Tanggal 17 agustus adalah momen yang sangat bersejarah bagi bangsa Indonesia. Sebuah hari di mana pada tujuh puluh dua tahun silam Bung Karno membacakan proklamasi kemerdekaan negeri ini. Berdasarkan pembacaan proklamasi yang dilakukan oleh Presiden pertama Republik ini, tanggal 17 agustus dirayakan setiap tahunnya sebagai hari kemerdekaan Republik Indonesia.
Merayakan hari kemerdekaan dengan segala bentuknya merupakan salah satu agenda rutin yang dilakukan oleh seluruh rakyat Indonesia. Perayaan hari kemerdekaan merupakan wujud rasa syukur agar bangsa ini dapat selalu mengenang perjuangan dan pengorbanan para pahlawan di zaman kemerdekaan serta menanam jiwa nasionalisme baik kepada generasi muda, kalangan pemerintah, pelajar dan tak ketinggalan para santri di berbagai pondok pesantren melakukan upacara bendera untuk memperingati hari kemerdekaan.
Pertanyaannya adalah, dalam pandangan fikih-Islam, bagaimana hukum mengikuti upacara bendera dalam rangka memperingati dirgahayu republik Indonesia?.
Perayaan hari kemerdekaan dengan cara upacara bendera tidak pernah dilakukan oleh para ulama generasi abad ke tiga (salaf), terlebih di masa sahabat dan Rasulullah Saw. Namun di dalamnya terdapat beberapa sisi positif, di antaranya meningkatkan jiwa patriotisme, mengenang jasa pahlawan, dan yang paling utama tentunya mensyukuri nikmat yang luar biasa besar berupa kemerdekaan yang dianugerhkan Allah untuk bangsa ini.
Melihat dari beberapa sisi positif tersebut, maka memperingati hari kemerdekaan dengan upacara bendera adalah bid’ah hasanah (bid’ah yang baik) dan berpahala.
Dari sudut pandang kajian fikih berbasis kitab kuning, permasalahan ini bisa disamakan dengan perayaan maulid Nabi dengan titik temu (wajh al-Ilhaq) berupa luapan rasa syukur atas nikmat yang diberikan Allah.
Dalam menyikapi perayaan maulid Nabi, al-Hafizh Ahmad bin Hajar al-Asqalani sebagaimana dikutip Jalaluddin as-Suyuthi menegaskan bahwa hal tersebut adalah bid’ah hasanah. Ibnu Hajar berargumen dengan menggunakan sebuah hadis Nabi mengenai anjuran berpuasa Asyura’ sebagai wujud syukur atas karunia Allah atas diselematkannya Nabi Musa As dan ditelenggamkannya penguasa diktator nan berbahaya, Fir’aun. Dari titik syukur ini, peringatan maulid Nabi yang dimaksudkan mensyukuri kelahiran Rasulullah Saw memiliki sisi kesamaan dengan anjuran berpuasa Asyura’ sebagaimana diterangkan dalam hadits di atas.
Bila tidak karena para pahlawan yang dengan segenap jiwa dan raga berjuang melawan penjajah, maka belum tentu hari ini kita dapat menghirup udara segar. Bila tidak karena kekuatan persatuan yang kokoh menyingkirkan para manusia serakah nan lalim selama kurang lebih 350 tahun, mungkin saat ini kita tidak dapat merasakan kehidupan yang damai. Maka, kemerdekaan merupakan nikmat besar yang patut untuk disyukuri. Upacara peringatan hari kemerdekaan dapat membangkitkan jiwa patriotisme masyarakat yang merupakan kekuatan besar menjaga dan merawat nikmat kemerdekaan untuk bangsa ini.
Lebih tegas lagi apa yang disampaikan Syaikh Hisamuddin Affanah dalam himpunan fatwanya “Yas’alunaka fiddin wal hayati”. Beliau mengatakan “Perayaan hari kemerdekaan dalam pandanganku merupakan perkara yang urgens dan dianjurkan. Sebab dapat mengajak para penduduk bangsa untuk mengingat nikmat Allah dan mensyukurinya”.
Hormat bendera yang merupakan rangkaian upacara bendera tidak dimaksudkan menyembah atau menuhankan sang saka merah putih. Namun merupakan ekspersi wajar sebagai bentuk kecintaan warga negara terhadap bangsanya.
Jika sudah demikian jelas mashlahat dan argumentasi ilmiah upacara bendera, masihkah anda menyangsikan kebolehannya?.
*) Sumber bacaan : Jalaluddin al-Suyuthi, al-Hawi li al-Fatawi dan Hisamuddin Affanah, Yas’alunaka fiddin wal hayat.
**) Penulis adalah Pegiat Komunitas Literasi Pesantren (KLP), tinggal di Kediri