Hukum Mengucapkan Selamat Natal

Hukum Mengucapkan Selamat Natal

Hukum Mengucapkan Selamat Natal

Dalam QS. Al-Mumtahanah 8 dinyatakan bahwa Allah tidak melarang umat Islam untuk berbuat baik (an tabarruhum) dan berlaku adil (wa tuqsithu ilaihim) terhadap orang-orang yang tidak memerangi karena agama dan tidak mengusir dari tempat tinggalnya.

Ath-Thabari (w. 923) dalam karya tafsirnya, Jami’u al-Bayan fi Ta`wil al-Qur`an, menafsirkan ayat di atas sebagai ajaran Islam yang memperbolehkan seorang muslim berbuat baik, menyambung persaudaraan dan berlaku adil kepada semua penganut agama (jami’ ashnaf al-milal wa al-adyan). Berbuat baik kepada non muslim hukumnya tidak haram, baik non muslim yang memiliki ikatan keluarga (qarabah) maupun bukan. (2000: XXIII, 323).

Mengucapkan selamat Natal (tahni`ah bi ‘idi miladi al-masih) bagian dari berbuat baik kepada non muslim, atau dalam istilah Mushthafa Az-Zarqa (w. 1938), pakar hukum Islam asal Syiria, bagian dari berinteraksi dengan cara yang baik (min qabili al-mujamalah wa al-muhasanah fi mu’asyaratihim). Karena itu hukum mengucapkan selamat Natal diperbolehkan, bahkan dianjurkan demi menebarkan kebaikan dan merawat persaudaraan lintas agama.

Dalam ayat di atas, perintah berbuat baik kepada para penganut agama lain diungkapkan dengan kata “an tabarruhum”, derivasi dari kata “al-birr”. Menurut Ibnu Mandzur dalam Lisanu al-‘Arab, kata “al-birr” memiliki makna “kejujuran” dan “kepatuhan” (ash-shidq wa ath-tha’ah). (1414 H: IV, 51).

Dalam hadis Nabi Saw, perintah berbakti kepada orang tua juga disebut dengan kata serupa, yakni “birru al-walidain”. Ketika Nabi Muhammad ditanya sahabatnya tentang makna “al-birr”, Nabi Saw menjawab: “Berbakti adalah beretika baik (Al-birru husnu al-khuluq).” (HR. Muslim No. 2553).

Dari sini dapat dipahami bahwa semangat al-Quran dalam memerintahkan berbuat baik kepada penganut agama lain harus dilakukan dengan sepenuh hati, bukan dengan keterpaksaan atau kepura-puraan.

Bukan Soal Akidah

Mengucapkan selamat Natal jika dimasukkan ke dalam kategori ajaran Islam, maka masuk bab “mu’amalah” atau ajaran agama yang mengatur hubungan antar sesama, yakni tidak ada hubungannya dengan akidah atau membenarkan keyakinan non muslim.

Dalam hadis diceritakan, ketika jenazah Yahudi yang hendak dimakamkan diusung di depan Nabi Muhammad, Nabi segera berdiri sebagai bentuk penghormatan kepadanya. Menurut Az-Zarqa, apa yang dilakukan Nabi Saw dalam menghormati jenazah Yahudi bukan berarti membenarkan keyakinannya, melainkan perwujudan dalam menerapkan interaksi antar sesama dengan cara yang sebaik-baiknya. (https://archive.islamonline.net/?p=542).

Dalam Islam, perbedaan agama bukan menjadi penghalang seseorang dalam berinteraksi, melainkan sebagai keberagaman yang sudah menjadi titah Allah yang seorang muslim harus menerimanya dengan lapang dada (tasamuh). Dalam berinteraksi, Islam mengajarkan supaya mengedepankan akhlaqul karimah atau dalam bahasa al-Quran “an-tabarruhum wa tuqsithu ilaihim” dengan cara tidak menyakiti, membahagiakan, tolong menolong, bijaksana, rendah hati dan perilaku terpuji lainnya.

Berdasarkan QS. Al-Mumtahanah 8 berikut tafsirnya di atas, umat Islam yang memiliki teman, kolega, saudara atau keluarga yang hendak merayakan Natal tidak perlu ragu untuk menyampaikan “tahni`ah” atau ucapan selamat Natal kepadanya. Hal ini bukan perbuatan haram, tapi dianjurkan demi menunaikan ajaran Islam yang memerintahkan berbuat baik kepada sesama (husnu al-khuluq) serta menjaga persaudaraan dalam perbedaan.