Hukum Melawak dalam Islam

Hukum Melawak dalam Islam

Ternyata Rasulullah SAW terkadang juga mencandai para sahabat.

Hukum Melawak dalam Islam

Semua orang membutuhkan humor untuk melepaskan kejenuhan dan rasa stress yang melanda kehidupan sehari-hari. Tak jarang, banyak orang menciptakan humor untuk tertawa bersama orang-orang di sekitar. Pasalnya, salah satu cara yang paling ampuh untuk menghilangkan segala penat adalah dengan tertawa. Oleh karena itu, bergurau turut menjadi salah satu kegemaran banyak orang.

Namun rupanya Islam sendiri melarang umatnya untuk terlalu banyak tertawa. Rasulullah SAW mengatakan bahwa banyak tertawa dapat menyebabkan hati seseorang mati. Rasulullah SAW bersabda, “Janganlah banyak tertawa! Sesungguhnya banyak tertawa akan mematikan hati.” (HR At-Tirmidzi)

Lalu bagaimana dengan melawak? Pasalnya, melawak merupakan salah satu cara yang digunakan untuk menciptakan humor dan menghibur banyak orang untuk tertawa. Para pelawak biasanya tampil di layar televise dan menghibur para penonton. Mereka biasanya berdiri di atas panggung dan akan bermonolog tentang suatu topik dengan candaan yang membuat penonton tertawa terbahak-bahak.

Jika demikian, bagaimana sebenarnya hukum melawak dalam Islam? Bukankah melawak dapat membuat seseorang merasa bahagia? Rupanya humor dan melawak menjadi suatu hal yang diperbolehkan dalam Islam. Hal tersebut dapat terlihat dari beberapa hadis Rasulullah SAW.

Rasulullah SAW terkadang juga mencandai para sahabat. Diriwayatkan oleh Abu Hurairah RA, para sahabat pernah berkata kepada Rasulullah SAW: “Ya Rasulullah! Sesungguhnya engkau sering mencandai kami.” Beliau pun berkata: “Sesungguhnya saya tidaklah berkata kecuali yang haq (benar).” (HR. At-Tirmidzi) Sebagai contoh, Rasulullah SAW mencandai seorang nenek namun dengan candaan yang benar tanpa ada kebohongan sedikit pun.

Diriwayatkan dari Al-Hasan RA, dia berkata, “Seorang nenek tua mendatangi Nabi SAW. Nenek itu pun berkata, ‘Ya Rasulullah! Berdoalah kepada Allah agar Dia memasukkanku ke dalam surga!’ Beliau pun mengatakan, ‘Wahai Ibu si Anu! Sesungguhnya surga tidak dimasuki oleh nenek tua.’ Nenek tua itu pun pergi sambil menangis. Beliau pun mengatakan, ‘Kabarkanlah kepadanya bahwasanya wanita tersebut tidak akan masuk surga dalam keadaan seperti nenek tua.” (HR. At-Tirmidzi)

Rasulullah SAW mencandai sang nenek dengan perkataan demikian karena di surga kelak semua penghuninya akan kembali menjadi muda. Sehingga Rasulullah SAW pun menjawab tidak ada penghuni nenek-nenek di surga. Sebab kebenarannya memang demikian dan Rasulullah SAW tidak berbohong sedikit pun.

Di samping itu, Rasulullah SAW juga mencela orang yang gemar membuat orang lain tertawa dengan perkataan dusta. Rasulullah SAW bersabda, “Celakalah bagi seseorang yang bercerita dengan suatu cerita, agar orang lain tertawa maka ia berdusta, maka kecelakaan baginya, kecelakaan baginya.” (HR. At-Tirmdzi)

Selain harus bercanda dengan perkataan yang benar dan tak mengandung kebohongan, ada persyaratan lain dalam menciptakan suatu humor. Yaitu humor atau lawakan tersebut tidak bermaksud memperolok-olokkan Allah, Rasulullah SAW, dan tidak memperolok agama. Bahkan Allah menyebutkan larangan tersebut di dalam surat At-Taubah ayat 65 dan 66.

Dalam surat tersebut Allah berfirman, “Dan jika kamu tanyakan kepada mereka (tentang apa yang mereka lakukan itu), tentu mereka akan menjawab: “Sesungguhnya kami hanya bersenda gurau dan bermain-main saja.” Katakanlah: “Apakah dengan Allah, ayat-ayat-Nya dan Rasul-Nya kamu selalu berolok-olok?” Tidak usah kamu minta maaf, karena kamu kafir sesudah beriman.” (QS. At Taubah: 65-66)

Olok-olok dengan bahan agama tentu bertentangan dengan hakikat tauhid. Sebab tauhid bermakna penyerahan diri, dan taat serta mengagungkan Allah. Sedangkan memperolok Allah, Rasul dan agama justru tidak menunjukkan tindakan pengagungan. Bahkan tindakan memperolok Allah dapat membuat seseorang menjadi kafir setelah beriman. Dengan demikian, hendaknya umat Islam lebih berhati-hati dalam menciptakan gurauan atau lawakan.