkan persentuhan kulit lawan jenis (mubasyarah) seperti menghayal, melihat lawan jenis dan “mimpi basah” (ihtilam) maka puasanya tidak batal. (Al-Malibari, 2003: II, 377-378).