Perjodohan adalah salah satu cara yang ditempuh masyarakat dalam mengupayakan pernikahan. Tak ada ketentuan dalam syariat yang mengharuskan atau sebaliknya melarang perjodohan. Islam hanya menekankan bahwa hendaknya seorang Muslim mencari calon istri yang shalihah dan baik agamanya. Begitu pula sebaliknya.
Pernikahan dalam Islam merupakan nikmat Allah yang sepatutnya disyukuri oleh setiap insan yang bernyawa, karena dengan pernikahan kita banyak mendapatkan kemanfaatan. Jangan lupa untuk menikahlah dengan insan yang kau senangi. Allah mensyariatkan perihal tersebut:
“Maka kawinilah perempuan-perempuan (lain) yang kamu senangi” (QS. Al-Nisa: 3)
Ringkasnya, perjodohan hanyalah salah satu cara untuk menikahkan. Orang tua dapat menjodohkan anaknya. Tapi hendaknya meminta izin dan persetujuan dari anaknya, agar pernikahan yang diselenggarakan didasarkan pada keridhaan masing-masing pihak. Bukan karena keterpaksaan. Pernikahan yang dibangun di atas dasar keterpaksaan, jika terus berlanjut berpotensi mengganggu keharmonisan rumah tangga.
Abu Hurairah berkata, Rasulullah SAW bersabda:
لَا تُنْكَحُ الْأَيِّمُ حَتَّى تُسْتأمَر وَلَا تُنْكَحُ الْبِكْرُ حَتَّى تُسْتَأْذَنَ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَكَيْفَ إِذْنُهَا قَالَ أَن تسكت
“Tidak boleh menikahkan seorang janda sebelum dimusyawarahkan dengannya dan tidak boleh menikahkan anak gadis (perawan) sebelum meminta izin darinya.” Mereka bertanya, “wahai Rasulullah, bagaimana mengetahui izinnya?” Beliau menjawab, “Dengan ia diam.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)
Di antara kemuliaan yang Allah berikan kepada kaum perempuan setelah datang Islam adalah bahwa mereka mempunyai hak penuh dalam menerima atau menolak suatu lamaran atau pernikahan. Hak ini tidak dimiliki oleh kaum perempuan di zaman jahiliah. Karenanya tidak boleh bagi wali perempuan mana pun memaksa perempuan yang dia walikan untuk menikahi lelaki yang tidak disenangi.
Lantas berdosakah seorang anak yang menolak perjodohan orang tuanya dan apakah anak tersebut dikatakan durhaka karena penolakannya?
وعن ابن عباس رضي الله عنهما “أن جارية بكرا أتت النبي صلى الله عليه وسلم فذكرت أن أباها زوجها وهي كارهة فخيرها رسول الله
Ibnu Abbas berkata, “Telah datang seorang gadis muda terhadap Rasulullah SAW dan mengadu bahwa ayahnya telah menikahkanya dengan laki-laki yang tidak ia cintai, maka Rasulullah SAW memberikan pilihan kepadanya (melanjutkan pernikahan atau berpisah)”. (HR. Ahmad, Abu Daud dan Ibnu Majah).
Maka berdasarkan hadits tersebut, penolakan seorang anak terhadap perjodohan orang tuanya adalah tidak berdosa dan tidak dikategorikan sebagai sikap durhaka dengan sebuah catatan penolakan tersebut harus dilakukan dengan cara dan ucapan yang bijak sehingga tidak menyakiti hati dan perasaan orang tua.
Kemudian dalam hadis lain, Rasulullah bersabda:
الثَّيِّبُ أَحَقُّ بِنَفْسِهَا مِنْ وَلِيِّهَا وَالْبِكْرُ يَسْتَأْذِنُهَا أَبُوهَا فِي نَفْسِهَا وَإِذْنُهَا صُمَاتُهَا
“Seorang janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya, sedangkan perawan maka ayahnya harus meminta persetujuan dari dirinya. Dan persetujuannya adalah diamnya.” (HR. Muslim)
Hukum pernikahan dalam Islam yang sesuai dengan syariat adalah dengan adanya keridhaan dari kedua calon mempelai. Jelas sudah salah satu tak ridha, atau nikah dengan terpaksa maka pernikahan tersebut tidak sesuai syariat Islam dan dilarang dalam syariat. Syaikh Abdurrahamn as-Sa’di memaparkan dalam al-Majmu’ah al-Kamilah lil Muallafat bahwa tidak boleh bagi orangtua memaksa anak perempuan menikah, meski keduanya ridha dengan keadaan agama dari lelaki tersebut.
Tulisan ini pernah dimuat di Bincangsyariah.com