Membicarakan perkara rutin tahunan ini, pertama-pertama kita harus mengerti dulu dari sudut pandang dan posisi apa kita melihat. Ringkas saja, dua posisi: masyarakat sipil atau warga negara dan negara.
Sebagai warga negara kita berhak meyakini boleh haramnya (mubah-haram) menggunakan atribut natal. Begitupun meyakini putusan hukum taklif, pembebanan bagi pemanggul kewajiban hukum, lainnya: sunnah, makruh, atau wajib. Saya belum menemukan jawaban, mengapa hukum taklif tak menyebut kata “halal”.
Ada banyak argumen keagamaan yang dapat dipakai untuk. MUI, NU, Muhammadiyah, Persis, sebagai ormas keagamaan berhak memiliki pandangan hukum keagamaan soal ini. Itu hak beragama dan berorganisasi yang dilindungi.
Masalahnya? Kalau yang meyakini haram memaksa, dengan ucapan maupun tindakan, pada orang yang meyakini sebaliknya. Tapi orang dapat berdebat dan berdialog soal ini. Cara damai macam ini baik juga untuk menambah pengetahuan.
Jadi kalau ada karyawan dari umat Islam mau pakai atribut topi natal karena meyakini boleh, tidak boleh dipaksa untuk mencopotnya. Sama dengan yang meyakini keharamannya. Perusahaan, pemerintah, atau lembaga lainnya tidak dapat memaksa orang menggunakan atribut tersebut.
Nah, sekarang soal sudut pandang negara, dalam hal ini pemerintah. Pemerintah, termasuk aparat, tidak boleh ikut campur mendukung atau menentukan boleh tidaknya pakai atribut natal. Pemerintah bukan hanya tidak boleh, tapi tidak punya kemampuan menentukan hukum fikih di lungkungan umat Islam.
Umat ini luas sekali variannya Sunni dalam ormas-ormas keagamaan seperti NU, Muhammadiyah, Persis, Nahdlatul Wathan. Di luar itu ada yang terafiliasi dengan Wahabi-Salafi, Syiah, Ahmadiyah, atau mereka yang merasa tak terafiliasi dengan ormas-ormas tersebut. Percaya deh, kalau pemerintah masuk dalam perdebatan internal ini bakal pusing sembilan keliling.
Meski Menteri Agama berasal dari NU, partai Islam PPP, tidak bisa beliau menjadikan putusan bahstul masail NU soal penggunaan atribut natal misalnya sebagai dasar putusan hukum pemerintah. Beliau Menteri Agama yang mengayomi semua agama dan netral dan mengacu pada UUD 1945.
Untuk itulah mengapa pemerintah tak bisa menjadikan fatwa MUI sebagai dasar hukum positif. Begitupun putusan hukum agama di majlis agama lain seperti PGI, KWI, dan lain-lain dalam isu tertentu.
Pemerintah hanya wajib mengatasi kalau ada orang yang merasa dipaksa untuk memakai atau tidak memakai atribut natal, apalagi dengan cara-cara kekerasan. Mengapa? Karena pemaksaan (koersi) dalam keyakinan tidak boleh seperti tercantum dalam UU Nomor 12 tahun 2005 tentang Ratifikasi Hak Sipil dan Politik. Apalagi kekerasan.
Memastikan agar warga negara terlindungi dari ancaman intimidasi dan kekerasan fisik dari kelompok lain, atas nama apapun.
Dengan kacamata ini, kita bisa meletakan masalah-masalah pokoknya. Setiap orang juga terjamin haknya dalam meyakini sesuatu.