Hukum Jual Beli Jabatan dalam Islam

Hukum Jual Beli Jabatan dalam Islam

Masyarakat Indonesia dihebohkan dengan praktik jual beli jabatan yang terjadi di Kementerian Agama, bagaimana Islam memandang Jual Beli jabatan?

Hukum Jual Beli Jabatan dalam Islam
https://www.menit7.com/

Umat Islam diperintahkan untuk bekerja mencari nafkah dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya. Kita dibolehkan melakukan pekerjaan apapun selama itu halal dan tidak melanggar aturan syariat. Dalam surat al-Baqarah ayat 188, Allah SWT berfirman:

وَلا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ

“Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil….”

Imam al-Suyuthi dalam Tafsir Jalalayn menjelaskan maksud ayat ini adalah larangan untuk mencari makan dengan cara yang diharamkan dalam syariat, seperti mendapatkan makanan dengan cara mencuri dan merampas harta orang lain.

Merujuk pada ayat ini, praktek jual-beli jabatan yang akhir-akhir ini menjadi berita populer di Indonesia termasuk perbuatan yang diharamkan syariat, karena termasuk bagian dari suap atau sogok. Suap adalah memberi imbalan atau bayaran tertentu kepada seseorang untuk melakukan hal-hal yang bertentangan dengan kebenaran dan berujung pada kejahatan. Dalam hal ini, suap selain bertentangan dengan syariat, juga bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia. Karenanya, orang yang melakukannya akan mendapatkan sanksi dan hukuman.

Rasulullah SAW sangat melarang praktek suap. Dalam sebuah riwayat beliau mengatakan:

لعن رسول الله صلى الله عليه و سلم الراشي والمرتشي في الحكم

“Rasul Saw melaknat penyuap dan penerima suap dalam suatu penghukuman.” (HR: al-Tirmidzi)

Dalam riwayat yang lain disebutkan Rasul tidak hanya melaknat penyuap dan penerima suap, tetapi orang yang menjadi perantara di antara keduanya. Rasulullah melarang praktik suap karena memiliki dampak negatif dan bahaya besar bagi tatanan masyarakat.

Misalnya, dengan adanya praktik suap ini bisa berujung pada maraknya pemimpin dan pejabat yang tidak kompeten dan tidak ahli di bidangnya. Mestinya orang yang menduduki jabatan tertentu mesti ahli di bidangnya dan mengerti apa yang harus dikerjakan ketika menjabat posisi tersebut agar bermanfaat bagi orang banyak.

Rasulullah sudah mewanti-wanti perihal ini jauh-jauh hari. Rasul mengatakan:

إذا ضيعت الأمانة فانتظر الساعة، كيف إضاعتها يا رسول الله؟ قال: إذا أسند الأمر إلى غير أهله فانتظر الساعة

“Apabila amanah disepelekan, tunggulah kehancuran. ‘Bagaimana bentuk penyepelean itu wahai Rasulullah? ‘Apabila sebuah urusan diserahkan kepada bukan ahlinya, tunggulah kehancuran,’Kata Rasulullah’”. (HR: Bukhari)

Badruddin al-Ayni dalam Umdatul Qari menjelaskan maksud hadis ini adalah menyerahkan posisi atau jabatan tertentu kepada orang yang bukan ahlinya, misalnya menyerahkan jabatan mufti atau qadhi kepada orang yang tidak mengerti hukum Islam. Apalagi kalau orang yang tidak ahli itu menduduki jabatannya dengan cara suap, ini sangat bahaya. Badruddin al-Ayni menegaskan:

فالمصيبة العظمى أن يتولى الجاهل بالرشوة فلعن رسول الله صلى الله عليه وسلم الراشي والمرتشي والرائش

“Musibah terbesar adalah ketika orang bodoh memimpin (menjabat) dengan cara suap, maka wajar bila Rasulullah melaknat penyuap, penerima suap, dan perantara keduanya”

Bayangkan kalau jabatan yang ada di negara ini diperjual-belikan, tentu orang yang mengurus negara ini bukan lagi orang yang kredibel dan kompeten, tapi siapa saja yang punya uang dan mampu beli jabatan, dia bisa memperolehnya. Orang bodoh sekalipun, kalau punya uang mereka bisa menduduki jabatan tertentu. Orang pintar yang amanah akan kalah berhadapan dengan orang bodoh yang punya uang. Kalau ini sudah terjadi, kata Rasulullah, tunggulah kehancuran.