Mecermati kasus di SMAN 1 Gemolong, Sragen, ada yang bertanya kepada saya, apa hukum seseeorang “memaksa” orang lain untuk memakai jilbab? Sebelum saya menjawab, saya balik bertanya, mengapa Anda tidak bertanya apa hukum seseorang yang tidak pakai jilbab?
Dia menjawab, kalau seseorang tidak pake jilbab itu ka n kaitannya dengan Allah. Biarlah Allah yang menghukumi dia. Allah Maha Tahu, Maha Adil, dan Maha Bijaksana dalam menghukumi dan memberikan hukuman kepada hamba-Nya.
Dia bilang, “saya percaya penuh kepada Allah pasti adil dan bijaksana. Oleh karena itu, tidak saya tanyakan kepada Bapak.”
Tampaknya si penanya ini kritis dan pintar.Lebih lanjut, si penanya bilang: oleh karena itu, pertanyaan untuk Bapak adalah apa hukum tindakan seseorang yang memaksa orang lain untuk mengenakan jilbab? Apalagi dalam kasus SMAN 1 Gemolong, pihak yang dipaksa merasa tidak nyaman, terintimidasi, dan akhirnya tidak masuk sekolah beberapa hari.
Akhirnya saya menjawab begini, bahwa Islam melarang segala bentuk pemaksaan. Karena pemaksaan adalah kekerasan psikis yang bisa menjadi kekerasan fisik dan seksual, tergantung hal apa yang dipaksakan.
Meskipun menutup aurat (sitrul aurat) itu suatu kewajiban sebagai muslim atau muslimah, tetapi penerapannya tidak boleh dilakukan dengan cara paksa, intimidasi, dan atau kekerasan. Yang memaksa itu hukumnya atau aturannya, karena suatu kewajiban, tetapi kita tidak punya otoritas untuk memaksakan orang lain untuk melakukannya.
Jangankan mengenakan jilbab, masuk Islam saja tidak boleh ada paksaan dan pemaksaan. Harus dengan kesadaran penuh, dorongan lahir dan batin untuk menjadi muslim dan muslimah. Ini tegaskan Allah SWT dalam firman-Nya:
لَا إِكْرَاهَ فِي الدِّينِ قَدْ تَبَيَّنَ الرُّشْدُ مِنَ الْغَيِّ فَمَنْ يَكْفُرْ بِالطَّاغُوتِ وَيُؤْمِنْ بِاللَّهِ فَقَدِ اسْتَمْسَكَ بِالْعُرْوَةِ الْوُثْقَىٰ لَا انْفِصَامَ لَهَا وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu, barangsiapa yang ingkar kepada berhala dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat, yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (QS. al-Baqarah: 256).
Islam menghendaki kepasrahan total sebagai muslim atau muslimah. Semua ajaran Islam harus dilakukan dengan ketaatan dan kepatuhan yang tulus. Ketulusan tidak mungkin lahir, kecuali dari kesadaran yang utuh dalam lubuk hati terdalam. Inilah apa yang kita sebut ikhlas, yakni tidak ada motif lain, kecuali hanya untuk Allah.
Islam tidak menghendaki keterpaksaan. Islam menghendaki kemerdekaan dalam memilih dan melakukan sesuatu. Pilihan atas dasar kesadaran yang utuh, itulah yang dikehendaki Islam.
Allah mengingatkan dalam QS. Yunus, ayat 99:
وَلَوْ شَاءَ رَبُّكَ لَآمَنَ مَنْ فِي الْأَرْضِ كُلُّهُمْ جَمِيعًا أَفَأَنْتَ تُكْرِهُ النَّاسَ حَتَّىٰ يَكُونُوا مُؤْمِنِينَ
“Dan jika Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang ada di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya? (QS. Yunus: 99).
Ketahuilah, bahwa segala sesuatu yang dilakukan karena paksaan (terpaksa) sesungguhnya tidak berdampak pada hukum, baik pahala maupun dosa.
Contohnya, orang yang dipaksa makan pada siang bulan Ramadlan tidak membatalkan puasanya. Orang yang dipaksa bersetubuh (diperkosa) tidak terkena hukum zina. Sebaliknya, orang yang shalat karena terpaksa bisa jadi tidak memperoleh pahala.
Dengan demikian jelaslah Islam menempatkan kesadaran menjadi inti dan menentukan. Segala sesuatu harus dilakukan dengan kesadaran yang utuh, bukan dengan paksaan atau terpaksa.
Islam melarang perbuatan “memaksa”, karena pemaksaan berdampak pada penghilangan kemerdekaan seseorang.
Berdakwah sesungguhnya adalah menggugah kesadaran orang untuk menjalankan ajaran Islam secara penuh. Berdakwah bukan memaksa. Bahkan, Nabi Muhammad sendiri diperingatkan oleh Allah SWT:
إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ
“Sesungguhnya engkau (Muhammad) tidak bisa memberikan hidayah (ilham dan taufiq) kepada orang-orang yang engkau cintai” (QS. al-Qasshash: 56)
لَيْسَ عَلَيْكَ هُدَاهُمْ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ
“Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk (memberi taufiq) siapa yang dikehendaki-Nya.” (QS. al-Baqarah: 272).
Tugas dakwah adalah menyampaikan, mengajak, dan menyadarakan dengan cara yang bijak (hikmah), sebagaimana firman Allah:
ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ ۚ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ ۖ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. an-Nahl: 125).
Tantangan kita adalah menyajikan dakwah yang menyadarkan, menggugah dan menggerakkan hati, bukan memaksakan dengan ancaman, intimidasi, dan atau kekerasan. Mengajak kebaikan (ma’ruf) harus dilakukan dengan cara yang baik (ma’ruf), bukan dengan kemungkaran. Mencegah kemungkaran pun tidak boleh dilakukan dengan kemungkaran, tetapi tetap dengan kebaikan (ma’ruf).
Akhirnya saya ingin mengatakan bahwa setiap orang akan dimintai pertanggungjawabannya dan harus bertanggungjawab secara mandiri di hadapan Allah dan di hadapan hukum manusia atas pilihan tindakan yang dilakukan secara sadar. Setiap pilihan terdapat konsekuensi hukum: dosa atau pahala, sanksi atau apresiasi. Pilihan tindakan adalah konsekuensi hukum.
Ini ditegaskan Allah dalam firman QS. al-Mudtastsir ayat 38:
كُلُّ نَفْسٍ بِمَا كَسَبَتْ رَهِينَةٌ
“Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya.”