Hukum Donor dan Bank ASI

Hukum Donor dan Bank ASI

Hukum Donor dan Bank ASI

Masalah kesehatan ibu dan anak adalah salah satu problem kesehatan utama di Indonesia. Salah satu indikatornya adalah asupan gizi, baik pada perempuan usia subur, ibu hamil, ibu nifas juga bayinya. Nutrisi esensial, terutama untuk bayi pada bulan-bulan pertama adalah Air Susu Ibu (ASI).

Berdasarkan rekomendasi WHO, setelah Inisiasi Menyusui Dini (IMD) pasca kelahiran, enam bulan setelahnya ASI diberikan tanpa tambahan makanan dan minuman lain. ASI eksklusif enam bulan pertama ini menjadi asupan yang cocok dengan perkembangan fisik bayi, sejalan dengan kebutuhan gizinya. Selain sumber nutrisi, ASI dinilai dapat mendekatkan ibu dan anak secara emosional, serta sifatnya lebih higienis dan ekonomis.

Pemberian ASI eksklusif di berbagai daerah terus digalakkan oleh pemerintah. Hambatan program ASI eksklusif ini antara lain minimnya pengetahuan ibu dan keluarga, kesibukan kerja ibu, atau adanya faktor penyakit yang menjadi kontraindikasi untuk memberikan nutrisi dasar bagi anaknya.

Pemberian susu bayi menurut WHO diklasifikasikan sebagai berikut: ASI yang diberikan langsung; ASI perah ibu sendiri; ASI dari pendonor; serta susu formula.

Akibat faktor kesibukan ibu atau penyakit, atau malah  karena kultur tertentu, bayi juga bisa disusui oleh orang lain. Dalam sejarah Islam diketahui Nabi Muhammad SAW dititipkan oleh keluarganya kepada Tsuaibah, perempuan dari Bani Aslam; serta Halimah, perempuan dari Bani Sa’ad, untuk disusui dan dirawat oleh mereka.

Al-Quran menyatakan kebolehan anak disusui perempuan lain, salah satunya disebutkan dalam Surah Al Baqarah ayat 233.

Dan jika kamu ingin anak kamu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagi kamu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS Al-Baqarah 233)

 Para ulama klasik menjelaskan ibu susuan dalam Islam layak mendapat upah dari jasa menyusui dan merawat sang anak. Definisi menyusui dalam fikih adalah: memberikan ASI kepada bayi, baik secara langsung dari payudara perempuan maupun tidak. Pada masa sekarang, telah dikenal Donor ASI. Jika donor ASI mengikuti definisi di atas, maka ia juga tergolong dalam kriteria fikih radla’ah.

Teknologi penyimpanan air susu ibu telah menjadikan ASI dapat disimpan lebih lama, dan dapat diberikan pada siapapun yang membutuhkan. Hambatan memberikan ASI yang telah disebutkan baik karena sakit atau kesibukan, menjadikan jasa donor ASI baik melalui bank ASI atau via relasi cukup diminati, jika ibu kandung anak merasa tidak mampu mengelola ASI sendiri.

Persoalan pemberian donor ASI ini, sebagaimana disebutkan sebelumnya, terkait dengan aturan-aturan fiqih radla’ah yang erat kaitannya dengan masalah mahram dan nasab. Seseorang yang kendati beda orang tua, namun disusui oleh ibu yang sama, dalam kriteria frekuensi dan cara tertentu dalam fikih akan menjadi saudara sepersusuan, yang menjadikannya mahram – haram dinikah, seperti saudara kandung.

Untuk masalah ini, penolakan donor ASI karena kekhawatiran tentang masalah kekaburan nasab disebabkan pemberian ASI, terlebih melalui bank ASI. Hal ini mungkin disebabkan kekurangtahuan tentang teknis pendonoran ASI. Pendonor ASI telah diatur dalam Permenkes RI nomor 33 tahun 2013 tentang pemberian ASI, bahwa donor ASI memiliki syarat berikut:

  • Permintaan ibu kandung atau keluarga bayi
  • Identitas, agama, dan alamat pendonor diketahui oleh keluarga atau ibu bayi penerima ASI
  • Persetujuan pendonor ASI setelah mengetahui identitas bayi penerima ASI
  • Pendonor ASI dalam kondisi kesehatan baik dan tidak mempunyai kontraindikasi menyusui (semisal seperti pada penyandang HIV/AIDS, penderita hepatitis B atau C, penerima transfusi, atau pengguna obat yang dilarang pada ibu menyusui)
  • ASI tidak diperjualbelikan

Kekhawatiran kekaburan nasab dalam donor ASI khususnya via bank ASI bisa diantisipasi dengan pelabelan identitas lengkap pendonor. Selain itu, seseorang baru dinilai sebagai ibu susuan jika konsumsi ASI dari perempuan yang sama identitasnya dalam beberapa kali. Mayoritas ulama menyebutkan bahwa status ibu susuan ditetapkan setelah lima kali susuan.

Dalam kondisi tidak urgen saja ibu susuan itu mubah (boleh), terlebih dalam kondisi darurat seperti masalah kesehatan. Keamanan ASI juga baiknya sudah memerhatikan mekanisme penyimpanan dan check up kesehatan para pendonor. Namun agaknya ASI ibu kandung sendiri untuk sang anak adalah yang terbaik, dan momen menyusui akan menjadi kedekatan anak dengan ibunya. Wallahu a’lam.