Kuburan adalah gerbang menuju akhirat. Kuburan menjadi gambaran tempat kembalinya manusia nanti di akhirat. Jika di alam kubur mendapatkan kenikmatan, maka harapan besar ia akan berlabuh ke surga.
Jika di alam kubur sudah penuh dengan siksaan, maka besar kemungkinan ia akan jatuh ke jurang neraka. Karena kuburan bisa menjadi kebun dari sebagian kebun surga atau menjadi jurang dari sebagian jurang neraka.
Kuburan tidak perlu dibangun sedemikian rupa. Karena hakikatnya ruh yang mati tidaklah mendiami kuburan. Alamnya sudah berbeda dengan alam manusia. Andai mati tanpa kuburan, misalkan tenggelam dan tak muncul ke permukaan (hilang), tetaplah ia masuk ke alam kubur. Cukuplah ada batu nisan yang menjadi tanda bahwa di sana ada kuburan.
Lalu, terkadang ada sebagian orang yang menanam pepohonan (bunga angrek misalkan) di atas pusara keluarganya. Bahkan bisa dikatakan kebanyakan kuburan ditanami tanamana hijau di atasnya. Atau terkadang ada yang ziarah kubur dengan membawa daun pandan atau bunga tujuh rupa yang ditaburkan di atas kuburan. Lantas, bagaimana pandangan Islam terhadap penanaman pepohonan di atas kuburan?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, mari perhatikan terlebih dahulu perkataan Imam Nawawi Albanteni dalam kitabnya, Nihayatuzzain berikut ini,
ويندب وضع الشيئ الراطب على القبر كالجريد الاخضر والريحان لانه يستغفر للميت مادام رطبا
“Disunahkan meletakkan sesuatu yang basah di atas kuburan seperti pelapah kurma yang hijau dan tumbuhan wewangian (kemangi, bunga mawar). Karena ia akan memohonkan ampun untuk mayyit selama masih basah (hijau atau hidup).”
Pernyataan Imam Nawawi ini sesuai dengan sebuah hadis yang diriwayatkan Abu Hurairah RA, bahwa Rasul SAW pernah memberikan pelepah kurma yang masih basah di atas kuburan agar mayit yang ada di dalam kuburan tersebut diringankan siksanya.
Jadi, dapat disimpulkan membawa kembang tujuh rupa dan ditaburkan di atas pusara keluarga, atau menanam tanaman di atasnya, hukumnya adalah sunah. Bahkan ia bisa memberi manfaat lewat istighfarnya bagi mayit.
Allah Ta’ala A’lam.