Hukum Membuat Perjanjian Pranikah

Hukum Membuat Perjanjian Pranikah

Hukum Membuat Perjanjian Pranikah

Perjanjian pranikah di Indonesia mungkin masih menjadi hal yang tabu, bahkan ada beberapa masyarakat yang belum mengetahuinya. Meskipun tabu di Indonesia, namun perjanjian ini sudah populer di negara-negara barat dan timur tengah.

Ada suatu riwayat yang menyebutkan perjanjian pranikah sudah di lakukan pada zaman sahabat, yakni dilakukan oleh cicit Rasulullah yang bernama Sayyidah Sukainah binti Husain bin Ali bin Abi Thalib.

Sukainah adalah wanita yang pemberani dan teguh, alih-alih mengenakan hijab untuk menutupi wajah dan rambutnya. Ia tidak menggunakannya. Jika digambarkan sekarang mungkin seperti mbak Najwa Shihab yang pandai dan berani berdebat.

Sebelum menikah ia memberikan syarat kepada laki-laki yang meminangnya , dialah Abdullah bin Usman bin Abdullah agar tidak dipoligami meskipun dengan budaknya. Padahal pada zaman itu poligami sangatlah lazim, seorang laki-laki memiliki lebih dari satu istri. Namun, akhirnya syarat tersebut diterima.

Chelsea Olivia dan Glenn Alinskie, Raffi Ahmad dan Nagita Slavina adalah salah satu artis yang membuat perjanjian pranikah.

Umumnya perjanjian tersebut berisi tentang pemisahan harta keduanya, tentang pengasuhan anak dan lain sebagainya. Perjanjian pranikah yang sah dan diakui oleh negara adalah perjanjian yang dilakukan sebelum terjadinya pernikahan.

Perjanjian tersebut tidak dapat dirubah kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga. Kemudian perjanjian tersebut sah dan berlaku selama tidak melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan. Isi perjanjian tersebut berlaku sejak perkawinan dilangsungkan. Oleh negara, perjanjian perkawinan ini juga telah diatur dalam KUH Perdata pasal 147.

Jika kita amati lebih jauh, perjanjian ini banyak manfaatnya, apalagi untuk kalangan artis, salah satunya adalah untuk melindungi hak-hak kedua-belah pihak, termasuk agar suami tidak semena-mena terhadap istri, serta meminimalisir terjadinya perselisihan jika terjadi hal yang tidak diinginkan.

Misalnya, seorang suami terlilit hutang dan pailit, jika keduanya membuat perjanjian pranikah dengan pemisahan harta, maka harta istri tetap aman. Jika terjadi perceraian di antara keduanya, juga tidak perlu repot mengurusi harta gono-gini.

Meskipun perjanjian ini mengandung pro-kontra bagi sebagian pihak, adapula yang menganggap perjanjian ini cukup materialistis dan egois karena sering kali hanya menyangkut masalah finansial yang sangat sensitif.

Bagaimana pandangan Islam tentang perjanjian pranikah? Diperbolehkan namun harus tetap dalam koridor syariat dengan kesepakatan kedua-belah pihak.

Dalam buku nikah sebenarnya telah tercantum ta’lik nikah, yang merupakan salah satu bentuk wadah pencatatan perjanjian pranikah.

Dalam tinjauan maqasid syariah-pun diperbolehkan, karena melihat lebih banyak manfaat dan mengurangi madhorot, asalkan perjanjian pranikah tersebut dibuat sesuai dengan keridhoan kedua belah pihak dan tidak mendzalimi salah satu pihak.

Wallahu A’lam.