Ghibah atau gibah menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah membicarakan keburukan orang lain. Merupakan salah satu tindakan tercela yang tidak dibenarkan dalam agama Islam, baik itu dalam kondisi sedang berpuasa atau pun tidak sedang berpuasa. Orang yang melakukan ghibah diibaratkan seperti orang yang sedang memakan bangkai saudaranya. Berkaitan dengan ghibah di pada saat menjalankan ibadah puasa, terdapat beberapa hadis yang menjelaskannya, yaitu:
رُبَّ صَائِمٍ لَيْسَ لَهُ مِنْ صِيَامِهِ إِلَّا الْجُوْعُ
“Banyak sekali orang yang puasa, ia tidak mendapatkan apa-apa dari puasanya kecuali rasa lapar.” (HR: Ibnu Majah)
Al-Ghazali sebagaimana dikutip oleh al-Minawi berkomentar terkait hadis ini. Hadis ini adalah ungkapan untuk orang yang mengerjakan puasa namun ia berbuka dengan sesuatu yang haram atau berbuka dengan memakan daging saudaranya (ghibah), orang semacam ini adalah orang yang berpuasa dan tidak mampu menjaga anggota tubuhnya untuk menjauhi perbuatan dosa. Lebih lanjut al-Minawi menjelaskan, “kecuali rasa lapar” menunjukkan bahwa ia tidak lagi memeroleh pahala dari Allah, puasanya tidak lagi diterima akan tetapi ia tidak perlu mengganti puasanya.
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ ، وَالْعَمَلَ بِهِ ، فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِى أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
“Barangsiapa yang tidak meninggalkan perkataan bohong, dan melakukan perbuatan bohong, maka Allah tidak membutuhkan lagi ia meninggalkan makanan dan minumannya (puasanya).” (HR: Al-Bukhari)
Hadis ini sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibn Baththal dalam Syarh Shahih al-Bukhari menunjukkan bahwa puasa adalah menahan diri dari perkataan kotor dan bohong, sebagaimana seseorang menahan diri dari makan dan minum. Jika seorang yang berpuasa tidak menahan diri dari perkataan kotor dan bohong, maka nilai puasanya akan berkurang, dibenci oleh Allah dan tidak diterima puasanya.
Pendapat lain mengatakan bahwa yang dimaksud bukan berarti bahwa puasa yang ia kerjakan batal, redaksi di atas hanya menunjukkan tahdir atau peringatan bagi orang-orang yang berbuat demikian pada bulan puasa. Dengan begitu ia tidak perlu membatalkan puasanya dan mengganti puasanya di kemudian hari.
Pendapat ini, sebagaimana disebutkan oleh an-Nawawi dalam al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab didukung oleh Imam Syafi’I, Malik, Abu Hanifah, Ahmad bin Hanbal dan hampir seluruh ulama kecuali al-Auza’i, menurutnya seseorang yang bergosip atau melakukan ghibah di tengah-tengah menjalankan puasa, maka ibadahnya batal dan ia harus mengganti puasanya di lain waktu.
Di dalam riwayat lain terdapat sisipan kata al-jahl, redaksi al-jahl di dalam rangkaian hadis di atas mengindikasikan seluruh perbuatan maksiat. Redaksi ini ada pada riwayat al-Bukhari dalam kitab Adabul Mufrad, an-Nasa’i, Ibnu Hibban dan Ibnu Majah. Dengan demikian maka, ghibah dan seluruh perbuatan maksiat lainnya pada dasarnya mampu mengurangi atau bahkan menghilangkan pahala puasa.
Jika dalam kondisi tidak puasa saja dilarang berbuat ghibah, mencela orang lain, berkata dusta, maka hal ini lebih ditekankan lagi untuk ditinggalkan bagi orang yang tengah menjalankan ibadah puasa, meski demikian di dalam mazhab as-Syafi’i sebagaimana yang telah disebutkan di atas jika seseorang berbuat ghibah pada saat menjalankan puasa, maka ia telah berbuat maksiat namun hal itu tidak membatalkan puasanya. Wallahu a’lam.